Insight | General Knowledge

Malangnya Generasi Emas Sepak Bola Belgia

Selasa, 02 Jul 2024 15:34 WIB
Malangnya Generasi Emas Sepak Bola Belgia
Malangnya Generasi Emas Sepak Bola Belgia/ Foto: Instagram/@belgianreddevils
Jakarta -

"Apa itu generasi emas?" tanya Kevin De Bruyne kepada wartawan sesaat setelah negaranya tersingkir dari babak 16 besar Euro 2024 malam tadi. "Kamu bilang Prancis, Inggris, Jerman, dan Spanyol bukan generasi emas? Oke..."

Jenderal lapangan tengah Belgia ini terlihat tidak bisa menahan emosinya atas beberapa pertanyaan dalam press conference yang harus ia hadapi seorang diri. Beban sebesar itu untuk membawa harum nama negaranya, malah telah mencapai batasnya. Belgia yang sudah digadang-gadang sebagai generasi emas sejak memasuki dekade 2010 tidak pernah menorehkan tinta emas di setiap kompetisi yang mereka ikuti.

Mari membedah satu per satu perjalanan si "generasi emas" ini. Apakah memang negara-negara lainnya terlalu kuat, atau performa mereka tidak pernah menyentuh ekspektasi publik sepak bola.

Kegagalan Generasi Emas Timnas Belgia

Euro 2012 seharusnya menjadi panggung pertama generasi emas ini. Namun seperti seorang koki yang baru masuk ke dapur profesional, nama-nama yang nantinya besar itu masih hijau. Sebenarnya sudah ada Thibaut Courtois, Vincent Kompany, Jan Vertonghen, Toby Alderweireld, Axel Witsel, Marouane Fellaini, Radja Nainggolan, De Bruyne, Eden Hazard, Dries Mertens, sampai Romelu Lukaku. Tapi wajar saja, masih banyak penyesuaian dan adaptasi yang membuat mereka gagal dalam babak kualifikasi.

Belgia mulai menemukan fondasi terbaiknya saat memasuki Piala Dunia 2014. Tidak ada kekalahan selama babak kualifikasi yang terus berlangsung hingga memasuki babak grup yang mereka juarai. Sayangnya, langkah mereka dalam knockout stage dihentikan calon finalis, Argentina, yang saat itu dilatih Alejandro Sabella. Mengingat saat itu Argentina tidak bermain sebagus yang diprediksikan, ada rasa penyesalan besar melihat Belgia harus pulang lebih cepat dari Afrika Selatan.

Bagaimana dengan Euro 2016? Dua tahun berjalan sejak Piala Dunia 2014 harusnya bisa menjadi bentuk pembelajaran dari skuad ini. Masih bersama Marc Wilmots yang melatih mereka sejak gugur dari Euro 2012, apa yang mereka sajikan masih sama saja. Sempat terlihat menjanjikan hingga berhasil lolos ke babak penyisihan, ujung-ujungnya malah kalah dari Wales yang saat itu terhitung tim kuda hitam. Padahal Belgia sendiri sudah semakin mantap mengukuhkan posisi mereka sebagai tim unggulan. Apa daya, hasilnya kembali gugur di tengah turnamen.

Beberapa nama yang sempat disebutkan di atas sebenarnya malah terlihat semakin menanjak ketika memasuki Piala Dunia 2018 di Rusia. Bayangkan saja, Hazard lagi sebegitu mengerikan di Chelsea, De Bruyne semakin mengukuhkan namanya di skuad Manchester City bersama Pep Guardiola, sedangkan Lukaku sedang menemukan performa terbaiknya di Manchester United. Belum lagi nama-nama lain yang bisa dibilang sedang memasuki peak performance.

Apa yang diperlihatkan Belgia di Rusia pun sesuai ekspektasi. Semifinal berhasil mereka capai dengan keyakinan bisa masuk ke final untuk pertama kalinya dalam sejarah. Walaupun harus bertemu Prancis yang saat itu baru "sembuh" setelah kalah di final Euro 2016, optimisme itu tetap ada. Sengitnya pertandingan tersebut akhirnya menyisakan luka paling mendalam. Mimpi menuju final harus dikubur sedalam-dalamnya. Prancis berhasil menang, hingga menjadi juara pada akhir kompetisi.

Memang, Belgia kalah dari sang juara. Namun track record yang harus terhenti di tengah jalan dari kompetisi ke kompetisi membuat generasi emas ini menjadi semu. Apanya yang emas kalau tidak pernah sampai ke babak final? Momen yang sama juga terjadi pada Euro 2020 ketika kalah dari Italia yang saat akhir kompetisi menjadi juara.

KINI MENJADI GENERASI TUA

Generasi emas "The Red Devils" sudah selayaknya dipanggil generasi tua. Bukan lagi matang, tetapi sudah tua dimakan umur. Mau gonta-ganti pelatih, di mana Roberto Martinez terbukti selalu gagal memberikan taktik terbaiknya sampai harus gugur di Piala Dunia 2022 dari babak grup, hingga sekarang dilatih oleh Domenico Tedesco yang kalau dilihat memiliki vibe sama dengan Martinez: tidak mampu mengatur skuad penuh bintang dengan skema yang tepat.

Ditambah lagi, semua nama yang masuk dalam generasi emas Belgia pada dekade 2010 sudah memasuki umur kepala tiga semua. Efeknya sebegitu mendalam, terlihat dari pergerakan yang sudah tidak sama lagi, hingga dukungan pemain-pemain baru yang tidak sama seperti generasi mereka sebelumnya. Belgia yang sekarang bukanlah yang dulu kita kenal.

Tidak aneh melihat De Bruyne harus menahan rasa frustrasi saat harus kembali mengirimkan umpan-umpan kepada Lukaku yang selalu buang-buang peluang, atau positioning-nya yang terlalu buruk untuk pemain sekelasnya. Beban sebagai kapten pun membuat mulutnya tidak lagi bisa menahan emosi atas apa yang terjadi dari negara yang telah dibelanya dalam lebih dari 100 pertandingan.

Jika ingin mencoba mencari sisi positif, apa yang terjadi kepada Belgia cukup mirip dengan Jerman. Dari Piala Dunia 2002 sampai Euro 2012, semuanya hanyalah kegagalan semata. Dua kali kalah di final, sampai jadi tuan rumah Piala Dunia 2006 yang tidak mampu menjadi raja di tanah sendiri. Bagi Jerman, periode waktu tersebut seakan dekat dengan juara namun jauh dari takdir yang diinginkan. Tentunya revans dari semua kegagalan itu dibayar manis saat mengangkat juara Piala Dunia 2014.

Sedangkan Belgia sendiri? Rasanya sulit untuk mengikuti jejak Jerman. Tidak ada titik cerah dari apa yang terjadi pada tim ini dalam 10 tahun terakhir. Alih-alih mencoba mereplikasi sejarah negara lain, sepertinya publik Belgia harus bersabar sampai generasi emas sepak bola mereka bisa lahir kembali. Atau mungkin memang tidak bisa lagi lahir keajaiban itu untuk kedua kalinya.

[Gambas:Audio CXO]

(tim/alm)

Author

Timotius P

NEW RELEASE
CXO SPECIALS