Interest | Art & Culture

Review Ali Topan: Kelahiran Ketiga Sosok Anak Jalanan

Jumat, 16 Feb 2024 18:29 WIB
Review Ali Topan: Kelahiran Ketiga Sosok Anak Jalanan
Foto: Visinema
Jakarta -

Industri layar emas Indonesia memiliki harta berharga dalam bentuk IP (intellectual property) yang bisa terus dirayakan dari generasi ke generasi. Setelah nama seperti Warkop DKI hingga Suzzanna, kini giliran sosok anak jalanan bernama Ali Topan yang kembali dilahirkan. Beririsan langsung dengan Boy dari Catatan Si Boy, karena berlatar belakang anak orang kaya namun memiliki kompleksitas hidup yang berat, Ali Topan hadir dengan testosteron yang lebih mentok dan pastinya, lebih skena.

Review Ali Topan

Intro scene Ali Topan yang dibintangi Jefri Nichol sebagai karakter utama sudah membawa kesan nakal yang kuat. Tidak cuma perihal nakal doang, Topan pun juga memiliki misi pribadi yang terus dibawa dalam setiap scene. Ia adalah anak yang ingin bebas dan ingin hidup di jalanan demi hasrat seni. Hal ini jelas terlihat dari movement yang Topan ciptakan bersama rekan-rekannya di dalam Warung Seni.

Di luar urusan per-seni-an ini, Topan juga ingin melawan tindakan represif aparat yang harus diakui, terkadang semena-mena terhadap rakyat kecil. Dari sinilah term anak jalanan yang berandalan benar-benar dicap di atas kepala Topan. Apalagi gestur badannya, mimik wajah, hingga cara berbicara Topan yang tetap civilized namun masih bandel. "Nakal yang teratur", jika boleh diibaratkan dalam satu kalimat.

Vibe itu semakin terlihat saat Topan berkenalan dengan Anna yang diperankan Lutesha. Tanpa perlu bertele-tele, chemistry Topan dengan Anna benar-benar terbangun sangat cepat. Poin ini patut diapresiasi dari penulisan storyline Ali Topan. Mereka membawa para penonton segera masuk ke dalam inti cerita dengan bumbu romantisme Topan-Anna yang berjalan cukup pas.

Namun bagaimana dengan konflik di dalam film ini? Ali Topan mengangkat konflik rakyat kecil melawan preman yang dibekingi oknum pemerintah dalam satu paket yang sejujurnya klise, tapi memang masih bekerja dengan baik. Beberapa kali penonton cukup menyukai sindiran yang dilontarkan dalam bentuk ucapan dari mulut Topan. Eskalasi konflik yang ada cukup cepat dengan tambahan bumbu pemanis yang masih tetap bisa dinikmati secara jenaka pula.

Namun sayangnya, dari segi ending sendiri memang masih terasa terlalu cepat. Atau mungkin terlalu simpel atas kasus yang sampai diberitakan di TV nasional? Untungnya, tidak ada perasaan menggantung saat film ini selesai ditayangkan. Masih ada rasa puas atas apa yang disajikan dalam Ali Topan.

Soundtrack Sebagai Highlight

Di luar keseruan genre romance-action yang cukup berimbang, Ali Topan memiliki highlight tersendiri yang tidak semua film bisa mencapainya. Sejak awal, kita akan disajikan lagu-lagu band indie Indonesia yang membawa nafas berbeda atas film ini.

Dimulai dari Morfem dengan "Kuning" sebagai original soundtrack, lalu ada penampilan Bangkutaman, serta lagu-lagu milik Rumahsakit, L'Alphalpha, sampai For Revenge sebagai titik puncak dari konflik yang ada. Pemilihan soundtrack yang tepat guna dalam Ali Topan membuat suasana film ini semakin terasa nyata. Representasi yang sepertinya mereka ingin dapatkan lewat latar belakang Warung Seni pun juga semakin kuat berkat lagu-lagu tersebut.

Penampilan spesial dari para musisi pengisi soundtrack Ali Topan menjadi "potongan kue" yang terasa nikmat. Namun khusus untuk cream on top, ada Ari Sihasale yang menjadi tokoh spesial. Bagi yang belum tahu, Ali Topan sempat diproduksi dalam format sinetron pada tahun 1997 dengan diperankan langsung oleh Ari Sihasale.

Kehadirannya secara perdana di film ini sempat mengundang tepuk tangan dari salah satu penonton-yang seakan menunjukkan betapa tua umurnya sekaligus knowledge yang ia punya atas perjalanan IP Ali Topan ini. Peran Ari Sihasale juga layaknya anak nakal sudah insaf karena umur. Ia menjadi sosok yang wise dan menjadi payung dari cara berpikir ugal-ugalan dari anak-anak muda di sekitarnya.

Patut diapresiasi bagaimana Ari Sihasale tidak terkesan tampil "gitu doang" hanya demi nostalgia belaka- jauh sekali jika dibandingkan Catatan (Harian) Si Boy [2011]. Perannya yang dalam dan memiliki impact besar membuat film ini seperti sebuah trek lari, di mana Ari Sihasale memberikan tongkat estafet kepada Jefri Nichol atas nama Ali Topan. Pada akhirnya, Sidharta Tata selaku sutradara memang tidak salah memilih Jefri untuk memerankan Topan. Meminjam idiom "a match made in heaven", misi mereka untuk menunjukkan bahwa Jefri adalah Topan dan Topan adalah Jefri berhasil terbuktikan.

(tim/alm)

Author

Timotius P

NEW RELEASE
CXO SPECIALS