Insight | General Knowledge

Dugaan Pemerkosaan dan Urgensi SOP Kekerasan Seksual di Kementerian

Jumat, 28 Oct 2022 14:45 WIB
Dugaan Pemerkosaan dan Urgensi SOP Kekerasan Seksual di Kementerian
Foto: Freepik
Jakarta -

Dugaan kasus pemerkosaan kembali muncul di ranah institusi pemerintahan. Kali ini di Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop UKM). Pada tahun 2019, seorang pegawai perempuan diduga diperkosa oleh 4 orang rekan kerjanya ketika mereka sedang melakukan kegiatan di luar kota. Setelah kejadian tersebut, korban mendapat intimidasi di tempat kerja dari rekan-rekannya. Ia kemudian melaporkan kasusnya kepada Polresta Bogor dan melakukan visum. Namun, keluarga pelaku kemudian mendatangi rumah orang tua korban dan membujuk untuk menyelesaikan secara damai. Solusi yang mereka tawarkan adalah agar korban menikah dengan salah satu pelaku.

Ironisnya lagi, kepolisian juga ikut datang ke rumah korban dan turut memfasilitasi pernikahan tersebut. Setelah pernikahan ini terjadi, penyidikan akhirnya dihentikan dengan alasan restorative justice. Namun setelah menikah, pelaku justru lepas tanggung jawab dan menggugat cerai korban. Keluarga korban juga merasa kaget ketika pelaku justru mendapatkan beasiswa dari Kemenkop UKM. Hal ini membuat mereka curiga bahwa pernikahan adalah cara agar pelaku lolos dari konsekuensi hukum.

Pihak korban akhirnya meminta bantuan kepada LBH dan Komisi Ombudsman, tapi tetap tidak ada tanggapan dari pihak kementerian. Kasus ini menjadi ramai dibicarakan setelah Konde.co menerbitkan artikel yang mengungkap kekerasan seksual tersebut pada hari Senin (24/10). Beberapa hari setelah artikel itu viral, laman Konde mendapat serangan Distributed Denial of Service (DDoS). Setelah mendapat tekanan dari publik, Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki akhirnya buka suara.

Dilansir CNN Indonesia, Teten mengambil langkah untuk membentuk tim independen dan berjanji akan mengusut tuntas kasus tersebut. Namun, ia juga mengakui bahwa lembaganya belum memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) untuk penanganan kasus kekerasan seksual. Oleh karena itu, tim independen yang telah dibentuk juga ditugaskan untuk membuat SOP. Hal ini lantas menimbulkan pertanyaan, mengapa lembaga sekelas kementerian belum memiliki SOP kekerasan seksual hingga hari ini?

.SOP Kekerasan Seksual/ Foto: Freepik

Kebutuhan SOP Sudah Sering Diserukan

Ini bukan pertama kalinya institusi pemerintahan gagal dalam menangani-bahkan cenderung menutup-nutupi   kasus kekerasan seksual yang terjadi di lembaganya. Sebelumnya, kasus kekerasan seksual juga dialami oleh pegawai Komisi Penyiaran Indonesia dan BPJS Ketenagakerjaan. Masalahnya, korban sulit untuk melapor dan mendapatkan keadilan karena pelakunya lebih banyak melibatkan orang-orang yang berkuasa.

Untuk itu, adanya peraturan penanganan kekerasan seksual di lembaga dalam bentuk SOP sangatlah penting. Ketika tidak ada SOP, penyelesaian kasus kekerasan seksual seringkali hanya menggunakan pedoman etik. Sedangkan, peraturan etik tidak mengatur kekerasan seksual secara spesifik.

Sebenarnya, Komnas Perempuan sudah mewanti-wanti agar institusi pemerintahan segera memiliki SOP penanganan kekerasan seksual. Pasca kasus kekerasan seksual di BPJS Ketenagakerjaan tahun 2019, Komnas Perempuan menyarankan pemerintah untuk membuat peraturan khusus yang menjabarkan SOP penanganan kasus mulai dari pembentukan tim investigasi, pembuatan laporan ke kepolisian, hingga pendampingan psikologi untuk korban.

Kasus kekerasan seksual di KPI yang terjadi tahun 2021 juga seharusnya menjadi pengingat bahwa masing-masing lembaga harus memiliki SOP. Namun nyatanya masih banyak lembaga yang tidak memiliki SOP, termasuk Kemenkop UKM yang baru berinisiatif membuat SOP setelah ada kasus yang viral.

Lembaga pemerintah bisa mencontoh inisiasi yang dilakukan oleh perguruan tinggi. Pada tahun 2019, dua dosen Universitas Indonesia menyusun dan menerbitkan 'Buku Saku SOP Penanganan Kasus Kekerasan Seksual'. Buku saku ini disusun secara komprehensif dan merangkum semua poin penting, mulai dari definisi kekerasan seksual, penyediaan layanan aduan dan dukungan bagi korban, pembentukan gugus tugas khusus, proses investigasi, hingga penjatuhan sanksi.

Meski sekarang kita sudah memiliki UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, tetapi hal ini tidak menjamin implementasinya berjalan mulus di lapangan. Oleh karena itu, semua lembaga-apapun jenisnya baik swasta maupun pemerintah-seharusnya memiliki SOP yang dapat membantu korban memenuhi kebutuhannya.

[Gambas:Audio CXO]

(ANL/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS