Interest | Art & Culture

'Aduh', Setelah Setengah Abad Berlalu

Selasa, 14 May 2024 17:40 WIB
'Aduh', Setelah Setengah Abad Berlalu
'Aduh', Setelah Setengah Abad Berlalu/Foto: Dok. Komunitas Salihara/Witjak Widhi Cahya
Jakarta -

Dalam dunia kesusastraan, Putu Wijaya menjelma sebagai sosok yang dikenal serba bisa. Tak ada yang tak bisa ia tulis, mulai dari naskah lakon, cerpen, novel, hingga esai. Kiprahnya di dunia seni pertunjukan sudah dimulai sejak periode 1960an, ketika ia melahirkan beberapa karya seperti Lautan Bernyanyi, Bila Malam Bertambah Malam, dan Dalam Cahaya Bulan. Sosoknya yang melegenda membuatnya disandingkan dengan nama-nama sastrawan seangkatannya, seperti Arifin C. Noer, Iwan Simatupang, dan W.S. Rendra.

Salah satu judul yang mengantarkannya kepada status ikon adalah Aduh. Berbeda dengan karya-karya Putu terdahulu-dan karya teater yang marak di periode 1970an-yang menganut realisme, Aduh adalah sebuah lakon yang eksperimental dan bermain-main dengan absurditas. Lakon ini pertama kali dipentaskan oleh Teater Mandiri yang didirikan oleh Putu pada tahun 1974.

Setengah abad kemudian, Teater Mandiri kembali mementaskan Aduh di Teater Salihara pada Sabtu (11/5/24) dan Minggu (12/5/24). Pementaran ini bukan hanya suatu bentuk perayaan terhadap karya-karya Putu Wijaya, tapi juga sebuah refleksi atas kemampuan seni untuk tetap relevan di zaman yang berbeda.

Aduh dan Absurditas Manusia

Pertunjukan dimulai dengan panggung yang gelap dan munculnya beberapa cahaya terang yang bertebangan bak kunang-kunang di layar hitam. Lalu terdengar suara sirine yang mengiringi masuknya 6 sosok yang menarik-narik kain hitam yang menjadi layar, sembari menyemangati satu sama lain untuk bekerja dengan lebih giat. Di tengah-tengah "keseharian" ini, muncul seorang tokoh yang meraung kesakitan. Tubuhnya dililit kain putih, mukanya pucat, dan ada luka di badannya.

Sekumpulan orang itu pun langsung menghentikan pekerjaan mereka dan mencoba menerka-nerka orang yang kesakitan. "Kenapa? Sakit, ya? Sakit apa?" tanya mereka secara bergantian. Tapi orang yang sakit itu tak menjawab dan hanya meraung-raung. Mulai dari sini, perdebatan pun dimulai. Ada yang berpendapat orang sakit itu harus dibawa ke rumah sakit, ada yang berpendapat harus lapor polisi, ada juga yang ragu untuk menolong karena takut kena tipu karena rupanya ini pernah terjadi sebelumnya.

Selama 2 jam, perdebatan inilah yang menjadi pusat dari seluruh lakon. Perdebatannya pun penuh tarik ulur, terkadang tegang, seringkali lucu, tapi selalu absurd. Namun absurditas bukan hanya dihadirkan melalui tokoh-tokohnya, tapi juga produksinya. Tak ada banyak properti di atas panggung yang menggambarkan latar cerita ataupun identitas para tokoh. Semua karakternya pun juga tak memiliki nama.

Memang itulah absurditas yang dibawa oleh Teater Mandiri, yang memiliki prinsip "Bertolak dari yang Ada". Semuanya bak gelas kosong, yang diisi dengan upaya para tokohnya untuk memilih tindakan dalam situasi yang tak terduga. Tapi di sinilah letak kritik yang digaungkan oleh Putu Wijaya lewat Aduh, sebab di dari semua perdebatan yang absurd ini, pada akhirnya tidak ada tindakan yang diambil. Sampai orang sakit itu akhirnya meninggal dan menjadi mayat. Sampai ia sudah menjadi mayat, perdebatannya pun masih mengalir dari yang tadinya seputar menolong atau tidak menolong menjadi kebingungan bagaimana mau menguburnya.

Bagi yang tidak terbiasa menikmati teater absurd, Aduh mungkin terasa asing dan sukar untuk dinikmati. Tapi dengan format seperti ini, kita diajak untuk menyelami sifat manusia dan proses berpikirnya, yang mungkin memang lebih sering absurd ketimbang logis. Apalagi, yang terjadi di panggung memiliki banyak kemiripan dengan kondisi masyarakat saat ini yang mudah terprovokasi, mahir dalam berdebat, tapi minim empati dan tak punya nyali untuk bertindak. Setengah abad lagi, Aduh mungkin akan tetap relevan, dan relevansi inilah yang mengukuhkan Aduh sebagai salah satu karya seni yang tak lekang oleh waktu.

[Gambas:Audio CXO]

(ANL/tim)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS