Inspire | Human Stories

Nama Saya: Gesang, Sang Maestro Solo yang Karyanya Masih Mengalir Sampai Jauh

Selasa, 20 May 2025 16:00 WIB
Nama Saya: Gesang, Sang Maestro Solo yang Karyanya Masih Mengalir Sampai Jauh
Gesang Martohartono Foto: CNN Indonesia
Jakarta -

Tepat 15 tahun lalu, sang maestro besar dari Kota Solo, Gesang Martohartono telah tiada pada umurnya yang ke-92 tahun. Meskipun raganya tak ada lagi di dunia, namun karyanya masih mengalir sampai jauh lewat Bengawan Solo yang termasyur. Lahir di Surakarta, 1 Oktober 1917, Gesang selama ini hanya dikenal sebagai pencipta lagu populer Bengawan Solo saja.

Namun sebenarnya lebih dari itu, dia memiliki kepribadian yang romantik dan lembut, terlihat dari lirik dan nada-nada yang diambilnya dalam setiap karyanya. Kita sebagai anak muda yang kini mulai mencintai lagu-lagu keroncong masa kini, tak lengkap rasanya sedikit mengenal Gesang lebih dekat.

Lahirnya Bakat Menyanyi Gesang

Dikutip dari buku biografi Gesang: Mengalir Meluap Sampai Jauh karya IzHarry Agusjaya Moenzir, Gesang remaja yang tak suka beolahraga dan berkeringat, ternyata lebih suka duduk termenung di pinggiran sungai Bengawan Solo. Entah mencari capung atau hanya duduk-duduk di atas batang pohon yang menonjol.

Menurutnya Sungai Bengawan Solo yang punya pesonanya sendiri itu membuat mata Gesang berbinar sampai tak sadar bersenandung sendiri. Tanpa nada. Hanya sebuah ungkapan hati dan ekspresi jiwa yang mencuat begitu saja, hingga membuatnya senang. Namun kesenangan itu bertambah ketika klub remaja di kampungnya nambah kegiatan baru yakni musik.

Pada 1935, Klub Marsudi Agawe Rukun Kesenian dan Olahraga (Marko) pun membentuk sebuah orkes keroncong sederhana untuk menandingi kampung-kampung lain yang sebelumnya memiliki orkes lebih dulu. Bermodal gitar, keroncong, tubular, marakas, dan tamtam, Gesang dan kawan-kawannya mulai berlatih.

Awalnya ia mencoba untuk jadi pemain gitar, namun gagal karena ternyata tidak jago-jago amat. Beralih ke Tamtam yang seharusnya tinggal dipukul, ternyata sulit untuk dimainkannya. Maka teman-temannya mendesak Gesang untuk menyanyi saja. Apalagi teman-temannya tahu kebiasaan remaja laki-laki itu suka bersenandung sendiri.

Ketika mencoba untuk pertama kali, betapa terkejutnya Gesang mendengar suaranya sendiri di pengeras suara. Seperti kaleng yang beradu, walaupun tak sumbang, namun tarikan napas setiap nyanyian yang tak teratur membuat lirik lagu yang dinyanyikannya tersangkut di tenggorokan. Meskipun masih kurang percaya diri, nyanyian keroncong Gesang ternyata mendapat pengakuan dari para tetangganya ketika tampil.

"Para tetangga, bahkan dari kampung seberang datang berkerumun. Ternyata mereka menyukaiku. Ini aneh. Aku menganggapnya sebagai mukjizat. Apalagi di usia 20 tahun saat itu mulai banyak pemudi yang melirik-lirikan mata ke arahku. Aku senang. Mungkin rengeng-rengeng itu telah membuat hati mereka gemas. Yang jelas, aku sudah dikenal," ungkap Gesang.

Namun bagi bapak Gesang, musik bukanlah segalanya dan tidak selalu bisa menghidupinya di masa depan. Bapaknya pun membelikan Gesang sebuah toko dan berjualan batik mengikuti bisnis keluarganya. Tapi hal itu tidak membuat Gesang berhenti bermusik di orkes keroncongnya, justru itu membuat dia semakin menjadi.

Bertahun-tahun berlalu, Gesang dan orkes Marko pun masuk studio radio dan lagu pertama ciptaannya Si Piatu pun mengalun. Terinspirasi dari seorang gadis kecil yang tidak berayah-ibu, kurus dan kumal, dia terpaksa bekerja keras, dan makan dari gaji saat bekerja di keluarga kaya.

Penampilannya membawakan lagu itu pun membuat nama Gesang semakin harum. Orang-orang yang mendengarnya bertanya-tanya tentang judul lagu dan tidak sedikit mengungkapkan kekaguman. Tapi tak sedikit pula yang mengkritik. Namun itulah awal dari perjalanan sang maestro.

Lahirnya Karya Lestari, Bengawan Solo

Dalam buku tersebut, Gesang berkisah bagaimana lahirnya Bengawan Solo. Pada Desember 1940. Di bawah temaram lampu 25 watt, bersama dengan segelas kopi yang sudah dingin, beberapa puntung rokok yang berada samping-sampingan bersama suling bambu, Gesang berulang kali mencari lirik lagu yang tepat.

Setengah satu malam, ia terus bergumam, menyesuaikan kata yang tercipta. Gesang terus mencoba, menguji, dan melantunkan suara sambil sesekali meniupkan sulingnya hingga keresahannya sirna. Begitulah lirik pertama lahir.

"Bengawan Solo

Riwayatmu ini

Sedari dulu jadi perhatian insani"


"Musim kemarau

Tak seb'rapa airmu

Di musim hujan nanti

melupa sampai jauh"


Di tengah pegalnya kaki karena terlalu lama duduk, lirik lagu itu berlanjut sampai subuh nyaris menjelang.


"Mata airmu dari Solo

berkurung Gunung Seribu

Air mengalir sampai jauh

Akhirnya ke laut"


"Itu perahu...

riwayatnya dulu

Kaum pedagang s'lalu naik itu perahu"

Namun lagu yang diberi judul Bengawan Solo tersebut tidak serta-merta jadi. Gesang yang perfeksionis itu. Dia pun meminta temannya Syamsuri, ketua orkes Sinar Bulan tempatnya bergabung usai dari Marko, memberikan pendapat. Walaupun belum punya notasi, hanya lewadendangan. Namun Syamsuri membantu untuk menuliskannya.

Setelah not ditemukan Gesang dan Syamsuri pun mencobanya berulang kali. Dinyanyikan Gesang dengan suara khasnya. Sampai keesokan harinya, mereka mencoba menyanyikannya lagi lengkap dengan tujuh instrumen orkes keroncong. Dan lahirlah karya lestari tak lekang waktu.

"Aku bergetas, tidak menyangka musik itu bisa mengalirkan listrik dalam urat darahku. Bibirku menyungging senyum. Kuucapkan terima kasih kepada mereka Tanpa bantuan Orkes Sinar Bulan, lagu itu pasti hanya tinggal puisi," kata Gesang.

Lagu Bengawan Solo pun dibawakan live di depan para penonton dan juga pendengar radio. Sambutannya? Semua terhanyut oleh aliran Bengawan Solo yang dinyanyikan Gesang dan kawan-kawan. Lagu ini pun bergema di seluruh penjuru.

"Menyentuh dan bercerita tentang Solo dan sungai yang melintasinya. Sederhana dan jujur, lagu itu adalah potret telanjang tentang keberadaan Bengawan Solo. Milik kami semua," tutur Gesang dalam buku itu.

Wacana Pahlawan Nasional yang Belum Terwujud

Di awal kepergiannya yang tanpa tanda tepat sore 15 tahun lalu, media memberitakan duka kepergian sang maestro asal Solo tersebut. Bengawan Solo kembali menggema di televisi dan radio. Ucapan demi ucapan duka berdatangan dari sesama musisi, pemerintah, dan masyarakat.

Dua hari setelah Gesang tiada, wacana menjadikannya seorang pahlawan nasional pun bergema. Menteri Sosial era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono di periode kedua, Salim Segaf Aljufri menyambut baik beberapa kalangan mengusulkan almarhum menjadi kandidat pahlawan nasional.

"Sebaiknya usulan diteruskan kepada pemerintah daerah setempat. Agar dipenuhi persyaratan administrasi dan pertimbangan sejarahnya," kata Salim seperti yang dikutip dari Detikcom tahun 2010 lalu.

Berakhir pada usulan, wacana itu pun hilang bagai ditelan bumi. Tiga tahun kemudian, ketika Joko Widodo masih menjadi Gubernur DKI Jakarta, ia mendukung Gesang Martohartono menjadi pahlawan nasional. Dukungan itu dibuktikan ketika Jokowi menandatangani sebuah spanduk ukuran besar di depan Sriwedari ketika acara Car Free Day.

"Semua masyarakat sudah tahu siapa Gesang itu, jasanya terlalu banyak di dunia kesenian. Jasa Gesang semua sudah tahu, tidak perlu disebuti satu per satu," kata Jokowi yang sedang mudik ke Solo saat itu, dikutip Antara.

Namun selama 10 tahun Jokowi menjabat sebagai presiden Indonesia, dukungan itu seakan terlupakan begitu saja hingga hari ini. Penyataan paling terbaru tentang Gesang adalah pada tahun 2017 saat Wali Kota Solo FX Had Rudyatmo mengusulkan dua nama tokoh dari Solo untuk memperoleh gelar terhormat tersebut.

"Mbah Gesang Martohartono layak mendapatkan gelar pahlawan di bidang seni yang digeluti hingga akhir hayatnya karena beliau merupakan maestro keroncong," ujarnya.

Tapi lagi-lagi itu hanyalah wacana. 8 tahun dari pernyataan terakhir soal wacana pahlawan nasional untuk Gesang, tidak ada kepastian kapan sang maestro pecinta Sungai Bengawan Solo ini terpampang di buku-buku sejarah kita sebagai seorang pahlawan nasional bersanding dengan WR Soepratman dan musisi nasional lainnya.

Waktu terus berlalu. Riwayat pencipta lagu yang dikagumi berbagai tokoh dunia sampai Negeri Matahari ini mungkin telah tiada. Walaupun entah sampai kapan jasanya akan diakui oleh negara, kita sebagai generasi muda agaknya jangan pernah lupa bahwa ada seorang musisi jenius dari Kota Batik yang mencintai Bengawan Solo hingga jauh.

(DIR/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS