Insight | General Knowledge

1948: Peristiwa Nakba dan Berdirinya Israel

Rabu, 11 Oct 2023 18:30 WIB
1948: Peristiwa Nakba dan Berdirinya Israel
Foto: Getty Images
Jakarta -

Sehari setelah kelompok militan Hamas menyerang Israel pada Sabtu (7/10/23) dalam operasi "Badai Al-Aqsa", Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyatakan perang terhadap Palestina. Serangan yang diklaim sebagai upaya merebut kembali Tanah Air warga Palestina dari penjajahan Israel ini memicu pecahnya perang terbuka antara Israel dan Palestina, yang akhirnya menyebabkan korban jiwa hingga 1.100 orang. Angka ini menambah jumlah korban jiwa yang terus meningkat. Pada 2021, PBB mencatat ada 251 korban jiwa dari kubu Israel, sedangkan dari Palestina sendiri jumlahnya jauh lebih banyak, yaitu 5.590 jiwa.

Di satu sisi, banyak pemimpin dunia yang mengutuk serangan Hamas dan bersolidaritas dengan Israel. Termasuk Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy, yang melalui akun Twitter resminya mengatakan bahwa "Israel's right to self-defense is unquestionable." Di sisi lain, banyak akademisi yang berpendapat bahwa apa yang terjadi hari ini merupakan imbas dari penjajahan Israel selama bertahun-tahun. Salah satunya yaitu associate professor dari Paris Cité University, Bakshi Sandeep, yang mendorong para akademisi untuk bersolidaritas dengan Palestina dan mengakhiri penjajahan.

Silang pendapat masyarakat global mengenai siapa yang harus dibela dan siapa yang berhak mengklaim wilayah Palestina menambah pelik proses resolusi konflik. Sebab nyatanya, apa yang terjadi di Jalur Gaza selama bertahun-tahun merupakan krisis kemanusiaan yang sarat dengan kekerasan dan perampasan hak. Bagaimana konflik berkepanjangan ini bisa terjadi?

Malapetaka di Tanah Suci
Konflik antara Israel dan Palestina bisa ditarik kembali hingga 75 tahun lalu, tepatnya pada tahun 1948 ketika David Ben-Gurion—Kepala Badan Yahudi yang akhirnya menjadi perdana menteri pertama Israel—mendeklarasikan Israel sebagai negara. Ironisnya, meski 1948 diingat oleh warga Israel sebagai tahun kemerdekaan, tahun ini justru diingat oleh warga Palestina sebagai Nakba, atau yang dalam bahasa Arab berarti "malapetaka".

Setiap tanggal 15 Mei, warga Palestina melakukan demonstrasi untuk memperingati Hari Nakba, sebutan untuk peristiwa eksodus besar-besaran yang membuat 750.000 warga Palestina keturunan Arab terusir dari rumah dan tanah kelahiran mereka. Melansir Al Jazeera, antara tahun 1947 hingga 1949, milisi Zionis menguasai 78% wilayah Palestina, menghancurkan 530 desa dan kota, serta membunuh 15.000 warga Palestina dalam serangkaian serangan bersenjata.

Namun, pemerintah Israel menolak klaim warga Palestina mengenai Nakba, sampai-sampai kata "Nakba" dihapus dari semua buku pelajaran sekolah di Israel. Menurut Netanyahu, dikutip dari The Guardian, penggunaan kata "Nakba" adalah propaganda untuk mendelegitimasi kemerdekaan Israel, sedangkan ratusan ribu warga Palestina yang mengungsi adalah konsekuensi logis dari "perang memperjuangkan kemerdekaan".

Meski Nakba terjadi pada 1948, tapi kondisi yang terjadi saat itu masih berlangsung hingga saat ini. Menurut data PBB, hingga hari ini ada 5,9 juta pengungsi Palestina yang tersebar di kamp-kamp pengungsian di Yordania, Gaza, Tepi Barat, Suriah, Lebanon, dan Yerusalem Timur.

Zionisme dan Intervensi Inggris
Meski Nakba merupakan klimaks perebutan wilayah yang melahirkan konflik berkepanjangan, terusirnya warga Palestina dari tanah kelahiran mereka telah terjadi bertahun-tahun sebelumnya. Nakba merupakan imbas dari Zionisme yang muncul di akhir abad ke-19 di Eropa Timur, yaitu gerakan nasionalis orang-orang Yahudi untuk kembali ke "Tanah Suci" dan mereklaim tanah tersebut sebagai wilayah negara mereka sendiri.

Pada 1896, jurnalis Yahudi berkebangsaan Austria, Theodor Herzl, menerbitkan sebuah pamflet berjudul "The Jewish State". Herzl menulis bahwa solusi dari sentimen anti-semit yang dirasakan oleh orang Yahudi di Eropa adalah dengan membuat sebuah negara Yahudi. Dalam tulisan ini, Herzl menganjurkan orang Yahudi untuk membeli tanah di Palestina, dan dengan begitu mereka bisa kembali ke tanah leluhur mereka. Tulisan Herzl ini kemudian menjadi landasan untuk tumbuhnya gagasan Zionisme dan mendorong kedatangan imigran Yahudi di Palestina.

Inggris juga memiliki peran besar dalam terbentuknya Israel. Setelah kekaisaran Ottoman kalah dalam Perang Dunia 1, wilayah Palestina dikuasai oleh Inggris. Pada 1917, Perdana Menteri Inggris A.J. Balfour, mengeluarkan deklarasi—dikenal sebagai Deklarasi Balfour—yang menjanjikan tanah Palestina kepada diaspora Yahudi, agar Inggris mendapat dukungan dalam perang.

Sesudahnya, angka diaspora Yahudi yang menetap di Palestina meningkat drastis; dari 1922 hingga 1935, populasi Yahudi naik dari 9 persen menjadi 27 persen. Genosida terhadap orang Yahudi atau Holocaust juga menjadi faktor yang berperan besar dalam tingginya diaspora Yahudi yang menduduki wilayah Palestina.

Pada awal tahun 1947, Inggris memutuskan untuk meninggalkan Palestina dan menyerahkan isu Israel-Palestina kepada PBB. PBB kemudian mengeluarkan Resolusi 181 yang membagi wilayah tersebut menjadi dua bagian, di mana 55% wilayah Palestina diberikan untuk Israel. Sementara itu, Yerusalem ditetapkan sebagai wilayah internasional. Namun, solusi dari PBB ini ditolak oleh warga Palestina, yang merasa dirugikan oleh porsi pembagian tersebut. Perang pun pecah antara warga Palestina keturunan Arab dengan tentara Zionis, dan perang inilah yang akhirnya menyebabkan malapetaka atau Nakba.

Meski Nakba terjadi tahun 1948, tapi konflik yang lahir darinya masih berlangsung hingga hari ini dan menyebabkan ratusan ribu warga hidup dalam teror. Dan peristiwa yang kita lihat hari ini adalah buntut dari kekerasan yang telah dipupuk selama puluhan tahun.

[Gambas:Audio CXO]

(ANL/tim)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS