Interest | Art & Culture

Kontroversi "Vina: Sebelum 7 Hari" dan Eksploitasi Trauma dalam Perfilman

Kamis, 16 May 2024 17:00 WIB
Kontroversi
Foto: Dee Production
Jakarta -

Membuat film yang terinspirasi dari kisah nyata memerlukan banyak pertimbangan dalam prosesnya, apalagi kalau kisah tersebut mengangkat pengalaman traumatis yang dialami oleh seseorang. Ada sensitivitas yang harus dijaga untuk menghormati subjek dalam cerita. Tapi, tampaknya tidak demikian kasusnya bagi Anggy Umbara dan Dheeraj Kalwani, sutradara dan produser film Vina: Sebelum 7 Hari.

Terlepas dari ramainya kritik sejak teaser-nya dirilis, Vina: Sebelum 7 Hari tetap tayang di bioskop dan mendapat antusiasme dari penonton. Sejak sebelum ditayangkan, film ini sudah menuai kontroversi. Vina: Sebelum 7 Hari mengangkat kisah nyata mengenai seorang remaja berusia 16 tahun dari Cirebon yang mengalami kekerasan dan pemerkosaan dari geng motor, sampai akhirnya meninggal dunia tahun 2016 silam.

Kontroversi "Vina Sebelum 7 Hari": Trauma yang Dikomersialisasi

Kendati telah mengantongi izin dari keluarga Vina, banyak yang menilai film ini tidak etis dan nirempati sebab menggambarkan kekerasan yang dialami oleh Vina secara eksplisit dalam balutan film horor yang menegangkan dan "seru". Semua materi promosinya pun dibuat semengerikan mungkin, dengan menonjolkan aspek kekerasan yang dialami oleh Vina. Dalam poster, misalnya, Vina digambarkan terluka parah dan dipenuhi darah.

Salah satu yang melontarkan kritik ialah Kalis Mardiasih, penulis dan pemerhati isu gender. Melalui platform X, ia mengatakan ada banyak yang perlu dipertanyakan dari proses penulisan dan produksi film ini, termasuk proses negosiasi dengan pihak keluarga. Menurutnya, meskipun keluarga sudah memberi izin, tidak ada yang tahu diskusi yang terjadi di balik layar. Apalagi, ada relasi kuasa yang timpang antara rumah produksi dengan keluarga korban.

Setidaknya ada tiga isu yang seharusnya menjadi pertimbangan produser dan sutradara ketika memutuskan untuk membuat film ini. Pertama, mereka mengangkat pengalaman traumatis dari seseorang yang telah meninggal dunia. Kedua, Vina mengalami kekerasan seksual. Ketiga, Vina masih di bawah umur ketika ia mengalami kekerasan tersebut. Tiga hal ini seharusnya cukup untuk membuat mereka berhati-hati dalam memilih pendekatan dari segi penulisan dan produksi.

Kemudian pertanyaan yang lebih penting adalah, berangkat dari 3 isu di atas, mengapa produser dan sutradara merasa perlu membuat Vina: Sebelum 7 Hari? Produser dan CEO Dee Company, Dheeraj Kalwani, mengatakan kalau film ini menyampaikan pesan-pesan penting, seperti keadilan yang belum didapatkan oleh Vina, bahaya perundungan, dan masalah geng motor liar. Ia juga menampik tuduhan eksploitasi.

"Kalau hanya ingin mengambil untung atau dianggap seperti itu mengapa keluarga mengizinkan? Saya rasa keluarga juga ingin film ini dibuat," ucapnya dikutip dari BBC Indonesia.

Dee Company selaku rumah produksi tentu saja meraup keuntungan yang besar dari segi finansial, sebab terlepas dari kritik yang ada, film ini berhasil menarik 2,5 juta penonton hingga hari keenam penayangannya.

Bungkamnya Industri Film

Satu hal yang menarik dari pro-kontra Vina: Sebelum 7 Hari adalah melihat bagaimana pelaku ekosistem film merespons hal ini. Film reviewer ramai-ramai mendeklarasikan mereka tidak akan mau mengulas film ini, salah satunya yaitu Cine Crib. Dalam sebuah pernyataan yang diunggah ke media sosial, Cine Crib mengatakan tidak akan memberi panggung untuk "film yang mengeksploitasi kekerasan dan kesedihan dengan cara tidak etis".

Akun review film Cinemuach juga mengekspresikan sentimen serupa, dengan mengkritik ramainya film ini di bioskop yang menarik lebih dari 700.000 penonton di hari kedua penayangan. Dengan tidak mengulas film tersebut, para penulis review ini menyatakan sikap yang tegas untuk tidak memberikan ruang bagi film-film yang eksploitatif dan tidak etis.

Tapi, sikap tegas dari pelaku ekosistem film berhenti di situ. Pelaku industri film lainnya seperti pihak bioskop dan Lembaga Sensor Film, juga turut terlibat dalam melanggengkan keberadaan film-film seperti ini di tengah masyarakat. Bioskop, tentu saja, hanya peduli dengan seberapa besar jumlah penonton yang bisa didapatkan dari sebuah film.

Tren memamerkan jumlah penonton yang belakangan sering dilakukan oleh para sineas dan produser juga tidak membantu. Sebab kini kesuksesan sebuah film hanya diukur melalui berapa jumlah penontonnya. Tak peduli filmnya bermasalah atau tidak, berkualitas atau tidak, yang penting bisa menembus 1 juta penonton.

Kemudian, pihak LSF yang meloloskan Vina: Sebelum 7 Hari juga menjadi sebuah pertanyaan. Secara regulasi, film ini memang tidak melanggar apa-apa. Dalam Permendikbudristek Nomor 2019, penyensoran film meliputi aspek kekerasan, perjudian, narkotika, pornografi, SARA, agama, hukum, harkat dan martabat manusia, dan usia penonton film.

Sementara itu, Ketua LSF Rommy Fibri Hardiyanto mengatakan bahwa adegan kekerasan dalam film Vina: Sebelum 7 Hari tidak disensor atau disunting karena merupakan bagian penting dari konteks cerita. "[LSF] tidak dalam konteks memotong atau menggunting adegan tetapi lebih mengklasifikasikan [sesuai usia penonton]. Kecuali satu yang enggak bisa debat, telanjang bulat," ucap Rommy dikutip dari BBC Indonesia.

Ketika industri film memberi ruang bagi keberadaan film-film eksploitatif yang tidak berperspektif korban, keputusannya ada di tangan penonton untuk menyikapi film-film ini secara lebih bijak. Terlepas dari tujuan produser dan sutradara   yang sangat masuk akal untuk dipertanyakan   memberi panggung untuk film semacam Vina: Sebelum 7 Hari sama saja dengan memaklumi praktik filmmaking yang tidak etis, nirempati, dan hanya berorientasi keuntungan.

(ANL/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS