Ajang kompetisi seni tidak pernah tidak menarik perhatian. Selain menjanjikan kemunculan karya-karya brilian dari para emerging artist hingga total hadiah yang menggiurkan, penyelenggaraan kompetisi seni juga kerap diiringi wacana kritis. Misalnya, "bisakah seni dikompetisikan?"
Pertanyaan bernada gugatan terhadap kompetisi seni ini sendiri kembali mengemuka pada momen penyelenggaraan "MR.D.I.Y. Indonesia Art Competition 2025". Ajang seni visual terbuka, yang diadakan pemain ritel rumah tangga MR.D.I.Y. Indonesia, mulai bulan April hingga Juni mendatang.
Pada sesi konferensi pers (Rabu, 16/4/25), seniman yang bertindak sebagai juri "MR.D.I.Y. Indonesia Art Competition 2025", R.E. Hartanto, membahasnya lebih jauh.
"Apakah seni itu pantas dikompetisikan? Ya, memang. Seni itu soal preferensi, sangat subjektif. Tapi dari sudut pandang akademik, seni bisa dikompetisikan karena ada aspek-aspek yang bisa dinilai secara objektif-pengelolaan ide, ketepatan konsep, hingga penguasaan medium," jelas Tanto, dalam sesi diskusi.
Bukan Hal Baru
Menurut Tanto, keberadaan kompetisi seni, yang kerap dikritik bahkan telah berlangsung sejak dahulu kala. "Sejak era [Yunani] Kuno, ajang kesenian sudah bisa ditemukan," terangnya.
Lewat Festival Dionysia, misalnya. Seniman teater dan pematung pada masa itu sempat mempertandingkan karya-karya mereka, sambil tetap menjunjung ekspresi.
Tak hanya itu, di masa Renaisans, sejumlah seniman besar seperti, Leonardo da Vinci dan Michelangelo, juga pernah terlibat dalam sayembara seni untuk proyek-proyek publik.
Di Indonesia sendiri, kompetisi seni telah menjadi bagian dari dinamika kesenian. Contohnya, terlihat dari beberapa ajang kesenian seperti, Biennale, Pekan Seni Mahasiswa Nasional (Peksiminas), dan lomba-lomba yang diadakan oleh galeri maupun institusi swasta.
"Saya sendiri mengalami masa-masa kompetisi itu. Kisaran dua dekade lalu, saya juga pernah mengikuti dan memenangkan kompetisi seni," kenang Tanto, yang merupakan alumnus FSRD ITB.
Kesempatan untuk Seniman Pemula
Kemunculan perlombaan seni, sayembara desain, atau festival seni rupa dengan juri dan pemenang yang diputuskan memang tak akan lepas dari perdebatan. Terlebih, semangat kebebasan dalam seni, yang sepatutnya bebas dari penghakiman seakan-akan luntur.
Namun, di sisi yang lain, kemunculan kompetisi seni seperti "MR.D.I.Y. Indonesia Art Competition 2025" justru juga membawa kabar baik: Penyelenggarannya bisa menjadi ruang pembuka jalan bagi seniman-seniman muda untuk mempertunjukan karyanya kepada publik yang lebih luas.
R.E. Hartanto yang bertindak sebagai juri "MR.D.I.Y. Indonesia Art Competition 2025" bersama Mitha Budhyarto, Abigail Hakim, serta Edwin Cheah, kemudian menuturkan, bahwa kompetisi ini bukan soal menang kalah, atau memuaskan selera juri.
"Kompetisi ini tentang bagaimana seniman mampu menyuarakan gagasan, identitas, dan keberagaman dengan visual yang kuat. Penciptaan karya itu kan seperti kulminasi dari pengalaman hidup seseorang. Ketika seseorang menciptakan, ia membawa preferensinya, latar belakang, hingga cara pandangnya terhadap dunia," jelasnya.
Siapa yang bisa jadi pemenang?
"MR.D.I.Y. Indonesia Art Competition 2025" mengangkat tema Identity and Diversity. "Benang merah" ini dipilih agar para seniman peserta dapat menggali ruang serta isu personal dan sosial dalam karya-karyanya.
"Pengalaman diaspora, diskriminasi kultural, hingga relasi gender juga bisa menjadi topik yang relevan bagi para pengkarya. Sebab di sini, seniman tidak hanya dinilai sebagai pencipta, tetapi juga merekam jiwa zaman lewat karyanya," sambung Abigail Hakim, kurator seni yang juga bertindak sebagai juri.
Dalam proses penjurian nantinya, Tanto dan Abigail bersepakat bahwa selain dari teknis dan konsep karya, artist statement juga kan menjadi komponen penting. Bukan hanya pelengkap, melainkan bagian dari karya itu sendiri.
"Saya ingin tahu pola pikir senimannya, konteks apa yang ingin disampaikan. Dari situ kita bisa membaca kedalaman gagasan di balik visual," tambah Abigail.
Kendati demikian, Tanto ikut mengungkap, keikutsertaan seniman-seniman dalam ajang ini memang tak harus "hitam putih". Tidak terpaku pada menang dan juara.
"Banyak yang ikut karena iseng, dan itu tidak salah. Karena ruang seperti ini penting untuk menstimulasi eksplorasi. Tapi yang menjadi juara biasanya mereka yang serius, yang sudah memikirkan karya mereka sejak jauh hari," tutup Tanto.
***
"MR.D.I.Y. Indonesia Art Competition 2025" menyiapkan total hadiah senilai Rp280 juta. Karya-karya dari finalis terpilih nantinya juga akan dibuatkan pameran khusus, dan akan dibawa ke tingkat Asia Tenggara, untuk dijajarkan bersama seniman asal Malaysia dan Thailand.
Pendaftaran "MR.D.I.Y. Indonesia Art Competition 2025" dibuka hingga bulan Juni mendatang, untuk dua kategori: pelajar dan umum.
Informasi lebih lengkap mengenai "MR.D.I.Y. Indonesia Art Competition 2025" dapat diakses melalui tautan https://www.mrdiy.com/id/event/mrdiy-art-competition-2025.
(cxo/RIA)