Inspire | Human Stories

Bagaimana Sebaiknya Merespons Kasus Pelecehan Seksual?

Sabtu, 12 Feb 2022 11:00 WIB
Bagaimana Sebaiknya Merespons Kasus Pelecehan Seksual?
Foto: Mihai Surdu/Unsplash
Jakarta -

Dengan bantuan internet dan media sosial, pelecehan seksual kini menjadi topik yang bisa dibicarakan secara terbuka. Salah satunya, karena media sosial bisa menjadi ruang aman bagi penyintas kekerasan seksual untuk mencari dukungan dan penguatan emosional yang mereka butuhkan. Meski jumlah penyintas yang bersuara semakin meningkat, masih banyak orang yang merespon kasus pelecehan seksual secara tidak sensitif dan nir-empati.

Penyintas kekerasan seksual seringkali harus mengalami trauma untuk kedua kalinya ketika ia menceritakan pengalamannya. Butuh keberanian besar untuk menceritakan pengalaman traumatis kepada orang lain, karena korban harus mengingat-ingat kejadian yang membuatnya trauma. Selain itu, tidak jarang korban justru disalahkan (victim-blaming). Misalnya, ditanya apa pakaian yang dikenakan ketika pelecehan itu terjadi atau ditanya apakah korban berkata tidak kepada pelaku ketika hal itu terjadi. Respons seperti ini mengisyaratkan, bahwa pelecehan itu bisa terjadi karena korban yang salah. Lebih parah lagi, seringkali korban juga dituduh mengada-ada karena tidak memiliki bukti.

Bentuk-bentuk respons seperti di atas menunjukkan bahwa masyarakat kita masih gagap dalam merespons kekerasan seksual. Apa yang dibutuhkan korban, lebih dari apapun, adalah ruang aman untuk bercerita dan support system yang bisa membantunya pulih. Lalu, bagaimana sebaiknya kita merespons kasus kekerasan seksual?

Hal pertama yang paling penting untuk dilakukan ketika ada seseorang yang menceritakan pelecehan yang dialaminya adalah, untuk mempercayai korban terlebih dahulu. Dalam tindak pidana lain seperti pencurian atau pembunuhan, ada yang disebut sebagai asas praduga tak bersalah, yang artinya terduga pelaku dianggap tidak bersalah hingga dibuktikan di pengadilan. Namun dalam kasus pelecehan seksual, hal ini menjadi sulit untuk diimplementasikan. Sebab, hukum di Indonesia masih belum berpihak kepada korban pelecehan seksual. Belum lagi, sulit sekali untuk membuktikan kasus pelecehan seksual.

Kedua, setelah mempercayai korban, kita harus bisa mendengarkan apa yang ingin mereka sampaikan. Seringkali yang terjadi ketika ada korban yang berani bersuara, banyak orang justru bertanya untuk memuaskan rasa penasaran mereka. Misalnya, bertanya siapa pelakunya atau bagaimana kronologi kejadiannya. Padahal, hal yang paling dibutuhkan oleh korban selain divalidasi adalah didengarkan. Membombardir korban dengan berbagai pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu kita ketahui, bisa membuat korban semakin trauma dan mengalihkan pembicaraan dari hal yang lebih penting: bersolidaritas dengan korban.

Ketiga, jangan menggurui korban atas pengalaman yang mereka alami. Menceritakan pengalaman traumatis adalah hal yang sulit untuk dilakukan. Terkadang, korban juga butuh waktu untuk mencerna apa yang dialami dan membahasakannya kepada orang lain. Maka, yang bisa kita lakukan adalah memvalidasi apa yang mereka rasakan. Bukan tempat kita untuk merasa serba tahu terhadap apa yang mereka alami. Sebab, merekalah yang paling tahu apa yang mereka rasakan dan mereka butuhkan.

[Gambas:Audio CXO]



(ANL/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS