Nyaris 2 tahun sudah Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) hadir sebagai harapan bagi korban kekerasan seksual, sejak berlaku pada Mei 2022. Sejak disahkan, UU TPKS disambut hangat oleh para aktivis, LSM, akademisi, dan berbagai elemen masyarakat lainnya yang sudah memperjuangkan Undang-undang ini selama bertahun-tahun. Namun, UU TPKS dinilai masih belum maksimal dalam memberikan perlindungan dan rasa keadilan bagi korban. Mengapa demikian?
UU TPKS adalah hukum yang cukup progresif, ia mencakup berbagai jenis kekerasan seksual; pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan kekerasan seksual berbasis elektronik. Artinya, di mata hukum sudah ada batasan yang jelas mana tindakan-tindakan yang bisa dikategorikan sebagai kekerasan seksual. Namun, data yang ada di lapangan menunjukkan implementasi UU TPKS belum maksimal.
Meski sudah berlaku sejak 2022, sepanjang tahun 2023 ada banyak kasus kekerasan seksual yang memantik kemarahan publik. Pasalnya, penyelesaian kasus tersebut di pengadilan belum memberikan keadilan bagi korban. Misalnya saja, pada Agustus 2023, seorang polisi di Palangkaraya yang terbukti melakukan pelecehan kepada anak di bawah umur divonis 2 bulan penjara, padahal jaksa menuntut hukuman 7 tahun penjara.
Sementara itu, beberapa kasus kekerasan seksual yang telah dilaporkan ke kepolisian justru mandek dan tidak memberikan kejelasan ataupun keadilan bagi korban. Salah satu contohnya adalah kasus kekerasan seksual terhadap 29 santriwati di sebuah pondok pesantren di Sumbawa, NTB, pada tahun 2023 yang hingga kini masih belum diproses ke pengadilan lantaran jaksa menilai ada kekurangan bukti.
Kedua contoh kasus di atas memberikan gambaran masih ada banyak kasus kekerasan seksual, yang meski sudah berhasil dilaporkan dan diproses ke kepolisian, justru terhambat di level kejaksaan hingga pengadilan. Di luar itu, masih ada banyak kasus kekerasan seksual yang terhambat di proses penyidikan oleh kepolisian. Dengan kata lain, sudah terhambat sejak di tahap awal korban melaporkan ke aparat penegak hukum.
Dilansir Antara, perwakilan Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Ratna Batara Munti mengatakan bahwa meskipun telah menjadi undang-undang, tapi masih banyak aparat penegak hukum yang menolak untuk memproses laporan korban dengan menggunakan UU TPKS. Alasannya bermacam-macam, mulai dari kurangnya sosialisasi, belum adanya petunjuk teknis terkait implementasi UU TPKS, hingga keraguan bahwa kasusnya akan diterima oleh pihak jaksa atau hakim.
Akibatnya, APH lebih memilih untuk memproses kasus menggunakan undang-undang lain yang lebih familiar, seperti UU ITE, UU Pornografi, dan KUHP. Masalahnya, undang-undang yang sudah ada lebih lama tersebut tidak memuat aturan yang komprehensif mengenai kekerasan seksual dan tidak berperspektif korban. Selain itu, dalam Laporan Tahunan LBH APIK 2023, disebutkan juga bahwa budaya victim blaming oleh aparat penegak hukum juga menjadi faktor lainnya yang menghambat pelaporan oleh korban.
Oleh sebab itu, agar implementasi UU TPKS berjalan dengan maksimal di lapangan, diperlukan adanya sosialisasi yang menyeluruh ke semua elemen penegak hukum. Sebab hukum yang progresif akan sia-sia apabila orang-orang yang bertugas untuk menegakkan belum memiliki pemahaman menyeluruh mengenai esensi dari UU TPKS.
(ANL/DIR)