Masih banyak yang meyakini bahwa diam adalah jawaban atas segala situasi. Walaupun istilah 'diam adalah emas' itu bisa membuat 'asap' tidak berubah lagi jadi 'api', namun dalam setiap masalah yang melibatkan emosi terdalam kita sebagai seorang manusia, diam justru bukan jawabannya.
Justru itu adalah awal dari kehancuran mental kita perlahan-lahan dan memengaruhi hubungan kita dengan orang sekitar, terutama keluarga terdekat. Inilah sedikit banyak hal yang ditampilkan dalam film drama keluarga Mungkin Kita Perlu Waktu, persembahan kolaborasi apik dari Adhya Pictures, Kathanika Film, dan Karuna Pictures.
Katanya 'waktu' adalah jawaban untuk merelakan kesedihan di lima tahap berduka atau yang dikenal sebagai Five Stages of Grief. Dalam press screening bersama awak media beberapa waktu lalu, sutradara sekaligus penulis film Mungkin Kita Perlu Waktu, Teddy Soeriatmadja mengatakan bahwa di film ini dia ingin menggambarkan bagaimana setiap karakternya memproses rasa kesedihannya dengan tahap Five Stages of Grief tersebut.
![]() |
Review Mungkin Kita Perlu Waktu
Adegan pertama dibuka dengan suara tombol lampu meja yang dihidup-matikan oleh Ombak (Bima Azriel) yang sedang termenung di samping tempat tidurnya. Dalam diamnya, Ombak mengingat masa-masa bahagia bersama keluarganya saat kakaknya Sara (Naura Hakim) masih hidup.
Bersama ayahnya Restu (Lukman Sardi) dan ibunya, Kasih (Sha Ine Febriyanti), mereka terlihat tertawa lepas. Di sela-sela itu, ingatan Ombak juga kembali dalam kecelakaan mobil yang menyebabkan kakak satu-satunya itu meninggal. Sebagai anak bungsu di keluarganya, Ombak pun memiliki banyak pemikiran yang tak tersampaikan satu tahun usai kepergian kakaknya.
Semua itu terlihat betapa canggungnya ketika ia berinteraksi dengan orang tuanya, terutama ibunya. Hanya ayahnya yang mencoba untuk memperkecil jarak mereka sebagai penengah dan penyampai pesan, seakan seperti sebuah jembatan di antara dua benua yang terpisah jauh.
Film ini sedikit banyak memperlihatkan situasi nyata yang terjadi di kehidupan sehari-hari, di mana orang tua suka memberikan silent treatment kepada anaknya yang mungkin berbuat salah. Secara tidak langsung, efek dari silent treatment ini ditunjukkan oleh sikap Ombak yang cukup memiliki kecemasan yang parah.
Beberapa kali, ia terlihat kesulitan dalam berinteraksi dengan teman-temannya dan melakukan hal-hal disukainya. Ternyata diketahui bahwa sebelumnya Ombak sempat ingin mengakhiri hidupnya karena depresi berkepanjangan akibat diam yang dilakukan oleh keluarganya pasca Sara meninggal.
Ada saat-saat ketika Ombak berkonsultasi dengan psikolog Nana (Asri Welas) perihal ketakutan dan kecemasan yang dialaminya selama ini, sedikit banyak relate dengan saya dan kehidupan remaja yang dialami. Dia mengira bahwa keluarga tak lagi menyayanginya, malah membencinya karena menjadi penyebab meninggal kakaknya.
Satu hal yang membekas dari karakter Ombak bagi saya adalah ketika adegan di mana dia sudah frustrasi dengan keadaan dan sulit untuk tenang, dia bercerita bahwa seharusnya dialah yang mati bukan kakaknya kalau hanya untuk dipersalahkan seumur hidupnya. Ya, sebuah fakta yang tidak jauh berbeda dalam kehidupan remaja zaman sekarang yang banyak memiliki hubungan tak harmonis dengan orang tuanya.
![]() |
Di tengah kecemasan yang melanda, munculnya karakter Aleiqa (Tissa Biani) yang menjadi 'oasis' bagi dahaga kasih sayang yang dialami oleh Ombak. Memiliki struggle yang sama, dua karakter ini terlihat semakin melengkapi satu sama lain dan menjadi peers yang saling mengingatkan. Namun semua itu berkata lain, Aleiqa pun tak mampu menyembuhkan rasa sakit Ombak yang sudah terlalu dalam malah semakin memperburuk keadaan mentalnya.
Walaupun penonton disajikan banyak adegan Ombak yang struggle dengan hidupnya pasca Sara tiada. Tapi Teddy sepertinya ingin menyampaikan bahwa yang kehilangan dan terpengaruh bukan hanya Ombak, namun orang tuanya, Restu dan Kasih. Bila Ombak mencoba melupakan kesedihan dengan melakukan hal yang disukainya, sementara Restu dan Kasih memiliki caranya sebagai orang tua ketika menghadapi kehilangan anak.
Kasih yang pergi mendekatkan diri kepada Tuhan, dan Restu yang mencoba menjadi pihak yang ceria dan tampak baik-baik saja. Namun sepanjang adegan antara dua orang suami-istri ini, tidak ada satupun yang benar-benar berani untuk berbicara mengenai rasa trauma mereka, rasa sakit mereka kehilangan anak.
Justru mereka tampak ingin seolah-olah semuanya sudah selesai, semuanya baik-baik saja, tanpa bicara, tanpa berduka bersama-sama. Mereka memendam kesedihan hingga kesedihan itu berubah menjadi racun yang sulit untuk disembuhkan dan memengaruhi hubungan mereka berdua.
Berbeda dengan film keluarga lainnya, harus saya akui menonton film Mungkin Kita Perlu Waktu benar-benar dalam artian sebenarnya. Perlu waktu. Film dengan alur yang perlahan seperti membaca buku sedikit demi sedikit, Teddy mengajak penonton untuk memahami makna dari tiap adegan tanpa terburu-buru.
![]() |
Dialog pun terasa tipis tapi tidak membuat beberapa adegan hilang maknanya. Misalnya ketika Restu sebagai ayah harus menjadi orang terkuat di keluarga tapi juga orang yang terlemah karena tidak bisa menjaga keluarganya yang baik. Berusaha memenuhi ekspektasi setiap anggota keluarganya, namun tidak pernah benar-benar tahu apa yang diinginkan atau dirasakannya. Padahal ayah butuh teman bicara, teman berbagi juga. Tapi kalau dibicarakan, ia takut menjadi trauma baru untuk keluarganya.
Sementara ibu yang berusaha untuk tetap tenang dan berusaha menjaga emosinya yang terdalam. Mengalihkan rasa sedih dengan ibadah walau ada keraguan yang disebabkan oleh trauma yang belum hilang. Silent treatment yang dilakukannya, justru membuat segalanya memburuk dan tak terkendali.
Menuju ending film ini, kita juga tidak menemukan penyelesaian yang mungkin kita sebagai penonton inginkan. Bicara dari hati ke hati, atau menyelesaikannya secara kekeluargaan tidak akan kamu dapatkan di film ini. Perpisahan justru menjadi conclusion dari semua hal yang terjadi.
Film ini benar-benar jauh dari kata tamat. Teddy seakan memberikan kesempatan kepada para penonton untuk memaknai ending film ini dari perspektif masing-masing. Seperti judul film ini, Mungkin Kita Perlu Waktu. Perlu waktu untuk bisa memahami dan membuat kita mengerti.
(DIR/DIR)