Insight | General Knowledge

They Don't Talk About: Vote-Selling

Jumat, 18 Aug 2023 15:00 WIB
They Don't Talk About: Vote-Selling
Ilustrasi jual beli suara politik Foto: Freepik
Jakarta -

Mendekati tahun politik, isu-isu sensitif seperti politik uang mulai terangkat kembali. Praktik politik uang atau klientelisme ini memang masih menjadi "hama" yang sulit dibasmi dalam tubuh demokrasi Indonesia sejak dulu. Bahkan seakan menutup mata, praktik ini seperti rahasia umum di tengah masyarakat dan diam-diam selalu menjadi hal yang dianggap "wangi" bagi sebagian orang.

Dikutip The Conversation, sebuah jajak pendapat pada awal tahun 2023 menemukan, 36,5 persen dari 506 orang responden nasional mengaku pernah menerima atau melihat orang lain menerima uang dari para peserta pemilihan umum. Hal ini memperlihatkan kalau 3 dari 10 orang Indonesia yang jadi pemilih di pemilu, pernah terlibat dalam transaksi politik uang.

Ketidakpedulian masyarakat karena persoalan klientelisme ini, membuat apapun upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadi kembali praktik tersebut, menjadi lebih sulit. Lantas, apa yang membuat orang rela untuk menukar suara politik mereka dengan uang?

.Ilustrasi politik uang/ Foto: iStock

Memahami Perilaku Jual-Beli Suara Politik

Seorang akademisi ilmu politik Burhanuddin Muhtadi, dalam bukunya berjudul Kuasa Uang: Politik Uang dalam Pemilu Pasca-Orde Baru mengatakan bahwa pendapatan, status sosial ekonomi, dan tingkat pendidikan ternyata bukan jadi faktor utama terjadinya praktik jual-beli suara politik. Kuat kemungkinan, penyebabnya justru karena normalisasi yang dilakukan masyarakat terhadap praktik tersebut, sehingga membuat mereka jadi permisif.

Beberapa golongan masyarakat yang tak terlalu memahami soal politik menganggap praktik klientelisme ini adalah tindakan yang baik bahkan sebagai praktik keagamaan-dianggap sebagai sedekah. Mereka meyakini bahwa klientelisme merupakan suatu perbuatan baik dan sepenuhnya didukung.

Sebuah studi yang dilakukan tahun 2022 tentang vote-selling yang ditulis oleh Rizka Halida, pakar psikologi sosial dari Universitas Indonesia, bersama tiga rekannya menemukan jika jumlah nominal uang yang ditawarkan bisa mempengaruhi seseorang menjual suara politiknya. Namun, ini hanya berlaku kalau pelaku vote-seller mempunyai inhibitory self-control yang rendah.

Inhibitory self-control bisa diartikan sebagai kemampuan untuk menahan hasrat melakukan hal-hal impulsif yang berisiko, berbahaya, dan melanggar aturan. Ketika seseorang punya inhibitory self-control yang tinggi, ia akan mampu memproses secara kognitif bahwa menerima uang dari seseorang demi tujuan tertentu, bukan sesuatu yang etis. Kesadaran inilah yang membuat seseorang tidak mudah untuk dipengaruhi.

Faktor psikologis lain yang bisa mempengaruhi keputusan pelaku jual-beli suara politik ini adalah sesuatu yang disebut "bias rabun jauh" atau present bias. Konsep ini populer dalam bidang ilmu perilaku dan psikologi sosial. Bias rabun jauh merupakan istilah yang diartikan kecenderungan alami manusia untuk lebih memilih reward yang bisa diperoleh saat ini, walaupun nilainya kecil, ketimbang dapat hadiah besar tapi diperoleh di masa depan.

Bias inilah yang menyebabkan kamu lebih senang membelanjakan gaji yang baru kamu terima untuk membeli hal-hal yang baru, ketimbang menabung untuk keperluan masa depan. Kerentanan manusia karena bias ini memungkinkan mereka tergiur untuk menerima tawaran uang yang bisa didapat langsung saat ini dan menjual suara dalam pemilu, meski sebenarnya jumlah uang tidak seberapa.

Kelompok masyarakat semacam ini akhirnya menderita semacam "miopi politik" yang menyebabkan mereka gagal melihat hasil dari politik lebih jauh dan cenderung mengambil keputusan dengan visibilitas jangka pendek.

.Ilustrasi pemilu/ Foto: Unsplash

Literasi Politik Penting

Kekecewaan masyarakat akan pemimpin yang tidak amanah mungkin menjadi alasan mengapa banyak yang apatis. Namun, tak ada salahnya juga untuk mencoba memberantas praktik-praktik ilegal demi mendapatkan pemimpin yang "bersih" di kemudian hari. Salah satunya adalah dengan meningkatkan literasi politik.

Bukan hanya masyarakat, pendidikan literasi juga perlu melibatkan pemerintah daerah, pemerintah desa, penyelenggara pemilu, maupun LSM. Beberapa daerah di Indonesia sebenarnya sudah menerapkan praktik literasi ini, seperti yang telah dilakukan oleh 34 desa di Daerah Istimewa Yogyakarta bernama Gerakan Desa Anti-Politik Uang yang akan memberikan sanksi sosial jika ada warga atau orang yang terbukti menyuap.

Perlu strategi khusus untuk terus menciptakan manfaat jangka panjang dari pelaksanaan pemilu yang bersih terlihat menonjol setiap kampanye politik-sehingga pada akhirnya masyarakat bisa menyadari secara riil manfaat yang diperoleh ketika mereka menolak politik uang. Sebab, hanya dengan cara inilah masyarakat terhindar dari bias.

Seorang profesor ilmu politik dari University of Michigan, Allen Hicken pernah membuat eksperimen untuk menghindari vote-selling di Filipina pada 2013 lalu. Eksperimen ini dilakukan pada 900 orang pemilih yang dibagi menjadi tiga kelompok.

Pertama, kelompok yang diminta menyaksikan video berisi ajakan untuk berpartisipasi dalam pemilu lalu diminta berjanji tidak akan menerima uang untuk menjual suaranya. Kedua, kelompok yang diminta menonton video pendek dan diminta memilih dengan hati nurani sekalipun tetap menerima uang, dan ketiga adalah kelompok yang hanya diminta menonton video saja.

Hasilnya, ada penurunan potensi dari perilaku vote-selling sebesar 11 persen pada responden dalam kelompok pertama. Temuan ini bisa menjadi inspirasi kalau intervensi sederhana seperti diminta berjanji untuk tidak menjual suara politik dalam pemilu bisa diterapkan sebagai strategi mengurangi perilaku vote-selling yang terjadi di Indonesia.

Sebenarnya, setiap orang punya hak atas suara politiknya ketika memilih dalam pemilu. Tetapi memang alangkah lebih baik jika hak tersebut digunakan sebaik-baiknya ketika memilih pemimpin yang menurut kita bersih dan dapat menjadi seseorang yang mampu mengabdi pada masyarakat.

Ketika kamu melihat ada pelaku vote-selling atau vote-buyer sedang melakukan transaksi, jangan segan untuk menegur atau melaporkannya kepada otoritas yang berwenang menangani kecurangan dalam pemilu. Sudah saatnya untuk berhenti menormalisasi sesuatu yang salah dalam politik. Menikmati manfaat dari politik yang bersih juga hak kita sebagai warga negara.

[Gambas:Audio CXO]

(DIR/alm)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS