Pernahkah kamu melakukan sesuatu yang kamu tahu tidak semestinya dilakukan namun entah kenapa aktivitas tersebut memberikan kesenangan dan kepuasan tersendiri? Mungkin saja kamu tidak menyadari bahwa hal tersebut merupakan sebuah guilty pleasure yang kamu miliki. Setiap orang pasti memiliki guilty pleasure-nya masing-masing, baik mereka sadari maupun tidak. Guilty pleasure itu sendiri merupakan sebuah perasaan menyenangkan dan memuaskan meskipun kamu tahu apa yang kamu lakukan adalah hal yang tidak seharusnya dilakukan karena bertentangan dengan norma, kesehatan, bahkan memalukan.
Memahami Permasalahan Guilty Pleasure
Saya sendiri memiliki guilty pleasure yang seringkali dilarang untuk dilakukan oleh orang-orang sekitar. Dalam kasus saya, guilty pleasure yang saya sadari saya miliki adalah menggigiti kulit ibu jari ketika saya tidak menggenggam benda apapun-baik ketika sedang berbicara dengan seseorang, maupun ketika sedang menyaksikan tayangan yang saya sukai. Entah kenapa, kegiatan ini menjadi sebuah kebiasaan yang menahun dan sulit untuk dihentikan. Bahkan apabila saya berhenti karena mulai merasakan sakit, saya akan kembali menggigiti kulit ibu jari saya lagi ketika sudah sembuh.
Saya yakin, tidak hanya saya yang memiliki kebiasaan yang memuaskan ini meskipun diketahui kegiatan tersebut sangat tidak baik. Maka dari itu, saya bertanya kepada teman-teman terdekat saya mengenai guilty pleasure apa yang mereka sadari mereka miliki.
"Guilty pleasure gue itu selalu minum minuman manis. Gue tau minum manis is not healthy for the long run, tapi setiap habis makan, gue rasa ada yang kurang kalau belum minum manis. Kalo udah ketemu minuman manis, rasanya lega dan puas aja, sih." -Fionna
"Guilty pleasure gue baca fanfic idola favorit gue tapi yang genrenya dewasa alias 18+, hehe. Instead of salah, gue sebenernya ngerasa kebiasaan yang memuaskan bagi gue ini sekadar memalukan aja untuk orang-orang tau dan kalo mereka tau gue takut di-judge yang nggak-nggak." -Alin
"Guilty pleasure gue itu kalo mau tidur gue harus dengerin podcast. Kenapa gue merasa guilty, ya simply karena gue tau gak seharusnya gue tidur bergantung sama suara-suara karena katanya tidur jadi nggak berkualitas." -Timo
"Guilty pleasure gue adalah makan banyak. Sesederhana karena gue seharusnya gak makan banyak karena takut gendut, tapi makan banyak tuh enak banget." -Diba
"Kayaknya banyak deh yang punya guilty pleasure kayak gue, karena guilty pleasure gue itu belanja impulsive. Of course gue ngerasa guilty karena seharusnya uangnya bisa gue tabung untuk kebutuhan yang lebih penting, tapi gimana ya? Kalo nggak belanja kayaknya ada yang kurang aja gitu." -Melin
Guilty pleasure memang dasarnya akan memberikan kita rasa puas atau kesenangan tersendiri, namun disaat yang bersamaan, kita memiliki rasa malu ataupun bersalah karena menyukainya. Konsepnya kurang lebih seperti berselingkuh dengan aktivitas-aktivitas ini menyembunyikannya karena takut akan judgment dari orang lain.
Istilah guilty pleasure itu sendiri dipercayai berawal dari akhir abad ke-20 dan mulai populer semenjak orang-orang secara terbuka mendiskusikan kesukaannya yang tidak umum di lingkup sosial. Dengan menyebut kesenangan tersebut sebagai guilty pleasure, kita mengakui konflik batin antara keinginan kita untuk menikmati dan tuntutan eksternal yang diberikan pada kita.
Guilty pleasure memang merupakan sebuah pengalaman yang paradoks-menemukan kesenangan dalam sesuatu yang dianggap tidak semestinya dilakukan. Namun, kenapa rasa bersalah ini memainkan peran yang penting dalam kenikmatan dan kepuasan kita?
Ternyata, rasa bersalah memang pada dasarnya berkaitan erat dengan rasa kesenangan. Rasa bersalah ini berakar pada ekspektasi masyarakat dan ketakutan untuk dihakimi oleh orang lain. Saat kita menikmati kesenangan tersebut, kita mungkin merasa malu karena kita menyimpang dari apa yang dianggap "baik" atau "pantas".
Seolah-olah kita melanggar aturan, dan rasa pelanggaran itu menambah lapisan kegembiraan dan kesenangan pada pengalaman tersebut. Dengan merasa bersalah, kita mengakui bahwa apa yang kita lakukan mungkin tidak sejalan dengan nilai-nilai pribadi atau norma-norma masyarakat. Konflik internal antara keinginan kita dan pedoman moral kita dapat meningkatkan kesenangan yang didapat dari menuruti kesenangan yang bersalah ini.
Melansir Health Match, terdapat sebuah studi tahun 2012 yang membuktikan bahwa perasaan bersalah meningkatkan kenikmatan kita atas suatu pengalaman. Meskipun kamu mungkin mengharapkan emosi yang tidak diinginkan seperti rasa bersalah berdampak negatif pada kesenangan yang kita rasakan dari kesenangan bersalah, sebenarnya yang terjadi adalah sebaliknya.
Para peneliti melakukan serangkaian eksperimen, termasuk menonton video, menelusuri profil kencan online, dan makan permen. Peserta yang merasa bersalah dilaporkan mengalami kenikmatan yang lebih besar dibandingkan peserta lainnya. Peneliti Ravi Dhar mengatakan, "Dalam setiap kejadian, kami menemukan bahwa mereka yang merasa bersalah justru merasakan kenikmatan terbesar."
Terkadang, kita menggunakan guilty pleasure tersebut untuk mengalihkan pikiran dari stres dan hal-hal yang mengganggu pikiran dan mental. Memang, guilty pleasure dapat dikatakan sebagai sebuah alat untuk me-reset otak dan rileks sejenak. Guilty pleasure juga dapat dikatakan sebagai bentuk hadiah kepada diri sendiri karena adanya rasa kesenangan dan memuaskan yang tidak semua orang bisa pahami.
Namun, kamu perlu periksa kembali beberapa hal setelah menghabiskan waktu untuk melakukan hal yang kamu sukai tersebut: apakah kamu merasa terinspirasi untuk menjadi lebih produktif setelahnya atau malah menjadi tidak produktif? Jika hal tersebut ternyata tidak bermanfaat sama sekali, akan lebih baik bagi kamu untuk menyesuaikan berapa banyak waktu yang perlu kamu habiskan untuk melakukan hal ini atau justru berhenti untuk tidak melakukannya sama sekali.
(DIP/tim)