Insight | Science

Benarkah Radiasi Smartphone Bahaya Bagi Otak?

Jumat, 25 Feb 2022 14:00 WIB
Benarkah Radiasi Smartphone Bahaya Bagi Otak?
Foto: Eirik Solheim Unsplash
Jakarta -

Pernahkah kamu mendapatkan peringatan oleh orangtua untuk berhati-hati agar tidak tidur dengan smartphone yang diletakkan di dekat kepala? Mungkin larangan tersebut disertai dengan berita yang di forward ke WhatsApp mengenai bahayanya radiasi smartphone untuk kesehatan, lantaran dapat menyebabkan kanker otak. Namun, benarkah faktanya?

Smartphone bekerja dengan mengirimkan gelombang radio melalui jaringan atau antena yang disebut sebagai base stations. Frekuensi radio yang dipancarkan oleh smartphone, berbeda dengan radiasi ionisasi dari X-rays atau sinar gamma, karena tergolong sebagai gelombang elektromagnetik yang tidak bisa memecah ikatan senyawa atau menyebabkan ionisasi pada tubuh manusia.

Dilansir dari WHO, smartphone merupakan pemancar frekuensi radio berdaya rendah yang beroperasi pada frekuensi antara 450 hingga 2700 MHz, dengan daya puncak yang berada di kisaran 0.1 hingga 0.2 watt.

Nyatanya, tubuh kita memang menyerap energi dari alat yang memancarkan radiasi frekuensi radio. Adapun efek yang umum dialami dengan penyerapan radiasi tersebut hanyalah sampai pada efek seperti rasa panas di area tubuh yang terkena kontak dengan handphone, seperti kepala dan telinga. Namun, efek panas pada bagian tubuh tersebut bahkan tidak cukup untuk mempengaruhi suhu badan.

Eksposur pengguna smartphone terhadap radiasi akan berkurang seiring dengan jauhnya jarak smartphone dan tubuh. Sebagai contoh, dengan jarak 30 hingga 40 cm dari tubuh saat sedang bertukar pesan, browsing internet, ataupun menggunakan fitur hands-free, maka postur tersebut tentunya memiliki risiko lebih rendah untuk terekspos radiasi frekuensi radio ketimbang jika memegang smartphone di sebelah kepala.

Beberapa studi telah dilakukan untuk menguak efek frekuensi radio smartphone terhadap aktivitas listrik pada otak, fungsi kognitif pada otak, pola tidur, serta tekanan darah. Hingga saat ini, riset tidak dapat menunjukkan bukti yang konsisten mengenai efek kesehatan dari paparan radiasi frekuensi radio selain tissue heating (rasa panas pada jaringan tubuh). Selanjutnya, riset juga belum dapat memberikan dukungan terkait hubungan sebab akibat antara radiasi frekuensi radio dengan klaim gejala-gejala yang telah dilaporkan ataupun hipersensitivitas elektromagnetik.

Lantas, bagaimana dengan efek jangka panjang dari radiasi smartphone, seperti adanya potensi untuk kanker otak? Beragam jenis studi telah dilakukan, salah satunya studi epidemiologis yaitu cohort studies dan case-control studies. Keduanya telah diadakan untuk menguji hubungan antara penggunaan handphone dan risiko kanker. Perbedaannya, case-control study membandingkan penggunaan handphone kepada orang yang memiliki tumor, dan orang yang tidak memiliki tumor, sementara cohort study menyatukan sekelompok orang yang awalnya tidak memiliki kanker untuk ditinjau seiring penelitian berlangsung, guna membandingkan adanya pertumbuhan tumor pada pengguna handphone dan non-pengguna handphone.

Hasil penelitian cohort study yang dilakukan di Denmark pada 358.000 pelanggan handphone, menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan antara penggunaan handphone dengan tingkat kejadian tumor seperti glioma, meningioma, atau neuroma akustik, bahkan di antara orang-orang berumur 18-20 tahun yang telah menjadi pelanggan handphone selama 13 tahun atau lebih.

Begitu pula studi yang dilakukan di Inggris, Million Women Cohort Study, yang mengumpulkan data dari kuesioner yang diisi oleh partisipan. Berdasarkan penggunaan handphone yang dilaporkan secara self-report, menunjukkan bahwa tidak adanya peningkatan risiko tumor glioma, meningioma, ataupun tumor sistem saraf non pusat.

Sementara, sebuah kajian bernama Interphone Case-Control Study diselenggarakan oleh the International Agency for Research on Cancer (IARC) dibawah naungan WHO, meneliti potensi tumor di leher akibat penggunaan handphone terhadap partisipan dari negara Eropa, Israel, Kanada, Australia, Selandia Baru, dan Jepang. Data diperoleh dari kuesioner yang diisi oleh partisipan, yang sebagian besar analisisnya menunjukkan tidak adanya peningkatan risiko kanker glioma dan meningioma secara keseluruhan di bagian otak atau sistem saraf pusat lainnya akibat penggunaan handphone. Namun, meskipun kecil, terdapat satu analisis yang menunjukkan peningkatan risiko glioma di antara partisipan penelitian yang menghabiskan waktu paling banyak dalam melakukan panggilan telepon seluler. Pada akhirnya, atas beberapa alasan, para peneliti sepakat untuk menganggap temuan tersebut tidak dapat disimpulkan (inconclusive).

Berangkat dari penelitian tersebut, IARC mengklasifikasikan medan elektromagnetik frekuensi radio yang dimiliki handphone ke dalam Grup 2B, yakni kategori yang digunakan ketika adanya hubungan kausal yang dianggap kredibel, namun bias, kebetulan, atau kerancuan tidak dapat dikesampingkan dengan keyakinan yang masuk akal.

Sementara waktu, berdasarkan studi demi studi yang telah dilakukan selama dua dekade terakhir, konsensus internasional mengenai korelasi antara radiasi handphone dan kemampuannya dalam meningkatkan risiko kanker otak saat ini ialah bahwa fakta tersebut tidak dapat dibuktikan seutuhnya. Namun, studi mengenai hubungan kausal antara smartphone dan risiko kanker otak dengan waktu penggunaan yang lebih lama, yaitu lebih dari 15 tahun, sedang berlangsung guna menyajikan hasil penelitian ilmiah yang lebih konkrit.

Di era sekarang, smartphone merupakan alat komunikasi utama yang digunakan oleh hampir semua orang di penjuru dunia. Dengan gaya hidup yang telah berubah seiring waktu membuat smartphone menjadi barang yang esensial dalam kehidupan sehari-hari, terlebih pada anak-anak atau anak remaja yang sekiranya tidak bisa lepas dari genggaman smartphone. Mengingat fenomena tersebut, ada baiknya bagi kita untuk lebih bijak dalam menggunakan smartphone.

[Gambas:Audio CXO]

(HAI/MEL)

Author

Hani Indita

NEW RELEASE
CXO SPECIALS