Insight | General Knowledge

Menakar Bahaya Gula di Masyarakat Indonesia

Jumat, 23 Feb 2024 10:17 WIB
Menakar Bahaya Gula di Masyarakat Indonesia
Foto: Istimewa
Jakarta -

Kecenderungan menyukai hal-hal manis adalah sesuatu yang sulit dipisahkan dari masyarakat Indonesia. Terlepas dari betapa seringnya kita terbuai "janji-janji manis" para politisi, kebiasaan mengonsumsi hal-hal manis (dibaca: gula) ternyata lebih mengakar di kehidupan rakyat. Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik (Susenas BPS) tahun 2021, setidaknya terdapat sekitar 47,9 juta penduduk Indonesia yang mengonsumsi gula secara berlebih.

Menariknya, fenomena "kecanduan gula" ini bukan hanya diperoleh dari tingkat konsumsi gula pasir dan gula merah semata. Namun, turut mencakup panganan bergula tinggi yang terkandung di dalam sejumlah makanan dan minuman olahan yang mudah ditemui dalam keseharian. Sebut saja makanan dan minuman instan yang dipajang di minimarket, ragam bumbu masakan, olahan susu, bahkan makanan pokok kita: nasi.

Jika dicermati lebih, fenomena kecanduan gula ini bahkan terbilang menjangkiti seluruh kalangan masyarakat. Susenas BPS 2021 menyebutkan, sedari kelompok berpenghasilan rendah hingga sangat tinggi semuanya memiliki kecenderungan konsumsi gula yang tinggi. Menariknya, temuan ini turut disusul pernyataan: semakin kaya seseorang di Indonesia, maka semakin banyak gula yang dikonsumsi dalam keseharian.

Hal ini bisa dilihat dari 27,6% dari total 4,1 juta penduduk berpengeluaran bulanan >5 juta, terindikasi mengonsumsi gula lebih dari 10% kebutuhan energi-dengan disusul angka yang sama besar pada kelompok berpenghasilan bulanan di bawahnya. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menganjurkan takaran konsumsi gula ideal per hari sebesar 10% dari total kebutuhan kalori. Yakni sekitar 25 gram atau setara 6 sendok teh. Sementara itu, Kementerian Kesehatan RI merekomendasikan konsumsi gula harian sebatas 50 gram/orang/hari atau setara 12 sendok teh. 

Pembunuh Berparas Manis

Kebiasan mengonsumsi gula di atas takaran normal berasal dari gaya hidup serba instan, yang cenderung diwajarkan pada masa modern seperti sekarang. Akibatnya, masyarakat dunia, termasuk Indonesia, menjadi lebih rentan terhadap bahaya penyakit diabetes a.k.a "the mother of all disease". Melansir CNBC, Federasi Diabetes Internasional (IDF) menaksir sekitar 537 juta orang dewasa di seluruh dunia saat ini hidup dengan diabetes.

Fakta di atas turut mengartikan, bahwa satu dari sepuluh orang dewasa di seluruh dunia merupakan penyandang diabetes. Angka tersebut pun berpotensi mengalami peningkatan di masa mendatang; menjadi 643 juta di tahun 2030 (naik 11%) dan terus menanjak sebesar 12,2% untuk mencapai 783 juta orang pada tahun 2045-waktu yang digadang bangsa Indonesia sebagai masa keemasan.

Indonesia sendiri, merupakan negara dengan penyandang diabetes terbanyak ke-5 di dunia. Jumlahnya bahkan mengalami peningkatan konsisten, dari 10,7 juta (tahun 2019) menjadi 19,5 juta (2021), sekaligus menjadikan penyakit ini sebagai penyebab kematian tertinggi di Indonesia, setelah stroke dan jantung.

Merujuk data Institute for Health Metrics and Evaluation, total ada 57,42 kematian per 100.000 penduduk Indonesia yang disebabkan oleh diabetes-sekitar 1 banding 9 orang. Lucunya, angka ini dapat melonjak lebih tinggi, lantaran sebagian besar orang hidup dengan diabetes tanpa terdeteksi.

Tidak Pandang Usia

Sulit dimungkiri, diabetes merupakan penyakit endemik dengan tingkat pertumbuhan paling tinggi di dunia. Sialnya, hal ini ikut melebarkan potensi diabetes untuk merebak ke segala lini tanpa pandang bulu. Artinya, diabetes tidak hanya mengincar orang dewasa atau lansia, tetapi juga anak-anak dan bayi.

Selaras dengan tren diabetes global, kasus diabetes pada anak-anak di dalam negeri pun terus meningkat. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mengumumkan bahwa prevalensi penyandang diabetes anak meningkat 70 kali lipat di awal tahun 2023. Di mana sekitar 1.645 anak menyandang diabetes (dengan prevalensi 2 kasus per 100.000 anak), dan sangat jauh jika dibandingkan prevalensi 0,026 kasus per 100.000 anak pada 2010 silam.

Satu hal yang paling menyakitkan ialah, kasus diabetes pada anak Indonesia berasal dari faktor turunan, atau diabetes tipe 1. Sedangkan kasus diabetes anak tipe 2 juga tidak kalah tinggi, atau berkisar 5-10% dari keseluruhan. Secara langsung atau tidak, paparan data di atas juga meningkatkan kemungkinan obesitas pada anak yang selaju dengan peningkatan kasus diabetes tipe 2 pada anak terus melonjak.

Bagaimana Kita Bisa Terhindar?

Paparan fenomena, data, dan fakta mengenai diabetes di atas boleh disebut sebagai musuh besar yang harus kita kalahkan bersama, apabila kita kita tidak mau kehilangan orang-orang yang kita sayang karena diabetes. Untuk itu, kita harus mengupayakan satu cara ampuh untuk mengentaskan "the mother of all disease" dari lingkungan sekitar.

Salah satu upaya serius yang bisa dilakukan adalah terus mempertebal literasi dan hal-hal bersifat edukasi mengenai bahaya diabetes, seperti terus menyuarakan efek buruk tingkat konsumsi gula yang tinggi. Di lain sisi, mengampanyekan gaya hidup sehat yang beriringan dengan pendidikan gizi pada masyarakat juga menjadi krusial, selagi kita menekan pemerintah untuk segera menerbitkan regulasi yang sesuai.

Secara serius, kita juga wajib segera membatasi konsumsi gula berlebih pada anak dengan mengurasi setiap panganan yang mereka konsumsi. Oleh karenanya, peran kaum muda-yang selama ini kerap menjadi korban promosi produk tinggi gula-akan semakin krusial, karena masa depan bangsa ini ditentukan oleh pola kehidupan yang mereka terapkan, selagi berperan aktif dalam mengontrol pola konsumsi masyarakat senior yang punya kerentanan tinggi terhadap penyakit mematikan ini.

Terakhir, kita juga bisa mengandalkan kecanggihan teknologi informasi seperti media sosial saat "menyatakan perang" terhadap gula dan diabetes. Mulai dari, mengedukasi diri soal bahaya gula dan diabetes lewat kanal-kanal insightful seperti, Felix Zulhendri Ph.D, dr. Harun Albar; menakar gaya hidup free-diabet dari akun Edukasi Diabetes, Bobby Ida, dan Dennis - Food Technologist; hingga terlibat secara langsung dalam gerakan melawan diabetes bersama komunitas Sobat Diabet.

[Gambas:Audio CXO]

(RIA/tim)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS