Terdengar bunyi telepon dan terlihat di layar ponsel tertera nama Adik saya muncul. Adik saya menelepon untuk menceritakan ketidaksukaannya terhadap mata pelajaran matematika, namun "dipaksa" untuk mengerti oleh guru nya dan hal ini dirasakan pula oleh teman-teman di sekolahnya.
Sudah semacam rahasia umum jika matematika salah satu pelajaran eksakta yang banyak tidak disukai oleh orang. Banyak dari kita merasa bingung saat dihadapkan dengan berbagai angka dan simbol, maka dari itu hanya segelintir orang yang menyukai pelajaran ini. Rasa enggan terhadap matematika sudah menjadi cerita lama di banyak negara, termasuk Indonesia.
Tapi mengapa hal ini begitu umum, apakah memang matematika diciptakan untuk membuat kepala kita pusing, atau justru kita yang tidak dibekali cara tepat untuk memahaminya?
Alasan Banyak Orang Sulit Menyukai Matematika
Salah satu alasan utamanya kenapa banyak orang termasuk adik saya tidak menyukai matematika, adalah sifat matematika yang abstrak dan penuh simbol. Tidak seperti pelajaran sejarah yang bercerita atau biologi yang bisa dilihat wujudnya, matematika lebih fokus pada angka, simbol, persamaan dan konsep yang tak selalu bisa divisualisasikan langsung.
Bagi pembelajar tipe auditori, memahami konsep tanpa dukungan visual atau pengalaman nyata seringkali menjadi tantangan besar. Selain itu, matematika bukanlah pelajaran yang bisa dikuasai secara instan, butuh paksaan kesabaran, latihan berulang dan ketekunan.
Untuk sebagian orang utamanya siswa hal ini terasa berat karena hasilnya tidak selalu langsung terlihat kadang lebih kompleks. Sementara di pelajaran lain kita bisa merasa mudah untuk mengerti dengan membaca atau mendengar penjelasan. Di matematika kita harus berhadapan melalui proses panjang sebelum menemukan konsep dengan tepat.
Cara kerja otak pun mempengaruhi, bagaimana kita menyelesaikan permasalahan yang ada di matematika. Menurut ahli neurosains, pemikir logis yang dominan otak kiri cenderung memproses informasi secara berurutan, sehingga lebih cepat menangkap konsep matematika.
Sebaliknya, pemikir kreatif yang dominan otak kanan lebih suka memandang sesuatu secara global sehingga waktu yang dibutuhkan lebih banyak untuk menyerap informasi. Perbedaan ini bisa membuat siswa atau orang yang lebih dominan memakai otak kanan merasa tertinggal saat pelajaran matematika.
Metode mengajar punya peran penting dalam membentuk rasa suka atau benci terhadap matematika. Kita bisa melihat negara Jepang yang sering disebut sebagai contoh negara yang berhasil dengan pendekatan untuk fokus pada pemahaman konsep secara mendalam. Jepang juga dikenal dengan metode "Kumon" yang menekankan pengulangan, hafalan, dan latihan terstruktur. Perpaduan pemahaman dan latihan inilah yang membantu siswa menguasai materi secara menyeluruh.
Di Amerika Serikat, reformasi pendidikan matematika sempat menekankan pemahaman konsep secara mendalam melalui Common Core Standards. Standar ini bertujuan agar siswa memiliki keseimbangan antara pemahaman konseptual, keterampilan prosedural dan kemampuan mengaplikasikannya. Lalu bagaimana dengan negara Indonesia, dalam pengajaran matematika metode pembelajarannya masih menghadapi tantangan?
Perubahan kurikulum yang terlalu sering membuat guru dan siswa sulit beradaptasi. A.Nur Ayu Ningsih memberikan pendapatnya, "Bahwa yang dibutuhkan dalam pengajaran matematika bukan sekedar kurikulum baru, tetapi cara mengajar yang kreatif, konsisten dan mampu membuat siswa merasa nyaman dengan angka," ujarnya.
Hasil survei internasional PISA (Programme for International Student Assessment) menunjukkan bahwa kemampuan matematika siswa Indonesia masih tertinggal. Skor matematika untuk negara Indonesia pada tahun 2022 hanya berada di angka 366 poin, menurun dibandingkan periode 2015-2018. Posisi ini pun menyebabkan negara Indonesia berada di peringkat ke-6 seluruh negara ASEAN, di bawah negara Filipina dan Kamboja.
Untuk mengatasi hal ini pun, pemerintah mulai mengkaji beberapa kebijakan, seperti mulai diarahkan pada perkenalan matematika sejak dini. Dikutip dari Detikcom, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, mengusulkan agar matematika diperkenalkan sejak tingkat taman kanak-kanak (TK), dengan harapan anak-anak tumbuh akrab dengan angka sebelum masuk SD.
Namun, tanpa metode pengajaran yang tepat, perkenalkan ini justru berisiko menambah beban mental pada anak.
Masalah Psikologis (Math Anxiety)
Kesulitan belajar matematika bukan hanya soal kemampuan, tapi juga soal emosi. Istilah "Kecemasan matematika" (math anxiety) digunakan untuk menggambarkan rasa takut atau gugup yang muncul saat berhadapan dengan tugas numerik.
Menurut Jameson, seorang peneliti di bidang ini, orang dengan kecemasan matematika sebenarnya tahu cara menghitung, tetapi karena rasa takutnya lebih dominan sehingga menguras energi kognitifnya dan akhirnya mereka kesulitan mengakses pengetahuan yang sudah dimiliki untuk memecahkan masalah tersebut.
Penelitian Sian Beilock, PhD, presiden Dartmouth, dan mantan mahasiswanya Ian Lyons, PhD, menemukan bahwa pada orang dengan kecemasan matematika tinggi, akan menyebabkan peningkatan aktivitas di daerah otak yang terkait dengan deteksi ancaman dan pengalaman rasa sakit. Tidak heran jika mereka menghindari matematika sebisa mungkin. Prevalensi kecemasan matematika bervariasi, tetapi data menunjukkan sekitar 20-25% anak-anak mengalami dalam tingkat sedang hingga tinggi.
Ironisnya, di saat banyak orang tidak menyukai dan menghindari matematika, era modern dengan berbagai teknologi canggihnya justru dibangun oleh bidang ini sebagai fundamentalnya. Seperti algoritma media sosial yang kita gunakan setiap hari, hingga untuk menilai fluktuasi pasar keuangan semuanya adalah hasil terapan matematika.
Perkembangan kecerdasan buatan (AI) memperlihatkan, betapa pentingnya kemampuan matematika. Pada 2024, dua model AI dari Google DeepMind meraih medali perak di Olimpiade Matematika Internasional. Para peneliti pun memprediksi, bahwa mereka dapat mulai mendelegasikan bagian-bagian yang membosankan dari pembuktian kepada AI dalam beberapa tahun ke depan. Mereka memiliki pandangan yang beragam tentang apakah AI akan dapat membuktikan konjektur-konjektur paling penting dan tidak mustahil bahwa aspek-aspek kreatif dari usaha matematika suatu hari nanti dapat diotomatisasi.
Selain itu yang tidak kalah penting, ilmu data dan machine learning, dua bidang yang paling dicari di dunia kerja saat ini tidak bisa lepas dari matematika. Representasi data, transformasi dan optimasi algoritma semuanya berakar pada konsep matematika. Tanpa itu semua kemajuan teknologi akan berjalan jauh lebih lambat daripada saat ini.
Mengubah Cara Pandang Matematika
Sebenarnya ada beberapa cara yang bisa dilakukan, dalam mengubah cara pandang terhadap matematika, sehingga mata pelajaraneksakta yang sulit ini, bisa menjadi lebih mudah untuk dimengerti oleh siswa maupun orang yang ingin belajar matematika secara mendalam.
- Pengajaran yang Relevan dan Kontekstual
Matematika akan terasa lebih mudah jika dikaitkan dengan masalah nyata, seperti menghitung keuangan pribadi secara sederhana, merencanakan perjalanan atau menganalisis tren media sosial. - Mengatasi Kecemasan Sejak Dini
Guru dan rang tua perlu mengenali tanda-tanda math anxiety dan membantu anak menghadapi matematika melalui pendekatan positif, bukan hukuman atau tekanan. - Kombinasi pemahaman dan latihan
Metode seperti di Jepang menghubungkan konsep mendalam dengan latihan terstruktur, hal tersebut bisa menjadi inspirasi para guru dalam pengajaran matematika pada siswanya. - Memanfaatkan Teknologi Sebagai Tema Belajar
Game edukasi, simulasi interaktif dan aplikasi latihan berbasis AI dapat membuat matematika terasa lebih menyenangkan dan personal.
Pada akhirnya, bidang matematika bukan sekadar angka, matematika merupakan bahasa dalam memahami sebuah pola untuk memecahkan masalah mulai dari hal sederhana seperti menghitung belanjaan di pasar, hingga yang kompleks seperti memprediksi perubahan iklim atau bahkan navigasi satelit.
Lebih dari itu, matematika menjadi fondasi bagi hampir seluruh kemajuan teknologi modern saat ini, kecerdasan buatan, komputasi kuantum, rekayasa genetika bahkan algoritma media sosial, itu semua berdiri dan ada karena rumus, logika serta pola bidang ilmu matematika.
Berani untuk tidak membenci matematika lagi?
Penulis: Ayu Puspita Lestari
Editor: Dian Rosalina
*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*