Inspire | Human Stories

Piala Dunia di Ujung Kaki Garuda

Kamis, 09 Oct 2025 16:09 WIB
Piala Dunia di Ujung Kaki Garuda
Tifo yang dibentangkan dalam pertandingan Indonesia melawan Bahrain di GBK. Foto: Bagas Dharma - Kontributor CXO Media
Jakarta -

Dua tahun lalu, saat Tim Nasional (Timnas) Indonesia memulai Kualifikasi Piala Dunia 2026, saya tidak berani bermimpi Timnas bisa lolos ke babak utama. Ingatan akan perihnya ekspektasi tinggi yang runtuh dalam 90 menit masih membekas terlalu jelas.

Pada pertandingan pertama putaran kedua Kualifikasi Piala Dunia 2022, saya berada di tribun Gelora Bung Karno (GBK) menyaksikan Pasukan Garuda menghadapi Malaysia. Sempat tampil meyakinkan di awal laga, skuad besutan Simon McMenemy takluk 2-3 berkat gol telat Mohamadou Sumareh menit 90+7.

Kekalahan tersebut menjadi awal dari mimpi buruk yang membuat kita berakhir di posisi juru kunci dengan hanya meraih satu poin. Namun, saat ini keadaannya jauh berbeda. Perjalanan telah membawa Timnas Indonesia melampaui semua yang pernah dicapai dalam sejarah. Kita hanya berjarak 180 menit dari panggung utama. Jarak yang membuat mimpi terasa begitu nyata.

[Gambas:Instagram]

Dua pertandingan, melawan Arab Saudi (9/10) dan Irak (12/10), akan menjadi penentu. Apakah Garuda akan mampu menapakkan kaki di tanah impian, terlempar ke jurang kegagalan, atau masih diberi kesempatan kedua lewat babak yang lebih terjal?

Sebelum peluit sepak mula dibunyikan, selagi kita masih bisa berpikir jernih tanpa terpengaruh oleh hasil, keputusan wasit, atau hal-hal lainnya, mari menoleh sejenak ke belakang, mengingat bahwa kita telah sampai sejauh ini bersama-sama.

Kita Banyak Diuntungkan

Timnas Indonesia memulai semuanya dari titik nol, babak pra-kualifikasi melawan Brunei Darussalam. Sebuah laga yang harus dijalani sebagai "hukuman" karena finis terakhir di edisi sebelumnya. Berbekal skuad yang saat itu belum terlalu 'wah', Shin Tae-yong (STY) berhasil membawa Timnas melenggang mulus. Di putaran kedua, tantangan sesungguhnya menanti: Irak, Vietnam, Filipina. Sepanjang babak kualifikasi, harus diakui kita diuntungkan dengan banyak hal.

Pertama, proyek naturalisasi pemain diaspora digenjot oleh PSSI. Satu per satu kepingan puzzle datang melengkapi tim di waktu yang tepat. Mereka adalah Sandy Walsh, Shayne Pattynama, Rafael Struick, Ivar Jenner, Justin Hubner, Jay Idzes, Nathan Tjoe-A-On, Thom Haye, Ragnar Oratmangoen, Maarten Paes, Calvin Verdonk, Eliano Reijnders, Mees Hilgers, Kevin Diks, Dean James, Ole Romeny, dan Emil Audero.

Jujur saja, tanpa mereka kita mungkin kembali babak belur di kualifikasi kali ini. Buktinya, Timnas memang sempat terseok-seok. Kalah dari Irak di Basra, lalu ditahan imbang Filipina di Manila. Bersyukur, jeda panjang dimanfaatkan PSSI untuk merampungkan proses naturalisasi Idzes dan beberapa nama lainnya.

Hasilnya manis. Vietnam kita libas dua kali, kandang dan tandang. Meski sempat kalah lagi dari Irak, tiket ke babak selanjutnya berhasil diamankan lewat kemenangan ciamik atas Filipina di GBK. Gelombang naturalisasi yang sukses ini pun menjadi inspirasi negara-negara tetangga. Keuntungan lainnya? Penambahan kuota peserta Piala Dunia menjadi 48 tim. Jatah tim AFC bertambah sehingga format kualifikasi jadi lebih panjang dan memberi kita lebih banyak kesempatan.

Pada edisi yang lalu, hanya delapan juara grup serta lima runner-up terbaik yang lolos ke putaran ketiga. Sementara itu, sistem kualifikasi baru membuat kita bisa langsung melaju bersama Irak untuk memainkan putaran ketiga.

Akan tetapi, di antara faktor lain, keuntungan terbesar tentunya adalah dukungan suporter yang tak terbendung. Pada setiap pertandingan kandang, GBK selalu menjadi lautan merah. Bahkan di laga tandang, suara suporter Garuda tak pernah padam. Belum lagi dukungan masyarakat yang menyaksikan melalui layar kaca.

Puncaknya saat laga melawan Jepang (10/6), ketika kelompok suporter Garuda Jepang membentangkan tifo yang disorot dunia. Ini sebuah anomali, di mana suporter tim tamu membuat tifo di kandang lawannya.

[Gambas:Instagram]

Terakhir, bagaimanapun kinerja federasi juga patut diapresiasi. Dukungan mereka menguntungkan Timnas dari segi fasilitas, logistik, hingga proses naturalisasi. Jadi, selama ini Garuda tidak terbang sendirian. Semua elemen bersatu, membantu mengepakkan sayap agar kita bisa terbang lebih tinggi.

Sebenarnya Bisa Lebih Beruntung

Di balik semua euforia, terselip beberapa penyesalan. Sebenarnya Indonesia bisa saja mengunci slot di Piala Dunia lebih dini sebagai runner-up grup di bawah Jepang, seandainya tidak terjadi serangkaian drama dan kesialan.

Ya, kita hampir mencuri tiga poin dari kandang Arab Saudi pada pertandingan perdana. Walsh membuka keran gol Timnas, tetapi kemudian Arab merespons jelang babak pertama usai. Skor 1-1 bertahan hingga bubaran laga.

Satu poin memang berharga, tetapi ada perasaan seharusnya kita bisa meraih poin penuh. Total delapan peluang dilepaskan. Hanya saja, pemain kurang klinis di depan gawang.

Lalu datanglah dua laga tandang yang paling menyakitkan. Melawan Bahrain, gawang Maarten Paes kebobolan di menit 90+9, padahal ofisial keempat hanya memberikan tambahan waktu enam menit. Wasit meniup peluit panjang tepat setelah Bahrain mencetak gol penyama kedudukan. Skor akhir 2-2. Sakitnya luar biasa.

Setelah itu melawan Tiongkok, STY memanen kritik karena dianggap keliru memilih susunan pemain. Cara mainnya terasa berbeda dengan laga melawan Bahrain. Alhasil, Indonesia kalah 2-1 meski mendominasi laga. Gol Thom Haye tidak bisa menyelamatkan angka.

Lalu guncangan terbesar terjadi ketika PSSI memecat STY pasca kemenangan 2-0 atas Arab Saudi di kandang. Timnas pun dipaksa beradaptasi dengan pelatih baru, Patrick Kluivert, di tengah fase krusial.

Kluivert menghadapi laga pertamanya dengan tandang ke Australia. Timnas bermain solid sampai berhasil mendapat hadiah penalti. Seandainya bola sepakan Diks masuk, mungkin ceritanya akan lain. Alih-alih unggul, setelah penalti gagal performa Timnas langsung goyang dan akhirnya malah kebobolan lima kali.

Dan baru-baru ini, hanya beberapa hari jelang laga penting nanti, Audero, kiper tangguh Cremonese yang sedang on-fire di Serie A, harus menepi karena cedera. Untungnya, Indonesia masih punya beberapa kiper andal seperti Paes, Ernando Ari, Nadeo Argawinata, dan yang terbaru Reza Arya.

Bagaimana Kita Sekarang?

Secara historis, Arab Saudi dan Irak bukanlah lawan enteng. Menghadapi Arab, faktor non-teknis tidak bisa dikesampingkan. Sementara melawan Irak, rekor pertemuan juga tak berpihak pada kita. Secara data, Indonesia bahkan diprediksi hanya akan finis ketiga di Grup B.

Namun, peluang itu ada. Skuad kita saat ini sudah lebih kuat dari sebelumnya. Beberapa diaspora baru telah bergabung, dan para pemain di liga lokal tengah dalam kepercayaan diri tinggi.

Timnas hanya perlu fokus pada permainan di atas lapangan. Sisanya, kita tinggal percaya saja. Percaya pada para pemain, percaya pada racikan strategi Patrick Kluivert, dan para stafnya.

Berhasil ataupun gagal nanti, tetap sambut mereka sebagai pahlawan karena mereka telah membawa kita pada sebuah perjalanan yang bahkan tidak pernah berani kita impikan selama ini. Di ujung kaki Garuda, kita titipkan harapan bernama Piala Dunia.



Penulis: Bagas Dharma

*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*

(ktr/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS