Insight | General Knowledge

Asa Humanis Menjaga Sang Pertiwi Melalui Hashtag #ResetIndonesia

Senin, 15 Sep 2025 18:00 WIB
Asa Humanis Menjaga Sang Pertiwi Melalui Hashtag #ResetIndonesia
Banner 17+8 Tuntutan Rakyat. Foto: bijakmemantau.id
Jakarta -

Beberapa waktu ke belakang, lini masa media sosial penuh dengan tagar #ResetIndonesia. Seruan ini pertama kali diunggah oleh beberapa figur publik, yang kemudian diunggah ulang oleh sejumlah aktivis dan khalayak luas. Bergaungnya tagar #ResetIndonesia ini merupakan respon atas dinamika yang tengah terjadi di tatanan sosial-politik dalam negeri. Di mana, kepercayaan publik terhadap wakil rakyat, aparat, dan lembaga hukum kian terkikis akibat berbagai kebijakan yang dinilai lebih berpihak pada segelintir golongan daripada rakyat.

Kata reset, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti "set ulang". Kata ini menjadi sebuah dorongan agar pemerintah benar-benar menata ulang kebijakan yang selama ini dirasa jauh dari kepentingan rakyat. Tagar ini pun menggema sebagai lambang solidaritas terhadap aksi massa, baik di jalanan maupun di ruang digital.

Sama halnya dengan perjuangan para pahlawan melawan penjajah di masa lampau, semangat yang ditangkap melalui #ResetIndonesia ini juga ditujukan masyarakat luas sebagai satu perlawanan. Yakni, ingin mengatur ulang Indonesia agar terbebas dari penindas rakyat, juga mendapat kehidupan yang lebih adil, sejahtera, aman, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan seperti yang dijanjikan Pancasila.

Memanusiakan 'Manusia'

Untuk memahami makna dari hashtag #ResetIndonesia, mari melihatnya dari lensa humanisme. Menurut KBBI, humanisme adalah aliran pemikiran yang menekankan pentingnya rasa kemanusiaan dan mencita-citakan pergaulan hidup yang lebih baik. Humanisme menganggap manusia sebagai subjek utama kehidupan, bukan sekadar angka dalam data dan bukan objek kebijakan yang bisa diperlakukan sesuka hati. Sedangkan seorang humanis ialah mereka yang memperjuangkan harkat manusia.

Humanisme hadir ketika kita menolak diskriminasi, membela keadilan, dan mengedepankan solidaritas. Jika ditarik ke konteks #ResetIndonesia, suara-suara yang bergema di jalanan maupun media sosial pada dasarnya adalah praktik humanisme. Rakyat—yang semula tak saling kenal—bersolidaritas, tanpa melihat latar belakang status sosial, merepresentasikan Bhinneka Tunggal Ika dengan tujuan yang sama: menuntut pemerintah agar kebijakan-kebijakan yang diputuskan lebih berpihak pada rakyat.

Hal ini juga bentuk paling nyata dari semangat memanusiakan 'manusia', menegaskan kembali bahwa pembangunan negara ini adalah tentang bagaimana rakyat bisa hidup tanpa merasa terpinggirkan di tempat kelahirannya.

Esensi Menjaga Sang Pertiwi

Kesatuan Indonesia telah diperjuangkan dengan susah payah oleh para pendahulu. Sehingga, tugas kita saat ini, sebagai generasi penerus, adalah menjaga tanah air dengan sebaik-baiknya. Hashtag #ResetIndonesia pada dasarnya panggilan untuk kembali kepada nilai-nilai dasar bangsa, yaitu keadilan sosial, gotong royong, solidaritas, dan empati, melalui kebijakan yang harus di-reset dan lebih fokus pada kebutuhan seluruh masyarakat, bukan golongan tertentu.

Bersamaan dengan hashtag #ResetIndonesia, ada beberapa tuntutan yang harus dipenuhi oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dan pada tanggal 5 kemarin tepat deadline tuntutan tersebut. Beberapa tuntutan tersebut sudah (coba) dipenuhi, di antaranya: Mempublikasikan transparansi anggaran yang menjadi fasilitas anggota DPR; Memeriksa anggota yang melecehkan aspirasi rakyat; Membekukan kenaikan gaji/tunjangan anggota DPR dan membatalkan fasilitas baru.

Sementara lain, pokok dari 17+8 Tuntutan rakyat yang telah dilayangkan terhadap pemerintah masih ditindaklanjuti dan wajib dipantau bersama, salah satunya dengan mengakses laman https://bijakmemantau.id/tuntutan-178.

Walaupun dari semua tuntutan baru tiga yang terpenuhi dan sisanya masih dalam proses dan bahkan belum dilakukan, hal ini sudah cukup membuktikan bahwa suara rakyat yang bersatu dapat mengoyahkan kekuasaan.

Untuk itu, penting bagi kita, sesama rakyat, untuk bersikap dengan mengedepankan rasa humanis. Selain penting, untuk menjadi tuntunan kita dalam bersikap, humanisme juga dapat menjadi senjata ampuh sekaligus penyadar para pejabat, bahwa tugas utama mereka adalah untuk melayani rakyat. Tugas mereka dalam meramu kebijakan pada dasarnya untuk memanusiakan 'manusia'. Dan, kita sebagai pemilik kedaulatan tertinggi juga harus berlaku humanis dalam jika ingin mencapai itu semua.

Jika semangat ini terus dirawat, bukan tidak mungkin kita bisa mewujudkan Indonesia yang lebih damai, adil, dan sejahtera, di mana warganya pun merasa dihargai, tidak ada perbedaan dalam perlakuan, tidak ada alasan perpecahan karena ras maupun agama.

Indonesia adalah rumah kita bersama. Rumah akan kokoh jika penjaganya memberikan kasih dengan humanisme dan keberanian. Oleh sebab itu, mari kita serukan #ResetIndonesia dengan saling menjaga. Warga harus saling menjaga warga, agar kebaikan untuk negeri ini bisa kita kawal sampai jadi kenyataan.

Penulis: Ayyu Puspitta*

(*)Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.

(ktr/RIA)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS