Insight | General Knowledge

Supremasi Sipil ala Konoha: Belajar dari Dunia Ninja

Sabtu, 12 Apr 2025 12:00 WIB
Supremasi Sipil ala Konoha: Belajar dari Dunia Ninja
"Hokage Konoha" di Mloko Sewu, Ponorogo./ Foto: Charolin Pebrianti/detikcom
Jakarta -

Dalam kesadaran kolektif masyarakat Indonesia, keberadaan Konoha-desa fiksi dalam dunia shounen Jepang, Naruto-terasa relatable. Walaupun neninjaan tak punya akar historis di tanah air, kenyataan bahwa anime Naruto (2002-2007) dan Naruto Shippuuden (2007-2017) telah diputar bertahun-tahun di televisi nasional, sudah cukup menandakan kisah Naruto dan Konoha, sangat digandrungi publik.

Obsesi terhadap Naruto dan Konohagakure bahkan ikut menjelma ke dalam imajinasi semi-fantastik versi para wibu melek politik. Atau, meminjam istilah Benedict Anderson, semacam bentuk "imagined community"-yang mana para penggemar menjalin keterikatan identitas dengan dunia fiksi, lalu mengimpor nilainya ke dalam lanskap politik nyata. Konoha bukan cuma latar cerita; ia menjadi cermin alternatif bagi harapan dan kritik atas negara sendiri.

Pada platform maya, misalnya, warganet kerap menyandingkan para Hokage dengan para Presiden RI, baik secara latar, watak, maupun gaya kepemimpinan. Soekarno dan Hokage Pertama sering diposisikan sejajar-sesama pendiri dan punya hubungan darah dengan pemimpin perempuan di urutan kelima: Megawati dan Tsunade. Begitu pula dengan runut Presiden dan Hokage berikutnya.

Korelasi tersebut lantas menemui klimaks ketika Naruto diangkat menjadi Hokage ke-7; nyaris bersamaan dengan masa pengangkatan Presiden ke-7 RI, Joko Widodo. Keduanya kemudian juga disepakati sebagai tokoh yang setipikal: sama-sama "berasal dari bawah", dianggap tidak pantas memimpin. Dua sosok yang fenomenal.

Jokowi sendiri pernah menanggapi lebih lanjut urusan "Naruto". Sekitar tahun 2017 lalu, dalam dialog Jokowi dengan santri, ia pernah ditanya soal Naruto. Meski awalnya tak paham, ia menanggapi dengan santai dan menjanjikan akan "membawa kebaikan seperti Naruto di Konoha."

Lalu, sewaktu tongkat kepemimpinan berpindah: Jokowi digantikan oleh Prabowo Subianto dan tahta Naruto dilanjutkan oleh penasihatnya, Shikamaru-dalam serial Boruto-pencocokan kembali timbul ke permukaan. Prabowo maupun Shikamaru, sama-sama berlatar bukan sipil murni, tetapi terlahir di lingkungan pemerintahan serta punya privilege. Prabowo pernah menjabat Menteri Pertahanan di era Jokowi, mirip posisi Shikamaru sebagai penasihat. Ayah Shikamaru juga bekerja di pemerintahan, sama seperti ayah Prabowo.

Di samping sejumlah bentuk analogi "unik" yang terjembreng antara Konohagakure dan Indonesia, terselip pula satu pelajaran penting pada ranah struktural yang tidak kalah relevan. Yakni, perihal posisi sipil dan militer dalam sistem pemerintahan yang berada di kedua otoritas.

Sistem Hybrid dan Demokrasi Ninja

Uzumaki Naruto adalah seorang ninja yang pernah dipandang remeh. Dengan baju oranye dan perangainya yang sering kali konyol, ia yang sempat benar-benar diragukan kemudian berhasil menggapai cita-citanya yang mulia: menjadi Hokage. Kendati begitu, kisah Naruto menjadi Hokage bukanlah cerita tentang ninja (militer) yang kemudian tetiba bijak atau disiplin dan galak saat berkuasa. Melainkan cerita tentang bagaimana mantan pejuang garis depan bisa mewakili wajah sipil dalam suatu pemerintahan dengan apik.

Kisah Naruto pun kemudian direkognisi para penggemarnya sebagai alur yang lumayan mirip dengan kiprah Prabowo-mantan petinggi TNI, yang setelah bersusah payah menghidupkan karirnya di bidang politik-menuju kursi presiden.

Pada dasarnya, urusan supremasi sipil yang tampak timbul di kedua otoritas memang tidak bisa diceplak begitu saja. Berbeda dari Indonesia, Konoha tidak memiliki sistem republik, tidak pula mengimani Demokrasi Pancasila. Terlebih, di Konohagakure, Naruto dkk. juga tidak pernah menggelar pemilu langsung, tidak memiliki partai politik, apalagi kampanye satu stadion penuh.

Pemilihan Hokage dilakukan melalui konsensus elit dan sosial: ia harus kuat secara kemampuan, dan mendapat kepercayaan publik. Sistem ini dapat dikategorikan sebagai bentuk proto-demokrasi konsultatif, yang ditopang oleh prinsip meritokrasi dan legitimasi moral. Tak ayal, jika jabatan-jabatan strategisnya dikuasai figur-figur ninja, alias angkatan militer di dunia Naruto. Secara teori, kepemimpinan Naruto tampak menyerupai hegemoni kultural ala Antonio Gramsci. Meminjam cara pandang Gramsci, kepemimpinan Naruto mencirikan suatu cara memperoleh kekuasaan yang sah dan pantas melalui hegemoni kultural. Ia mencapainya lewat konsensus sosial, bukan paksaan.

Sebaliknya, model demikian sama sekali tidak boleh terjadi dan ditiru di Indonesia, selaku penganut Demokrasi Pancasila, yang belakangan ini justru kembali bergulat dengan persoalan multifungsi militer dalam pemerintahan-pasca pengesahan selekas kilat UU TNI, pertengahan Maret 2025 kemarin. Memang, Prabowo sendiri terpilih lewat proses pemilihan umum yang "Luber Jurdil", hanya saja, dinamika mengenai penunjukan "militer" di jabatan strategis sipil menjadi hal yang kemudian dianggap publik bermasalah.

Dengan kata lain, kekhawatiran akan "bias kepentingan" militer di Pemerintahan Indonesia wajib digugurkan, karena hal ini bahkan tidak sama sekali terjadi di Konoha, di mana Naruto, yang meski merupakan seorang ninja, justru sanggup menjadi antitesis dari kepemimpinan militeristik. Dengan gayanya yang khas, Naruto berhasil menjauh dari citra penguasa bertangan "Rasengan", tapi malah sanggup menjadi pemimpin yang cakap menjembatani konflik, membuka dialog lintas desa, serta menciptakan ruang sipil yang relatif damai-jauh dari etos milerisma.

Naruto dalam dunianya, meminjam istilah Gramsci, dapat dilihat sebagai "intelektual organik". Seorang pemimpin yang tumbuh dari akar rumput, kaya akan pengalaman terpinggirkan, tetapi tetap mampu mengedepankan nilai-nilai sipil tanpa termakan buaian struktur kekuasaan. Suatu hal yang agaknya mirip dengan kondisi Indonesia saat ini: dipimpin seorang mantan Letnan Jenderal TNI, yang kini telah berulang kali mencitrakan dan menjamin dirinya sebagai seorang pemimpin yang "gemoy", dekat dengan rakyat, dan seperti yang ia katakan: siap taat supremasi sipil-kendati pendekatan "keterlibatan militer" yang diterapkan Naruto atau Prabowo tampak sedikit berbeda.

Kontrol Sipil dan Kekuasaan Moral

Dalam buku The Soldier and the State, Samuel Huntington membedakan dua model utama kontrol sipil atas militer: subjective control (dominasi oleh partai atau ideologi) dan objective control (militer profesional yang tunduk pada otoritas sipil). Akan tetapi, jika kita merujuk kesimpulan Huntington, Konoha kemudian malah memperlihatkan pola yang agak berbeda: kontrol sipil berbasis kepercayaan sosial dan kredibilitas moral.

Naruto tidak memimpin melalui komando militer, tetapi lewat narasi dan pengalaman kolektif, berbasis empati dan kepercayaan publik. Dalam hal ini, ia membentuk kuasanya bukan dari doktrin atau kekerasan, melainkan dari "performativitas simbolik" yang diyakini beramai-ramai. Serupa istilah Lisa Wedeen, dalam Ambiguities of Domination: kekuasaan yang efektif justru biasanya mampu hadir melalui simbol dan ritus sehari-hari-bukan paksaan langsung, tapi melalui imajinasi dan pembiasaan yang natural.

Lebih lanjut lagi, Naruto yang kuat juga mampu memerintah bukan melalui rasa takut, tapi melalui bujukan etis, sebagaimana konsep soft power yang dikembangkan oleh Joseph Nye-yaitu kekuatan yang lahir dari nilai-nilai budaya dan legitimasi moral, bukan dari paksaan atau kekuatan senjata. Dengan kata lain, Naruto berhasil membangun "kedaulatan rakyat berbasis cerita". Di mana pengaruh kepemimpinannya berasal corong budaya dan nilai, bukan tajamnya shuriken.

NarutoNaruto Uzumaki dalam wujud Baryon Mode./ Foto: Naruto Official

Dalam model ini, supremasi sipil yang terjadi secara integral di dalam dunia Naruto lantas tidak serta-merta diartikan: memaksa ninja/militer tidak berperan atau tak sama sekali berkesempatan menduduki jabatan sipil, melainkan mewajibkan mereka untuk terlebih dulu merampungkan transformasi moral sesuai etika sipil.

Pada satu titik, realitas Konoha yang hanya berada di layar kaca justru terasa lebih demokratis. Apalagi kalau mau dibandingkan dengan situasi berkembang di Indonesia, yang baru saja menyaksikan revisi UU TNI yang disahkan secara "kilat" dan tanpa partisipasi serta pengawasan publik. Hal yang menjadi musabab berdengungnya jargon "supremasi sipil" di kalangan masyarakat, merespon kekhawatiran UU TNI, yang berpeluang menghidupkan multifungsi militer di kursi-kursi sipil-hal ini sendiri telah coba dijawab dengan panjang lebar oleh Prabowo, dalam 3 jam wawancara kepada sejumlah pemimpin redaksi media-media nasional.

Ninja yang Beradab

Dalam konteks Naruto, suara rakyat memang tidak selalu keras dan kentara, tapi konsisten-dan didengarkan. Naruto dengan upayanya berhasil menginternalisasi penderitaan orang biasa, lalu mengubahnya menjadi empati politik; Ia menjadikan jembatan sosial lebih penting dari markas militer. Ini bukan utopia: ini gambaran bagaimana seharusnya negara modern bekerja.

Naruto turut membuktikan, bahwa menjadi bagian dari militer bukan berarti harus militeristik. Baginya, kekuasaan adalah alat untuk melayani, bukan menindas, atau menggagahi rakyat biasa. Ia malah telah menunjukkan kalau kepemimpinan yang baik bisa juga lahir dari kecakapan mendengar, bukan semata-mata kekuatan "jurus seribu bayang".

narutoTangkapan layar Naruto di Naruto Ultimate Shippuden Ninja Storm./ Foto: Istimewa

Dalam situasi dunia yang sedang kehilangan arah dan kompas etis, mungkin saja kita benar-benar butuh lebih banyak belajar dari Naruto. Pemimpin yang paham akan kekuatan suara rakyat, tanpa berpongah mengikuti rekam jejak pendahulu atau mencoba melampaui kelebihan-serta kekurangannya.

Sebagaimana perkataan "Itulah jalan ninjaku" yang diutarakan Naruto sebagai jawaban atas ketidakpasrahaannya terhadap garis nasib atau independensinya sebagai seorang ninja dan Hokage, etos tersebutlah yang juga sedang didambakan orang banyak terhadap seorang pemimpin; Ia yang berani berpegang teguh pada kepentingan banyak; cakap mendengar rakyat, bukan sekadar memerintah; mengedepankan supremasi sipil tanpa terkecuali; tidak mendahului ego atau pandangan pribadi, apalagi golongan yang pernah membesarkan namanya. Seorang pemimpin yang mampu berdiri bersama di jalan pilihan rakyat.

(RIA/DIR)

Author

Riz Afrialldi

Description
An adventurer, but lost in the land of words
NEW RELEASE
CXO SPECIALS