Tahun 2023, industri kosmetik global mencatat nilai fantastis, mencapai USD 430 miliar. Ini adalah angka yang menggambarkan gurita bisnis raksasa yang menyentuh hampir setiap sudut kehidupan modern. Namun di balik gemerlap angka tersebut, terhampar ironi yang mencolok: di era yang sama. Survei global menunjukkan sebagian besar perempuan bergumul dengan kepercayaan diri terkait penampilan. Khususnya di Asia Tenggara, 79% perempuan
Indonesia merasa tidak percaya diri (Dove 2017), sementara 23,4% remaja perempuan menunjukkan gejala gangguan citra tubuh (Kemenkes RI 2022).
Angka ini bukan kebetulan semata. Ini adalah hasil dari strategi bisnis yang terencana dan matang: menjual solusi untuk masalah yang sejatinya tak pernah ada, atau setidaknya, masalah yang diciptakan dan diperparah.
Ilustrasi skincare./ Foto: iStock |
Saat Ketidakpuasan Jadi Komoditas Bisnis
Ambil contoh Sarah (24), seorang eksekutif muda di Jakarta yang namanya disamarkan. Ia menghabiskan tidak kurang dari Rp 3 juta per bulan untuk rangkaian skincare "anti-aging" yang dijanjikan mampu menghentikan laju waktu. Padahal, dokter kulit yang ia kunjungi menyatakan kulitnya sehat dan normal.
"Aku takut terlihat tua," ujarnya, saat menatap iklan di layar ponsel yang terus berkedip, menyerukan janji "Lawan keriput sejak usia 20!". Fenomena ini adalah paradoks, di tengah melimpahnya produk kecantikan yang diklaim memperbaiki, ketidakpuasan terhadap diri sendiri, khususnya tubuh dan wajah, justru meningkat secara signifikan.
Data mendukung kontradiksi ini. Dalam satu dekade terakhir (2013-2023), jumlah varian produk (SKU) di pasaran meningkat 300% menurut laporan Euromonitor 2023, meskipun pertumbuhan nilai pasar 'hanya' 58% (dari USD 272 miliar ke USD 430 miliar) antara 2018-2023 berdasarkan laporan Euromonitor tahun 2023.
Alih-alih meningkatkan rasa percaya diri, tingkat ketidakpuasan tubuh justru mengalami kenaikan sebesar 57% berdasarkan laporan dari Journal of Consumer Psychology periode yang sama. Angka 57% ini merupakan akumulasi tren 10 tahun yang mengkhawatirkan dari studi meta-analisis. Maka, pertanyaan krusialnya bukan lagi, "bagaimana agar tampil cantik?", melainkan, "Jika standar kecantikan 'alami' sejatinya tak pernah ada, mengapa kita tak bisa berhenti membeli ribuan produk untuk mengejar ilusi tersebut?".
Standar Kecantikan: Rekayasa Sosial yang Terstruktur
Narasi kecantikan bukanlah sesuatu yang statis atau universal; ia adalah produk rekayasa sosial yang dinamis, dibentuk dan direproduksi melalui media. Sejak era 1950-an, media telah menjadi pabrik ilusi yang tak henti mencetak dan memaksakan standar kecantikan.
Evolusinya dapat kita lihat dari alat manipulasi media yang semakin canggih. MIsalnya tahun 1950an, standar yang diciptakan adalah kulit mulus tanpa cela. Lalu tahun 2000an, wajah yang simetri sempurna adalah yang ideal, dan yang tahun 2020 hingga sekarang adalah wajah virtual bagaikan artificial intelligence.
Dampak psikologis dari paparan visual semacam ini sangat nyata. Riset Harvard (2016) membuktikan paparan foto retouch selama 10 menit secara signifikan mengurangi kepercayaan diri remaja perempuan-dengan efek setara penurunan 1/4 poin pada skala Rosenberg Self-Esteem Scale. Ini bukan sekadar angka statistik; ini adalah realitas psikologis yang mengikis fondasi rasa harga diri individu. Standar kecantikan direproduksi secara terus-menerus, tidak untuk dicapai, melainkan untuk dipertahankan sebagai ilusi yang menguntungkan.
Sistem ini bekerja seperti lingkaran setan yang tak pernah putus, menjebak konsumen dalam siklus berulang yang menguntungkan industri. Mulai dari iklan yang menampilkan standar kecantikan yang mustahil, respons industri yang menjanjikan solusinya, produk yang diciptakan instan untuk menampilkan hasil tersebut, lalu konsumen pun terjebak, sampai hal ini diamini berulang-ulang.
Fenomena ini mengingatkan pada gagasan Michel Foucault dalam Discipline and Punish, di mana tubuh manusia menjadi objek kontrol. Bukan lewat kekerasan fisik, melainkan melalui narasi yang merayap, membujuk, dan menormalisasi. Industri kecantikan adalah panopticon modern: kita diawasi bukan oleh penjaga, melainkan oleh cermin yang kita pegang sendiri, sebuah refleksi yang terus-menerus mengukur kita terhadap standar yang direkayasa.
Standar kecantikan perempuan sekarang./ Foto: iStock |
Supply-Demand Buatan dan Ekonomi Insekuritas
Industri kecantikan telah menyempurnakan seni menciptakan "kebutuhan" daripada sekadar menjual produk. Mereka tidak hanya memenuhi permintaan, tetapi secara aktif merekayasa permintaan itu sendiri. Salah satu strategi utamanya adalah menciptakan istilah-istilah pseudo-medis yang membangkitkan kecemasan kolektif.
Istilah seperti 'skin barrier damage' atau 'hyperpigmentation' (yang sebenarnya adalah kondisi dermatologis spesifik) dibajak menjadi jargon pemasaran untuk menjual produk pada konsumen dengan kulit normal. Padahal, menurut Journal of the American Academy of Dermatology (2021), 68% keluhan 'kulit kusam' tidak memiliki dasar medis menurut analisis terhadap 5,000 kasus konsultasi dermatologis.
Contoh paling nyata adalah penjualan serum "brightening" secara masif di negara-negara tropis. Padahal, pigmentasi kulit gelap, yang disebabkan oleh melanin, adalah adaptasi biologis terhadap paparan matahari yang intens-sebuah mekanisme pertahanan alami tubuh. Namun melalui konstruksi sosial yang kuat, kulit terang telah didoktrinisasi sebagai simbol "nilai" dan "kecantikan" yang lebih tinggi. Akibatnya, kulit kita sendiri dijadikan musuh yang harus dijinakkan, diubah, dan diputihkan.
Lebih lanjut, studi dari Journal of Clinical and Aesthetic Dermatology (2020) yang menguji 100 produk skincare di AS, mengindikasikan bahwa sekitar 61% produk mengandung bahan-bahan berisiko iritasi seperti paraben atau fragrance. Ini berarti, alih-alih memperbaiki kondisi kulit secara fundamental, produk tersebut justru dapat memicu masalah baru atau memperpanjang siklus penggunaan karena efek samping yang tidak diinginkan, dan menjadi trigger pembelian berulang.
Strategi fear-mongering juga digunakan secara efektif. Studi Harvard Business Review (2017) mengungkap 64% manajer secara tidak sadar mengasosiasikan penampilan 'terawat' dengan kompetensi profesional-dimana 'terawat' sering disamakan dengan penggunaan makeup di konteks pekerjaan. Ketakutan akan dampak negatif terhadap karier dan citra profesional ini kemudian dijual sebagai ancaman.
Ini adalah strategi yang canggih: kita dipaksa membeli kredibilitas dalam bentuk foundation dan concealer, menjadikan makeup bukan lagi pilihan estetika, melainkan sebuah bentuk investasi sosial dan profesional. Sebagaimana kampanye L'Oréal Paris dengan slogan "Because You're Worth It" yang menyasar insekuritas perempuan, strategi semacam ini terbukti efektif dalam menaikkan penjualan. Laporan tahunan L'Oréal (2023) menunjukkan pertumbuhan penjualan signifikan yang bisa dikaitkan dengan narasi yang kuat semacam ini.
Industri kecantikan sangat adaptif dan memahami bahwa perlawanan, atau gerakan-gerakan kritik, justru dapat diubah menjadi peluang pasar baru. Fenomena body positivity adalah contoh sempurna. Ketika Fenty Beauty meluncurkan 50 shades foundation, nilai pasar inclusive beauty langsung melonjak 27% (McKinsey, 2021). Ironisnya, ini justru memicu shade anxiety baru: 'Apakah nomor 3.25 terlalu pink untuk kulit netral saya?'-sebuah pertanyaan yang tak pernah ada sebelum inklusivitas jadi tren.
Ini tampak progresif, namun seperti yang dikatakan Naomi Wolf dalam The Beauty Myth, "Kami tidak menghancurkan standar kecantikan-kami hanya memperluasnya agar lebih banyak orang bisa merasa tidak cukup". Dengan memperluas rentang "ideal", industri memastikan lebih banyak orang tetap merasa ada sesuatu yang kurang pada diri mereka. Sementara itu, algoritma media sosial bekerja sebagai agen tak kasatmata yang memperkuat insecurity.
Seorang gadis berusia 14 tahun di Bandung, misalnya, melaporkan bahwa setelah hanya sekali mencari "hidung pesek" di TikTok, ia langsung dibanjiri 300 video tentang "nose job tutorial" di lini masanya. Media sosial, yang seharusnya menjadi ruang bebas berekspresi, justru seringkali bertransformasi menjadi cermin bengkok yang memperbesar kecemasan kecil menjadi obsesi besar. Polusi algoritma ini sesuai temuan Amnesty International dalam laporan Algorithmic Injustice (2023) yang menganalisis 15,000 akun remaja Asia Tenggara.
Alicia Keys, salah satu selebriti yang mencoba melawan arus dengan gerakan #NoMakeupMovement./ Foto: Getty Images |
Melawan Arus: Dari Konsumsi Menjadi Agen Kultural
Meskipun industri kecantikan begitu dominan, muncul gerakan perlawanan yang signifikan. Ambil contoh #NoMakeupMovement yang dipopulerkan selebriti seperti Alicia Keys. Ironisnya, gerakan ini terkadang justru berujung pada endorsement yang lebih besar, namun tetap menjadi titik balik penting dalam perdebatan ini.
Hal ini sejalan dengan pandangan Sandra Lee Bartky yang menulis bahwa tubuh perempuan diawasi dan didisiplinkan melalui norma kecantikan yang ketat. Dalam konteks ini, kecantikan bukanlah kebebasan, melainkan sebuah sistem kontrol-sebuah penjara yang dihias rapi dengan kosmetik dan iklan. Pernyataan ini mengajak kita untuk berpikir ulang mengenai makna kemerdekaan diri yang sesungguhnya.
Sementara itu, BPOM RI masih fokus pada keamanan bahan, sedangkan aspek dampak psikologis iklan kosmetik sama sekali tidak diatur. Padahal, UU Nomor 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 10 mengamanatkan iklan dilarang 'menimbulkan persepsi salah'. Pelabelan 'digital retouch' seperti di Perancis bisa jadi langkah awal.
Seperti tergambar dalam kritik Andrea Hirata terhadap standar sosial di Laskar Pelangi: 'Kita bukan kekurangan cerah, tapi kelebihan pabrik yang menjual bayangan'. Mari kita renungkan data penutup yang menohok. Berdasarkan riset Nielsen Indonesia (2023), belanja kecantikan di Indonesia mencapai sekitar Rp 105 triliun per tahun, atau setara dengan USD 6.7 miliar.
Angka ini jauh di atas asumsi awal USD 85 juta. Di sisi lain, riset Kemenkes RI (2022) menunjukkan bahwa 23,4% remaja perempuan Indonesia mengalami gangguan citra tubuh. Bandingkan dengan data global dari Global Wellness Institute (2023) mengenai gejala gangguan citra tubuh: Korelasi tinggi antara belanja kosmetik dan gangguan citra tubuh tidak serta-merta membuktikan hubungan sebab-akibat, namun mengonfirmasi pola industri yang memanen panik (panic harvesting).
Kecantikan bukanlah lipstick yang luntur oleh hujan, tapi keberanian meruntuhkan tembok panopticon Foucault: berhenti mengukur diri dengan kaca mata industri. Seperti diingatkan filsuf Jawa, 'Memayu hayuning bawana' merawat keindahan semesta dimulai dari menolak racun insekuritas yang dikemas dalam kemasan mewah.
Penulis: Andy Wijaya
Editori: Dian Rosalina
*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*
Ilustrasi skincare./ Foto: iStock
Standar kecantikan perempuan sekarang./ Foto: iStock
Alicia Keys, salah satu selebriti yang mencoba melawan arus dengan gerakan #NoMakeupMovement./ Foto: Getty Images