Insight | General Knowledge

Kota Padat Mobil, Mimpi Buruk Kaum Urban

Jumat, 21 Oct 2022 13:00 WIB
Kota Padat Mobil, Mimpi Buruk Kaum Urban
Foto: Amazing Aerial
Jakarta -

Waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam, tapi kamu masih duduk di dalam mobil, terjebak dalam kemacetan bersama ratusan warga Jakarta lainnya. Perutmu sudah keroncongan, tak sabar segera tiba di rumah dan menyantap makan malam bersama keluarga. Energimu sudah terkuras habis untuk bekerja, tapi mobil-mobil di depanmu tidak menunjukkan tanda-tanda akan bergerak. Di dalam hati kamu memaki dan mengumpat, meratapi nasib sebagai warga urban yang setiap hari harus menua di jalan.

Siapapun gubernurnya, apapun programnya, tidak ada yang pernah berhasil menaklukkan macetnya kota Jakarta. Kota ini tidak hanya menampung kendaraan pribadi warga yang tinggal di sini, tapi juga kendaraan warga yang tinggal di Jabodetabek namun bekerja di Jakarta. Beragam cara sudah dicoba, mulai dari peningkatan fasilitas transportasi publik hingga kebijakan ganjil-genap   tapi tetap saja, kemacetan tidak berhasil diatasi.

Car-centric city atau kota padat mobil adalah mimpi buruk bagi warga kota. Dengan besarnya volume kendaraan roda empat yang mengokupasi jalanan dan ruang-ruang kota, nyaris tak ada ruang bagi pejalan kaki ataupun pengendara sepeda. Akar permasalahan ini adalah perencanaan kota yang terus memprioritaskan kendaraan roda empat. Jalan-jalan diperlebar untuk mengakomodasi volume kendaraan. Ganjilnya, kementerian PUPR malah lebih sering membangga-banggakan proyek pembangunan jalan. Padahal, kendaraan roda empat hanya dimiliki oleh segelintir orang.

Indikator Kota Ideal

Tinggal bertahun-tahun di kota yang penuh masalah membuat kita terkadang sulit untuk membayangkan gambaran kota yang ideal. Sebab saking banyaknya permasalahan yang ada, sulit untuk mengurai dari mana perbaikan harus dimulai. Untuk membedah indikator kota ideal, kita bisa berkaca dari Global Liveability Index yang setiap tahun mengukur kota-kota paling layak huni dan paling tidak layak huni. Berdasarkan index tahun 2022, kota paling layak huni adalah Vienna, disusul dengan Copenhagen dan Zurich.

Indikator yang digunakan untuk menilai kota-kota ini adalah stabilitas, layanan kesehatan, budaya dan lingkungan, pendidikan, dan infrastruktur. Teruntuk infrastruktur, yang dinilai adalah ketersediaan dan kualitas dari jaringan jalanan, transportasi publik, perumahan, energi, air, dan telekomunikasi. Lalu, apa yang menjadi persamaan dari kota-kota di atas sehingga dianggap layak huni? Mereka memiliki sistem transportasi publik yang efisien serta banyaknya ruang terbuka hijau yang mudah untuk diakses oleh semua warga.

Pada dasarnya, kota yang ideal adalah kota yang inklusif. Untuk mencapainya, perencanaan kota harus berorientasi pada manusia, semua infrastruktur yang tersedia pun harus menunjang kebutuhan warga yang bermacam-macam. Salah satunya, yaitu dengan menyediakan sistem transportasi publik yang efisien, murah, dan aksesibel. Kota padat mobil sudah jelas tidak memenuhi kualifikasi kota inklusif dan ideal, sebab ia hanya memprioritaskan pengguna kendaraan roda empat dan tak mampu mengakomodasi pengguna jalan yang lain. Tak hanya itu, kota padat mobil adalah sumber dari berbagai masalah; polusi yang meningkat, jalanan yang lebih berbahaya, dan tentunya kemacetan. Tapi, apabila kota sudah terlanjur menjadi car-centric, apakah masih ada kesempatan untuk memperbaikinya?

Belajar dari Barcelona dan Amsterdam

Barcelona dan Amsterdam mungkin tidak masuk ke dalam daftar Global Liveability Index, tapi mereka berhasil mengubah wajah kota yang tadinya car-centric menjadi kota ramah pejalan kaki dan pengguna sepeda. Pada tahun 2016, perencana kota Barcelona memutuskan untuk melakukan transformasi kota besar-besaran. Ketika itu, Barcelona telah menjadi kota padat mobil yang dipenuhi polusi dan kebisingan. Sebuah solusi dipilih, yaitu superblock.

Ide dasar dari superblock adalah untuk memecah city blocks menjadi grid 3 x 3. Dalam superblock ini, jalanan hanya diperuntukkan untuk pejalan kaki, pengguna sepeda, dan ruang terbuka hijau. Sedangkan segala macam kendaraan bermotor dibatasi di sekitar perimeter superblock. Superblock terbukti mampu mengubah wajah Barcelona, tingkat kemacetan dan polusi akhirnya menurun.

.Ilustrasi superblock/ Foto: Amazing Aerial

Sementara itu, wajah Amsterdam 50 tahun yang lalu bukanlah Amsterdam yang kita kenal hari ini sebagai kotanya para pesepeda. Transformasi ini dimulai ketika kondisi Amsterdam yang padat mobil menyebabkan tingginya kecelakaan yang memakan korban jiwa. Perubahan pun dimulai secara bertahap, hingga akhirnya Amsterdam tidak lagi menjadi kota padat mobil. Perubahan ini bisa dicapai karena beberapa hal, di antaranya adalah memprioritaskan keamanan pengguna sepeda dan jalur sepeda yang terintegrasi.

Berkaca dari dua kota di atas, sebenarnya perubahan bukanlah hal yang mustahil. Namun keberhasilan dari implementasinya ditentukan oleh seberapa besar komitmen perencana kota untuk mengubah kebijakan serta adanya kolaborasi antara pemerintah dengan warga. Jika dua hal ini bisa dicapai, sepertinya mimpi kota yang ideal akan semakin dekat untuk digapai.

[Gambas:Audio CXO]

(ANL/alm)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS