Kemajuan pesat teknologi kecerdasan buatan atau Artificial Intelligent (AI) hari ini semakin tidak bisa diprediksi. Beberapa hari ke belakang, media sosial dihebohkan dengan video-video yang dihasilkan oleh generator video AI milik Google Veo 3 AI yang dianggap terlalu realistis hingga sulit untuk membedakannya.
Generator video AI ini digadang-gadang merupakan saingan dari generator video Sora milik OpenAI. Berbeda dengan Sora yang hanya bisa membuat video saja, Veo 3 bisa menggabungkan video dan suara secara langsung mencakup dialog antar karakter atau memasukkan suara binatang.
"Veo 3 unggul dari teks dan gambar yang mendorong hingga fisika dunia nyata dan sinkronisasi bibir yang akurat," kata Vice President Google DeepMind, Eli Collins dikutip CNBC.
Namun untuk merasakan teknologi luar biasa ini, baru tersedia bagi pelanggan di Amerika Serikat dalam paket langganan Ultra seharga USD 249,99 atau sekitar Rp4 juta per bulannya. Selain mulusnya audio visual yang dihasilkan Google Veo 3 yang menjadi sorotan, dampak jangka panjang bagi kehidupan manusia pun ikut jadi concern utamanya.
Indera Manusia Jangan Sampai Kalah dengan Mesin
Sebenarnya peluncuran generator video semacam Sora dari OpenAI ataupun Google Veo 3 merupakan kemudahan yang diberikan dari kemajuan teknologi masa kini. Misalnya unggahan X dari akun Min Choi menunjukkan cuplikan wawancara seorang pria di jalan yang dibuat oleh Veo 3.
Namun kita sebagai manusia yang punya indera yang lebih hebat dari mesin seharusnya jangan sampai kalah dengan mereka. Apalagi dari video-video Veo 3 yang tersebar di media sosial, cukup sulit untuk membedakan apakah konten tersebut dihasilkan pure AI atau justru diciptakan oleh mesin generator yang canggih.
Dikuti Tubefilter, perkembangan AI generatif yang terlalu pesat ini ternyata membuat kita menuju ke era 'dead internet' di mana media sosial dan internet diisi oleh video dan komentar yang dihasilkan AI, bukan berasal dari kemampuan berpikir dan indera kita. Detail yang semakin mendekati realisme yang sesungguhnya, membuat indera kita harus semakin peka dan belajar membedakannya.
Bayangkan kepopuleran generator AI ini sudah mulai memasuki industri-industri yang membutuhkan kemampuan indera dasar manusia-penglihatan dan pendengaran. Mulai dari industri film yang mulai menerima film AI untuk bersaing dengan film-film hasil kreativitas manusia, video-video audio visual di YouTube, hingga tayangan pemberitaan dari media massa yang semakin tergeser dengan video yang dibuat oleh AI.
Kalau semua sudah dikuasai oleh generator AI, mampukah kita membedakan mana yang ciptaan mesin dan mana yang merupakan buah pikir manusia?
"Meskipun video dengan audio yang disingkronkan ini sangat mengesankan, klip-klip ini tanpa diragukan bisa menipu banyak orang dan kecenderungan pembuat konten untuk mengembangkan informasi yang menyesatkan dengan mesin-mesin canggih. Ini adalah era di mana AI menyatu dengan realitas," tulis 9to5goggle.
Latih Kepekaan dengan Mengembangkan Literasi Media
Bila mesin semakin pintar, kita sebagai manusia tentu haru lebih pintar dari mesin, bukan? Hal yang bisa kita lakukan adalah harus mengembangkan literasi media sebanyak-banyaknya. Artinya, kita harus melatih indera kita dengan mulai membaca dan memperbanyak informasi berupa fakta akurat.
Hindari membaca sumber dari satu tempat atau satu video saja. Kita harus semakin skeptis tentang informasi dari platform, kreator, dan penonton. YouTube misalnya, telah mengambil langkah-langkah untuk memastikan video AI generatif diberi label dengan benar dan semua konten yang dibuat dengan Veo 3 akan diberi watermark SynthID milik Google.
Selain itu, penting bagi kita untuk mengajarkan orang-orang sekitar kita untuk lebih waspada terhadap kemajuan teknologi, terutama para Digital Immigrants atau generasi yang lahir sebelum era digital orangtua, kakek-nenek. Itulah satu-satunya yang bisa kita lakukan saat ini menghadapi badai teknologi Ai yang semakin dahsyat.
(DIR/DIR)