Setiap kali Timnas kalah, kita seperti bangsa yang kehilangan arah. Padahal yang hilang hanyalah satu pertandingan, bukan masa depan. Suasana pasca-pertandingan besar bagi publik Indonesia jarang sekali berakhir netral.
Gelombang emosionalitas publik mengalir deras; kecewa, marah, dan yang paling cepat muncul adalah kebutuhan untuk menunjuk dan menyalahkan. Jurnalisme ramai mencari kegagalan taktik, pengamat mengkritik komposisi pemain, sementara warganet menyerang individu.
Semua energi ini diarahkan untuk mencari kambing hitam yang bertanggung jawab atas retaknya impian kolektif. Namun jika kita mundur sejenak dari hiruk-pikuk lapangan hijau, muncul pertanyaan yang lebih dalam: Apakah ini sungguh hanya tentang sepak bola, ataukah ini tentang cara kita menaruh harapan?
Kekalahan Timnas, pada hakikatnya, adalah cerminan yang menyakitkan tentang betapa rapuhnya harapan yang terlalu sering kita titipkan pada figur, simbol, atau peristiwa tunggal.
Ilustrasi menanggung harapan./ Foto: Luis Villasmil/Unsplash |
Budaya Menitipkan Harapan
Kecenderungan untuk menaruh harapan pada orang lain, pada sebuah struktur baru, atau pada satu titik balik besar bukanlah hal baru dalam budaya kolektif Indonesia. Dalam banyak aspek kehidupan baik politik, birokrasi, ekonomi, hingga olahraga, kita memiliki pola umum: mencari 'pahlawan instan' yang akan datang dan memperbaiki semuanya dengan satu sentuhan sihir.
Fenomena ini tampak jelas dalam siklus euforia dan kekecewaan kita. Ketika pelatih asing baru datang, kita mengharapkannya menjadi juru selamat yang akan mengubah mentalitas pemain dalam semalam. Ketika pemimpin baru terpilih, kita menanti perombakan total birokrasi yang akan menyelesaikan masalah korupsi dalam satu periode jabatan.
Harapan yang kita titipkan ini sifatnya terlalu linier dan cepat, seolah-olah perbaikan besar adalah produk instan, bukan hasil dari kerja sunyi yang membutuhkan disiplin bertahun-tahun. Kita tidak menolak semangat. Faktanya, euforia dukungan publik terhadap Timnas sangat tinggi yang mencerminkan besarnya keinginan kita untuk sukses.
Masalahnya bukan pada intensitas semangat, tetapi pada pemahaman kita tentang proses harapan. Kita berharap hasil yang sempurna, namun seringkali kurang sabar terhadap proses yang berdarah-darah. Kita menginginkan panen, tetapi enggan menyiram benih dengan konsisten.
Budaya menitipkan harapan ini adalah budaya yang, tanpa disadari, membebaskan kita dari keharusan untuk ikut bertanggung jawab atas proses.
Alasan Sulit Menanggung Harapan Sendiri
Mengapa begitu sulit bagi kita untuk memanggul harapan itu sendiri dan mengubahnya menjadi tanggung jawab pribadi? Penjelasan ini menyentuh aspek psikologis dan sosial.
Dalam lingkungan yang penuh ketidakpastian, mulai dari ketidakpastian ekonomi hingga dinamika sosial yang cepat, seseorang sering kali mengalami kelelahan emosional. Kebutuhan akan figur atau simbol yang mampu 'menenangkan' dan menanggung beban ini menjadi sangat tinggi.
Lebih mudah untuk meyakini bahwa "mereka" para pemimpin, para pemain sedang mengurusnya, daripada menghadapi kenyataan bahwa perubahan harus dimulai dari unit terkecil: diri kita sendiri. Harapan sering kita titipkan karena kita takut kecewa.
Ketika kita berinvestasi emosi dan waktu pada pekerjaan atau tujuan kita sendiri dan gagal, rasa sakitnya adalah kegagalan pribadi. Namun, ketika harapan itu kita titipkan pada simbol eksternal (Timnas, misalnya), kegagalannya terasa lebih bersama dan lebih mudah untuk dikesampingkan dengan mencari kambing hitam.
Ini adalah mekanisme pertahanan sosial. Namun, strategi ini mahal harganya. Saat kita menyerahkan harapan, kita juga menyerahkan daya cipta (agency) kita. Kita berhenti bertanya, "Apa yang bisa saya lakukan hari ini untuk menjadi bagian dari solusi?" dan mulai bertanya, "Siapa yang bisa saya salahkan karena belum adanya solusi?".
Dari Harapan ke Tanggung Jawab Kolektif
Dalam banyak hal, bangsa ini tidak kekurangan harapan, tapi kita kekurangan cara untuk menyalurkannya. Kita terlalu sering menganggap harapan sebagai beban yang harus ditanggung seseorang di puncak piramida, bukan sebagai cahaya kecil yang perlu dijaga bersama.
Padahal, perubahan besar sering dimulai dari mereka yang tidak terlihat: pelatih yang bekerja dalam diam, guru yang terus mengajar tanpa penghargaan, pegawai yang menolak jalan pintas, warga yang tetap menanam pohon di lahan kering.
Tanggung jawab adalah bentuk tertinggi dari harapan. Ia tidak menunggu, tidak menyalahkan, tidak berteriak. Ia bekerja. Dan justru dalam kerja yang diam itu, harapan menemukan bentuknya yang paling murni.
Barangkali ini saatnya kita belajar menaruh harapan dengan cara yang lebih dewasa - bukan dengan menyerahkannya pada figur, melainkan dengan memeliharanya dalam diri dan komunitas kita sendiri. Agar ketika Timnas, pemerintah, atau siapa pun yang kita harapkan suatu hari gagal lagi, kita tidak runtuh, karena kita tahu: harapan itu tidak pernah sepenuhnya bergantung pada mereka.
Setiap kali kita kecewa pada sesuatu yang besar entah itu Timnas, reformasi, atau janji politik, sebenarnya kita sedang diberikan kesempatan untuk berkaca pada diri sendiri.
Mungkin saatnya kita berhenti menitipkan harapan, dan mulai memelihara harapan itu sendiri. Misalnya di ruang-ruang kecil komitmen profesional, di kerja-kerja sunyi yang menuntut integritas, dan di disiplin yang tak terlihat kamera. Harapan yang dewasa tidak menunggu janji dari orang lain; harapan yang dewasa adalah energi yang kita hasilkan sendiri melalui aksi.
Bangsa yang matang bukanlah bangsa tanpa harapan, melainkan bangsa yang tahu cara memelihara harapan mereka, mengubahnya menjadi tanggung jawab, dan membangun masa depan di atas fondasi yang gigih, selangkah demi selangkah. Bagaimana menurutmu?
Penulis: Andy Wijaya
*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*
Ilustrasi menanggung harapan./ Foto: Luis Villasmil/Unsplash