Insight | General Knowledge

Mengapa Pekerja Kantoran Sulit Berserikat?

Senin, 01 May 2023 12:00 WIB
Mengapa Pekerja Kantoran Sulit Berserikat?
Foto: Unsplash
Jakarta -

Hak-hak pekerja adalah isu universal yang selalu berkembang dari masa ke masa. Meski sudah diperjuangkan dari sejak Revolusi Industri, tapi sampai hari ini masih banyak pekerja yang hidupnya tidak sejahtera. Sayangnya, masalah yang dihadapi pekerja kerap tenggelam di antara isu lainnya yang dianggap lebih faktual; seperti korupsi pejabat, mobil listrik, atau pencalonan presiden. Kondisi ini mungkin ironis, mengingat isu kerja sangat dekat dengan keseharian yang kita hidupi.

Sebenarnya, sudah ada lebih banyak pekerja muda yang sadar kalau kondisi kerja mereka rentan dan tidak layak. Di internet, fenomena ini bahkan tercerminkan melalui meme "Kerja, Kerja, Kerja, Tipes" yang, meski lucu, sebenarnya menyedihkan. Sebab sudah ada banyak kasus di sekitar kita di mana para pekerja benar-benar masuk rumah sakit akibat terlalu lelah bekerja.

Kendati memiliki kesadaran sebagai pekerja yang rentan dieksploitasi, serikat masih menjadi hal yang jarang ditemui di kalangan pekerja kantoran masa kini. Ketimbang berserikat, banyak di antara kita yang lebih memilih untuk curhat ke Ecommurz atau membuat meme di internet. Mengapa hal ini bisa terjadi?

'Buruh' versus 'Pekerja'

Salah satu alasan mengapa pekerja kantoran tidak berserikat adalah karena mereka tidak menganggap diri mereka sebagai buruh. Selama ini 'buruh' diasosiasikan dengan pekerjaan fisik seperti tenaga kerja pabrik, petani, dan nelayan. Sementara itu, 'pekerja' atau 'pegawai' diasosiasikan dengan pekerjaan yang membutuhkan intelektualitas; seperti akuntan, akademisi, penulis, pengacara, dan lain-lain.

Perbedaan istilah ini juga menyimpan bias kelas, para 'pegawai' yang kebanyakan berasal dari kelas menengah menganggap 'buruh' sebagai pekerja yang lebih rendah dan tidak memiliki prestise. Padahal, semua orang yang bekerja dan tidak memiliki modal sejatinya merupakan buruh. Para pekerja kreatif yang bekerja dari rumah, para pekerja e-commerce yang minum ice latte seharga 30 ribuan, para akademisi yang menghasilkan penelitian-semuanya adalah buruh. Namun diksi yang berbeda-beda telah mengaburkan fakta sederhana ini.

Bahasa tidak lepas dari kuasa. Akademisi Hukum Bisnis Universitas Bina Nusantara, Sidharta, menulis bahwa perbedaan konotasi antara 'buruh', 'pekerja', 'pegawai', dan 'karyawan' mungkin sengaja diciptakan oleh para pemegang kuasa-dalam hal ini pengusaha dan pembuat kebijakan-untuk memecah kekuatan kelompok tenaga kerja. Sebab bagi mereka yang duduk di kursi kekuasaan, menghadapi ratusan ribu buruh akan lebih mudah ketimbang menghadapi jutaan tenaga kerja yang bersatu.

Bayangkan saja apabila semua orang yang bekerja-apapun profesinya dan berapapun gajinya-bersatu di bawah payung 'buruh' dan menuntut hal yang sama. Mungkin saja, pemerintah tidak akan berani meloloskan UU Cipta Kerja yang terbukti merugikan pekerja.

Pentingnya Berserikat untuk Pekerja Kantoran

Lebih dari sekedar kata-kata kosong, adanya jarak antara 'buruh' dan 'pekerja' memiliki implikasi di kehidupan nyata. Salah satunya, yaitu minimnya kesadaran di kalangan pekerja kerah putih untuk berserikat. Selama ini, berserikat identik dengan para 'buruh' yang rutin menggelar demonstrasi untuk menuntut kesejahteraan. Padahal, kita sama-sama tahu bahwa semua pekerja memiliki kerentanan yang sama.

Akhir tahun lalu, misalnya, kita menyaksikan gelombang layoff besar-besaran di berbagai startup yang bergerak di bidang tech. Dalam sekejap, ribuan pekerja tech kehilangan pekerjaan dan harus menghadapi ketidakpastian. Mirisnya lagi, UU Cipta Kerja memberi celah bagi pengusaha untuk melanggar hak-hak pekerja; seperti mengumumkan layoff secara mendadak dan tidak memberikan pesangon bagi para pekerja yang kontraknya belum berstatus tetap.

Namun karena merasa jauh dengan kultur berserikat, para pekerja kantoran lebih memilih untuk curhat di ruang maya. Akun-akun seperti Ecommurz, Tach Tech Boom, dan HRD Bacot akhirnya menjadi wadah yang menampung kegelisahan para pekerja. Di era cancel culture, adanya platform seperti ini memang berguna untuk mengekspos berbagai ketidakadilan yang terjadi di tempat kerja. Namun, kuasa yang dimiliki oleh platform ini terbatas. Tanpa adanya aksi nyata yang terorganisir, akun-akun ini tak akan bisa mendorong terciptanya perubahan yang signifikan di level kebijakan.

Pada akhirnya, senjata yang kita miliki sebagai pekerja adalah serikat. Serikat pekerja berfungsi sebagai wadah yang melindungi hak-hak pekerja. Dengan berserikat, pekerja yang dilanggar haknya tidak harus menghadapi perusahaan sendirian. Berikut adalah beberapa manfaat berserikat bagi pekerja:

  • Mendapat perlindungan dan pembelaan apabila hak-haknya dilanggar oleh perusahaan
  • Serikat bisa mewakili pekerja dalam melakukan perundingan atau negosiasi apabila ada ketidakpuasan dalam kontrak kerja atau kondisi kerja
  • Mendapat dukungan dari sesama pekerja
  • Memiliki wadah untuk menyalurkan aspirasi
  • Penyampaian aspirasi menjadi lebih efektif karena disalurkan melalui satu pintu

Di latar perkantoran, membicarakan hak-hak pekerja bersama kolega mungkin belum menjadi suatu hal yang lumrah. Padahal, bisa saja kolega kita merasakan hal yang sama. Di situlah letak esensi berserikat, yaitu sebagai cara untuk menumbuhkan solidaritas. Dengan demikian, kita tak lagi merasa sendirian. Oleh sebab itu, mungkin sudah saatnya bagi kita untuk mengakui diri sebagai buruh dan mulai menyadari pentingnya berserikat.

(ANL/tim)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS