Entah harus miris atau sedih, ada banyak konten kreator yang mengungkapkan lemahnya kemampuan membaca dan berhitung para pelajar Indonesia. Bahkan, ada yang membuat konten dengan beberapa pelajar SMA, meminta mereka untuk membaca sebuah jam analog, dan berakhir dengan kejutan: mereka tidak sama sekali mampu membaca jam analog. Salah satu hal mendasar dalam pemahaman numerasi dan literasi.
Padahal, literasi merupakan pintu pertama seseorang untuk mencerna informasi, mengasah kemampuan analisis kritis dan menciptakan sudut pandang yang lebih inovatif. Sedangkan, numerasi membuat kita mampu menyelesaikan masalah berbasis angka, logika, sampai interpretasi data kompetensi yang vital di era teknologi dan pengetahuan yang terus berkembang.
Jika keduanya tidak mampu dipelajari dengan benar, maka pelajar bukan hanya akan kesulitan memahami materi akademis, tetapi juga rentan gagap dalam mengenali dan memproses hal-hal yang lebih krusial. Misalnya, tak mampu memahami hak-hak kewarganegaraan, gagal beradaptasi dengan tuntutan karier masa kini, yang sekarang diperkeruh dengan kehadiran Akal Imitasi (AI), apalagi berkompetisi dengan negara-negara yang lebih maju perihal pendidikan, serta merespons dinamika global secara kritis.
Sulit Berhitung, Malas Membaca, Tapi Lancar Bermedia Sosial
Sungguh disayangkan, di zaman semodern ini, pelajar Indonesia masih saja berkutat dengan kemampuan literasi dan numerasi yang buruk. Salah satu contohnya juga tampak pada konten yang dibuat oleh seorang guru SMA, yang mencoba metode ice breaking dengan menyebutkan soal pembagian sederhana kepada para muridnya. Hal ini menjadi prihatin, karena sebagian besar murid justru terlihat begitu kesulitan untuk menjawab, padahal materi tersebut merupakan pelajaran lumrah diketahui pada tingkat sekolah dasar.
Yang terbaru, beberapa siswa SMP di Bali bahkan diketahui masih tidak bisa membaca. Dikutip CNN Indonesia, Plt Kepala Disdikpora Buleleng, Putu Ariadi Pribadi, mengungkapkan bahwa dari total 34.062 siswa SMP di Buleleng, terdapat sebanyak 155 siswa yang masuk ke dalam kategori tidak bisa membaca, dan 208 siswa lain masuk ke dalam kategori tidak lancar membaca.
Alasan lemahnya kemampuan siswa tidak lancar membaca ini mencakup kurangnya motivasi belajar, tidak tuntasnya proses pembelajaran secara runut, disleksia, disabilitas, hingga kurangnya dukungan dari unit keluarga. Kemudian, faktor efek jangka panjang pembelajaran jarak jauh, kesenjangan literasi dari jenjang SD, miskonsepsi kurikulum, kekhawatiran tenaga pendidik terhadap ancaman hukum, stigma sosial, dan gangguan psikologis yang menerpa siswa juga turut berkontribusi dalam hal ini.
Akan tetapi, meski terdapat banyak sekali faktor yang mengakibatkan siswa-siswi tidak mampu membaca dengan baik, ironi malah muncul dengan jelas ketika para pelajar justru mampu aktif bermain media sosial bahkan tergolong lancar berteknologi.
"Karena ada temuan anak yang tidak bisa menulis, tapi lancar mengetik di HP atau lancar bermedia sosial. Kami tidak menampik adanya teknologi, tapi ini dilakukan agar anak bisa berkonsentrasi dalam menempuh pendidikan," kata Wakil Bupati Buleleng, Gede Supriatna.
Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: apa yang sebenarnya mereka pelajari selama ini di bersekolah? Padahal literasi dan numerasi dasar yang merupakan pondasi, seharusnya dikuasai oleh para pelajar, sebelum melangkah ke pelajaran yang lebih kompleks, apalagi terjun ke dalam bagian masyarakat maya yang tidak kalah rumit.
Dalam laporan Programme for International Student Assesment (PISA) 2022, Indonesia masih berada di kategori tertinggal dibandingkan negara-negara ASEAN, dalam urusan literasi dan numerasi. Indonesia hanya mendapatkan 366 pada skor matematika, 359 dalam skor membaca, dan 376 dalam Sains. Sebagai perbandingan, Singapura yang menempati posisi tertinggi mencatatkan skor matematika senilai 575, membaca 543, dan sains 561, disusul Vietnam di peringkat kedua, dan Brunei Darussalam di peringkat ketiga.
Walau demikian, rendahnya skor pelajar SMP dan SMA Indonesia dalam literasi dan numerasi tidak serta-merta bisa dijadikan kesimpulan mutlak. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu'ti mengaku bahwa dirinya tidak cemas, meski tidak bisa juga mengabaikan realitas di lapangan.
"Kita tidak boleh melakukan overgeneralisasi. Sehingga kita harus berhati-hati terhadap berbagai macam informasi yang ada. Kami juga tidak menutup mata. Kami mencoba untuk melakukan upaya-upaya perbaikan dan karena itu maka termasuk program prioritas kami literasi dan numerasi," ujarnya dikutip Detikcom.
Kemendikdasmen lantas menganggap fenomena tersebut merupakan sebuah tantangan yang harus dicari jalan keluarnya. Salah satunya adalah upaya pemerintah menanamkan belajar 13 tahun dan pengajaran matematika sejak tingkat pendidikan usia dini. Namun begitu, dengan itikad yang telah dimiliki Kemendikdasmen, pertanyaan besarnya akan tetap sama: apa yang sebenarnya harus dibenahi dari sistem pendidikan kita?
Kegagalan Menahun yang Tak Pernah Dibenahi
Setiap pergantian presiden dan kabinet di Indonesia selalu membawa agenda baru. Salah satunya adalah pergantian sistem kurikulum, mengikuti program kerja menteri yang menjabat. Artinya, para pelajar kita pasti merasakan pergantian kurikulum setiap 5 tahun sekali.
Secara logika, seharusnya pergantian kurikulum ikut wajib memperbaiki kualitas pendidikan.Namun, pada kenyataannya, isu literasi dan numerasi tetap menjadi masalah fundamental yang tak pernah dibenahi secara serius dari tahun ke tahun. Hal ini disampaikan oleh Andi Hasdiansyah, akademisi bidang pendidikan dari Universitas Muhammadiyah Pare-Pare, Sulawesi Selatan yang diundang dalam SuarAkademisi, The Conversations.
Menurut Andi, selama ini pelajar Indonesia tidak pernah diajari untuk memahami sampai menginterpretasikan materi dengan kritis. Fokus pelajar terhenti sebatas hafalan dan pengumpulan pengetahuan belaka. Padahal, kemampuan interpretasi dan refleksi kritis esensial penting untuk perkembangan intelektual pelajar.
Andi juga menyoroti bahwa kurikulum pendidikan di Indonesia kerap semata-mata dijadikan alat untuk mencapai kesuksesan administratif, sehingga mengesampingkan pengembangan kompetensi pelajar secara mendasar. Paradigma ini justru menjauhkan pelajar dari tujuan pendidikan yang sesungguhnya.
Dalam kondisi ini, permasalahan literasi dan numerasi pelajar memerlukan reformasi menyeluruh: mulai dari reformasi kurikulum yang lebih relevan dengan kebutuhan lokal, distribusi sumber daya yang lebih adil, hingga perhatian khusus terhadap seluruh sekolah dan guru di Indonesia.
Tiga aspek ini, menurut Andi, harus diperbaiki secara serius agar output dari sekolah kemudian bukan hanya sekadar nilai, kenaikan kelas, atau kelulusan, tetapi juga kepemilikan kompetensi dasar untuk menjadi warga yang berkualitas baik secara daring maupun luring.
(DIR/RIA)