Polisi tidak pernah salah. Empat kata itu bukan sarkasme, tetapi narasi resmi yang selalu kita dengar. Tidak peduli seberapa jelas rekaman video yang beredar, seberapa kuat kesaksian warga, atau seberapa parah luka yang ditinggalkan, pengakuan bahwa polisi melakukan kekerasan eksesif (excessive force) tidak pernah muncul, kecuali publik melakukan tekanan besar-besaran. Gelombang demonstrasi sejak akhir Agustus sampai awal September kemarin memperlihatkan dengan gamblang hal tersebut.
Sampai tulisan ini dibuat, sepuluh orang dinyatakan meninggal dunia dalam demonstrasi di berbagai kota, sebagian di antaranya diduga kuat: akibat dianiaya polisi. Penggunaan frasa "diduga kuat" oleh lembaga-lembaga sipil sesungguhnya hanyalah formalitas hukum. Sebab kita tahu, bahkan mungkin menyaksikan langsung, bahwa tak ada aktor lain yang memiliki persenjataan dan infrastruktur untuk melakukan kekerasan eksesif selain polisi—dan tentara.
Apabila polisi masih bisa mengelak bahwa mendiang Affan Kurniawan "tidak sengaja" dilindas kendaraan taktis (rantis) Brimob—meski videonya jelas-jelas memperlihatkan tak ada upaya dari pengemudi untuk menghentikan laju rantis—maka kasus meninggalnya Rheza Sandy Pratama akan sulit dibantah. Video yang beredar memperlihatkan tubuh mahasiswa Amikom Yogyakarta yang penuh luka lebam itu digotong-gotong oleh polisi.
"Yang sini (leher kiri) kayak patah, pas dikuncir kepala (yang dislokasi) juga harus di-krek (dikembalikan) sama yang di sana. Cuma yang paling kelihatan kan bekas-bekas sepatu PDL itu sini (perut bagian kanan), sama bekas sayatan-sayatan (memar pukulan). Sayatan kayak bekas digebuk," ungkap Yoyon, ayahanda Rheza, seakan mengonfirmasi video tersebut.
BEM dan pihak Rektorat Amikom Yogyakarta menginginkan segera dilakukan investigasi atas kasus ini. Investigasi belum dilakukan, tapi Kapolda DIY Irjen Anggoro Sukartono cepat-cepat membantah bahwa pihaknya melakukan penganiayaan. Anggota Polda DIY, menurut Anggoro, justru menyelamatkan Rheza dan mengevakuasinya ke RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta.
Bantahan yang sama juga muncul dalam kasus meninggalnya Iko Juliant Junior, mahasiswa Universitas Negeri Semarang (Unnes), usai mengikuti demonstrasi di Mapolda Jateng. Polda Jateng menyatakan Iko meninggal akibat kecelakaan lalu lintas. Namun, pihak keluarga dan pendamping hukum menemukan fakta yang berbeda: luka di tubuh Iko diduga disebabkan hantaman benda tumpul. Fakta ini selaras dengan pengakuan saksi mata yang melihat Iko dilempar benda tumpul hingga terjatuh dari motor ketika tengah melintasi area Mapolda Jateng.
Manipulasi fakta tidak hanya terjadi dalam kasus yang membutuhkan personel dalam jumlah besar seperti demonstrasi. Masih segar di ingatan kita bagaimana polisi memanipulasi penyebab meninggalnya Gamma, siswa SMKN 4 Semarang. Polisi mengklaim Gamma terlibat tawuran dan terpaksa ditembak karena hendak menyerang seorang anggota polisi. Polisi bahkan sudah memamerkan ke publik senjata-senjata tawuran yang digunakan Gamma.
Pihak keluarga dan teman sekolah Gamma membantah keras tuduhan tersebut. Mereka bersaksi bahwa Gamma tidak pernah terlibat tawuran. Ketika rekaman CCTV akhirnya diungkap pihak keluarga, publik mendapati kenyataan yang sama sekali lain dari keterangan polisi. Rekaman itu jelas memperlihatkan Gamma tidak menyerang polisi. Sebaliknya, rekaman tersebut menguatkan dugaan bahwa Gamma tewas terbunuh akibat tindakan polisi.
Kekerasan eksesif dan pembenaran demi pembenaran ini membuat kita sebagai warga sipil hidup dalam rasa was-was dan terintimidasi, alih-alih merasa aman dan terayomi. Namun, apa yang kita saksikan dan alami ini hanyalah puncak dari gunung es dari masalah struktural yang jauh lebih serius.
Jalan Terjal Menuju Reformasi Kepolisian
Sejak dipisahkan dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) sesuai amanat reformasi, institusi kepolisian belum menjadi institusi yang profesional, transparan, dan berorientasi pada perlindungan warga negara. Watak militeristik yang diwariskan ABRI belum berubah secara signifikan. Masyarakat masih diposisikan sebagai ancaman yang harus dikendalikan, bukan warga negara yang hak-haknya harus dilindungi.
Siapapun pernah mengalami, setidaknya satu pengalaman buruk, ketika berhadapan dengan polisi dalam keseharian. Entah untuk melaporkan barang hilang, pelecehan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, atau sekadar mengurus administrasi. Dalam kasus pelecehan seksual, misalnya, tidak sedikit korban yang mundur dari proses hukum karena justru dipersalahkan atau dipermalukan ketika membuat laporan.
Istilah "oknum" sangat tidak tepat untuk menggambarkan masalah struktural yang ada di tubuh kepolisian ini. Istilah ini digunakan untuk mengisolasi tindakan buruk seolah hanya dilakukan oleh individu tertentu, padahal kekerasan dan penyalahgunaan wewenang terjadi dari pimpinan hingga anggota terbawah.
Sepanjang Juli 2024 hingga Juni 2025 saja, KontraS mencatat terjadi 602 kasus kekerasan yang dilakukan anggota polisi. Dari jumlah tersebut, terdapat 38 kasus penyiksaan yang mengakibatkan 10 orang meninggal dunia dan 76 lainnya luka ringan hingga berat. Tidak berhenti di situ, praktik pembunuhan di luar hukum (extrajudicial killing) juga masih marak, dengan 37 kasus yang merenggut nyawa 40 orang.
Impunitas adalah salah satu penyebab mengapa hal ini terus berulang. Nyaris mustahil kita menemukan polisi yang dihukum setimpal karena melakukan pelanggaran atau kekerasan terhadap warga sipil.
Selain impunitas, yang tidak bisa diabaikan adalah penggiringan kepolisian ke dalam politik praktis. Dalam banyak kasus, polisi lebih sering tampil sebagai alat kekuasaan dibandingkan pelindung masyarakat. Kondisi ini berimplikasi ganda. Pertama, masyarakat semakin kehilangan kepercayaan terhadap institusi kepolisian. Kedua, setiap upaya untuk mendorong perubahan struktural mudah dipatahkan oleh intervensi politik.
Untuk merombak kondisi ini secara besar-besaran, koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian (Koalisi RFP) setidaknya menyebut 9 masalah yang ada di tubuh kepolisian. Tiga di antaranya adalah sistem pendidikan yang menghasilkan budaya kekerasan, militeristik, tidak adil gender, dan koruptif; sistem kepegawaian yang meliputi perekrutan, mutasi, promosi yang tidak berbasiskan meritokrasi; dan buruknya komitmen terhadap penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM serta nilai-nilai demokrasi, kesetaraan, dan inklusivitas.
Setelah mendapat desakan kuat dari publik, Presiden Prabowo menyetujui pembentukan Tim Reformasi Kepolisian usai bertemu Gerakan Nurani Bangsa (GNB) di Istana Kepresidenan pada Kamis (11/9). Siapa saja anggotanya dan apa saja poin reformasi yang diajukan, tidak ada yang tahu pasti, kecuali bocoran yang disampaikan Mensesneg Prasetyo Hadi (23/9) bahwa akan ada 9 nama di tim bentukan pemerintah. Namun yang jelas, masyarakat sipil masih skeptis bahwa apabila tim ini sebagian besar diisi oleh elit politik, pensiunan jenderal, atau kolega presiden, maka tim ini tak lebih dari sekadar gimmick.
Meski gagasan reformasi kepolisian masih menjadi arus utama dalam wacana publik di Indonesia, sebenarnya ada satu gagasan lain yang perlahan tapi pasti mulai mengemuka: abolisi.
Reformasi atau Abolisi?
Reformasi berangkat dari asumsi bahwa keberadaan kepolisian tidak tergantikan untuk menjaga ketertiban dan keamanan publik. Pendukung gagasan reformasi berargumen bahwa yang dibutuhkan adalah perbaikan dan penyempurnaan internal. Dengan kata lain, reformasi berusaha menyembuhkan penyakit dari dalam tubuh kepolisian itu sendiri.
Sebaliknya, pandangan abolisi (penghapusan) berangkat dari kritik yang lebih radikal bahwa kepolisian memang didesain sejak awal untuk melanggengkan kekuasaan dan menekan masyarakat. Dalam perspektif abolisionis, masalah kepolisian justru terletak pada fungsi dan karakter dasar institusinya.
Gerakan abolisionis sebenarnya bukan hal baru. Dalam sejarahnya, khususnya di Amerika Serikat, gerakan abolisionis lahir dari kesadaran bahwa perbudakan bukan sekadar praktik moral yang keliru, tetapi sistem sosial-ekonomi yang dibangun untuk melanggengkan ketidaksetaraan dan eksploitasi manusia. Dari sini, abolisionisme kemudian berkembang melampaui isu perbudakan.
Angela Davis, seorang aktivis dan feminis kulit hitam, dalam Are Prisons Obsolete? (2003) menyebut bahwa penjara dan polisi adalah bagian dari masalah sosial karena menciptakan lingkaran kekerasan dan eksklusi. Keduanya juga melanggengkan rasisme dan kekerasan terhadap orang kulit hitam, hispanik, dan penduduk asli Amerika.
Pandangan ini senada dengan Garrett Felber, seorang sejarawan dan aktivis, yang menulis bahwa keduanya terkunci dalam hubungan saling tergantung yang dimaksudkan untuk melayani kepentingan kapital, bukan melindungi masyarakat.
Jika nanti reformasi kepolisian terbukti tidak mengubah segala masalah struktural yang ada, maka mungkin sudah saatnya masyarakat sipil mempertimbangkan dan mendiskusikan gagasan ini sebagai wacana akademis yang perlu dikaji lebih dalam.
Penulis: Arlandy Ghiffary
(*) Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.
(ktr/RIA)