Bayangkan kamu sedang duduk sore di teras rumah, menikmati udara yang biasanya tenang, lalu tiba-tiba mendengar kabar bahwa ada "temuan radioaktif" tak jauh dari rumahmu. Kata "radioaktif" langsung membuat pikiran liar berlari kemana-mana ledakan nuklir, kanker, atau bahkan zona terlarang seperti di film-film distopia.
Itulah yang dirasakan warga Cikande, Serang, Banten, beberapa waktu lalu. Ketika Badan Tenaga Nuklir Nasional (BAPETEN) menemukan zat radioaktif Cesium-137 di sebuah lahan kosong, masyarakat sekitar dilanda keresahan. Isu menyebar lebih cepat daripada klarifikasi resmi. Di media sosial, kata "radioaktif" bergema seperti alarm bahaya yang belum tentu semua orang paham artinya.
Ketika Ilmu Sains Bertemu Kepanikan Sosial
Ketakutan warga sebenarnya masuk akal. Bagaimanapun, radiasi itu tidak terlihat, tidak berbau, dan tidak terasa tapi efeknya nyata. Masalahnya, publik umumnya tidak memiliki "alat indera ilmiah" untuk memahami risiko ini secara proporsional.
Bagi ilmuwan, angka paparan radiasi diukur dengan satuan sievert, dihitung menggunakan perangkat dosimeter, dan dibandingkan dengan batas aman menurut WHO. Namun bagi warga, yang mereka tahu hanyalah: "Ada bahan radioaktif, berarti bahaya."
Di sinilah jarak antara pengetahuan teknis dan pengalaman sehari-hari mulai terasa. Ilmuwan bicara dengan data, sementara masyarakat bicara dengan rasa takut. Sains punya Bahasa sendiri, tapi bahasa itu sering gagal diterjemahkan ke dalam konteks sosial.
Dan ketika komunikasi itu gagal, rumor mengisi kekosongan.
Rumor Sebagai Reaksi, Bukan Sekedar Salah Informasi
Beberapa hari setelah temuan itu mencuat, linimasa media sosial langsung berubah jadi arena spekulasi. Ada yang menuduh pembuangan limbah ilegal, ada yang meyakini teori konspirasi soal "tanah tercemar total," bahkan ada pula yang membuat peta bahaya versi sendiri dan membagikannya ke grup WhatsApp keluarga.
Dalam waktu singkat, kabar soal radiasi bukan cuma jadi berita, tapi juga jadi bahan obrolan, ketakutan, dan hiburan sekaligus.
Namun jika kita lihat lebih dalam, rumor tidak selalu lahir dari niat buruk. Ia sering muncul sebagai reaksi manusiawi terhadap ketidakpastian. Dalam psikologi sosial, misalnya, rumor berfungsi sebagai mekanisme bertahan-semacam cara otak kita mencari pola dan penjelasan ketika informasi resmi terasa terlalu lambat, terlalu teknis, atau terlalu jauh dari bahasa sehari-hari. Ketika otoritas sains bicara dalam angka, masyarakat justru menjawab dengan cerita.
Roger Kasperson lewat teori Social Amplification of Risk (1988) menjelaskan bahwa risiko bisa "dibesarkan" melalui interaksi sosial: lewat percakapan, media, hingga imajinasi publik. Bahaya yang sebenarnya terbatas bisa terasa besar karena cara kita membicarakannya.
Dalam kasus Cikande, bukan hanya radiasinya yang menyebar, tapi juga rasa takutnya. Ketakutan itu menular dari satu unggahan ke unggahan lain, dari satu emoji cemas ke ribuan komentar panik lainnya.
Fenomena ini menunjukkan bahwa rumor bukan sekadar salah informasi tetapi bentuk komunikasi alternatif ketika masyarakat merasa tidak didengar. Ia mungkin salah secara faktual, tapi sering benar dalam menggambarkan keresahan sosial. Dan di titik inilah peran komunikasi sains menjadi krusial: bukan sekadar menjelaskan data, tapi juga menenangkan rasa.
Antara Radiasi dan Rasa Percaya Saat Sains Harus Turun Ke Jalan
Ketakutan warga Cikande bukan cuma soal radiasi, tapi juga soal kepercayaan. Mereka bingung harus percaya pada siapa pemerintah, ilmuwan, atau rumor yang berseliweran di media sosial. Di era krisis kepercayaan seperti sekarang, sains tidak cukup hadir dalam bentuk angka dan laporan teknis. Sifatnya harus terasa, bisa dipahami, dan membumi.
Bayangkan kalau sejak awal informasi soal radiasi disampaikan sederhana: "Tingkat radiasinya setara dengan sinar X di rumah sakit, dan sudah dikendalikan oleh tim ahli," atau memang memiliki dampak nyata, tetapi telah dilakukan langkah-langkah penanggulangan yang lebih nyata.
Kalimat atau penjelasan semacam itu pasti akan lebih menenangkan kebingungan daripada data sievert dan istilah ilmiah yang terasa jauh dari keseharian. Inilah mengapa: komunikasi sains bukan sekadar punya akurasi melainkan empati.
Fenomena "radioaktif Cikande" juga memperlihatkan bagaimana media sosial kini jadi laboratorium publik, tempat sains diuji oleh rasa takut dan rasa ingin tahu. Publik lebih kritis, tapi juga rentan disinformasi. Di sinilah pentingnya peran generasi muda menjembatani sains dan masyarakat lewat bahasa yang mudah, jujur, dan relatable.
Pada akhirnya, yang tercemar bukan cuma tanah, tapi juga rasa aman. Krisis ini jadi pengingat bahwa bahaya terbesar bukan radiasi itu sendiri, melainkan jarak antara pengetahuan dan masyarakat.
Sains yang baik bukan cuma yang bisa mengukur bahaya, tapi juga yang bisa menenangkan manusia dengan berkata, "Kami paham kenapa kalian takut, dan kami akan jelaskan dengan cara yang bisa kalian pahami."
Penulis: Deandra Fadilah*
(*) Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.
(ktr/RIA)