Di antara gegap gempita digitalisasi dan ekspektasi tentang masa depan yang terdengar merata, ada satu pertanyaan yang tak kunjung usang, yaitu masihkah mungkin Gen Z dari kelas bawah untuk menembus kelas sosial yang lebih tinggi? Dalam proyeksi layar smartphone dan narasi inspiratif yang dibagikan setiap hari, tersembunyi realita getir tentang bagaimana mobilitas sosial tak lagi semudah atau seindah yang dibayangkan.
Generasi Z-generasi yang umumnya tumbuh dengan mencengkram internet dan terbiasa dengan ruang-ruang virtual-sejenak tampak seperti kelompok yang paling siap menghadapi dunia modern. Paham teknologi, gesit mencari peluang, dan punya kesadaran kritis lebih tinggi terhadap isu-isu sosial. Namun, di balik segala keunggulan itu, generasi ini juga terjebak dalam realitas ekonomi yang jauh lebih kompleks dibandingkan generasi sebelumnya.
Mimpi yang Mahal
Bagi mereka yang lahir dari keluarga menengah ke bawah, perjalanan menembus batas kelas sosial tidak sesederhana perihal rajin sekolah, punya gelar, atau rajin bekerja. Di negara dengan ketimpangan sosial yang terasa terjadi seperti Indonesia, pendidikan tidak serta merta menjadi eskalator yang akan mengantar seseorang di posisi bawah untuk naik ke lantai berikutnya.
Biaya kuliah melonjak, akses ke kampus unggulan masih didominasi oleh mereka yang berasal dari keluarga mapan dan gelar pun belum tentu berbanding lurus dengan lapangan kerja yang layak. Akibatnya, banyak anak muda dari 'akar rumput' yang sudah lulus kuliah tetap kembali ke titik awal, yaitu menganggur atau bekerja jauh dari bidang yang mereka pelajari.
Meskipun sejatinya pendidikan tidak diciptakan sebagai jalan pintas untuk mendapatkan pekerjaan, tetapi paling tidak dapat mempermudah dalam memperolehnya. Biaya pendidikan hingga ke perguruan tinggi yang mahal tidak sebanding dengan feedback yang didapatkan secara ekonomi. Itulah yang dirasakan Gen Z saat ini.
Menurut data yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada awal 2025, jumlah penduduk miskin di Indonesia tercatat mencapai 24,06 juta jiwa. Meski laporan tersebut tidak merinci rentang usia penduduk miskin secara spesifik, tetapi kita tidak bisa menutup mata bahwa ada bagian dari mereka pasti berasal dari kalangan muda, termasuk Gen Z. Angka tersebut bukan sekadar statistik, melainkan lanskap sosial tempat banyak orang tumbuh dan berjuang.
Di balik angka itu, tersembunyi realitas tentang anak-anak muda dari keluarga miskin yang harus mendaki 'bukit curam' hanya untuk mencapai garis awal kehidupan yang layak. Mereka tidak hanya berkompetisi dengan sesama generasi, tapi juga melawan beban struktural yang diwariskan.
Mobilitas sosial merupakan perpindahan kelas oleh seseorang atau sekelompok ke kelas yang lebih tinggi (upward monility) atau lebih rendah (downward mobility), mobilitas sosial tidak hanya berpindah secara vertikal, tetapi juga horizontal. Artinya, peluang untuk bergerak terbuka bagi siapa saja. Namun, dalam praktiknya, gerak itu tidak bebas nilai.
Bagi Gen Z yang tumbuh dari 'akar rumput', pertanyaan mendasarnya bukan sekadar apakah mobilitas sosial itu mungkin, tetapi mobilitas macam apa yang masih tersedia bagi mereka? Dalam konteks ini, mimpi mobilitas sosial dari akar rumput bukanlah kemewahan, melainkan perjuangan sehari-hari agar hidup tidak terus terjebak dalam lingkaran kemiskinan yang turun-temurun.
Ilustrasi jadi yang paling produktif demi terpilih naik kelas sosial./ Foto: Freepik |
Produktif demi Bertahan
In this economy yang semakin fleksibel tapi rapuh, Gen Z dari 'akar rumput' kerap kali terperangkap dalam kondisi ekonomi yang tak memberi jaminan. Mereka menjadi kurir, pekerja lepas, atau konten kreator dadakan, hanya demi mempertahankan hidup.
Mobilitas sosial yang dulu diperjuangkan lewat stabilitas dan jenjang karier kini digantikan oleh proyek-proyek pendek yang tak selalu berkelanjutan, tetapi dipaksakan cukup untuk sekadar hidup. Ada penghasilan, tapi tak ada kepastian. Ada kerja keras, tapi tak ada kemajuan struktural yang nyata.
Di sisi lain, media sosial telah menjadi panggung utama untuk menampilkan kesuksesan. Namun sayangnya, panggung ini tidak netral. Mereka yang punya modal sosial dan ekonomi dari awal lebih mudah membangun personal branding.
Mengakses pelatihan eksklusif dan membentuk jaringan strategis. Sementara mereka yang tumbuh dari akar rumput harus berpacu dalam ketertinggalan, bukan karena kurang cerdas, tapi karena tidak cukup punya waktu atau biaya untuk feeding ego
Tak jarang pula Gen Z dari kalangan bawah harus membagi waktu antara kuliah dengan bekerja paruh waktu, membantu orang tua, bahkan menunda cita-cita karena realitas ekonomi keluarga yang menuntut untuk segera produktif. Mereka berjuang bukan untuk impian besar, tapi untuk sekadar tidak menyusahkan.
Dalam dunia yang terus mendambakan pencapaian, banyak dari mereka justru belajar untuk mengecilkan harapan agar tidak sakit hati oleh kenyataan. Namun, bukan berarti mereka menyerah.
Di balik segala keterbatasan, Gen Z dari 'akar rumput' menunjukkan daya lenting yang luar biasa. Mereka membuat komunitas belajar gratis untuk mengedukasi sesama, ada yang membuka usaha mikro dengan modal minim, atau merintis karier di dunia digital meski tanpa mentor.
Mereka mencoba menulis ulang skrip hidup mereka sendiri. Tidak sedikit yang perlahan naik, bukan karena sistem mempermudah, tapi karena mereka menemukan celah di antara ketimpangan.
Koneksi vs Kompetensi
Di sinilah peran negara, institusi pendidikan, dan ekosistem sosial sangat menentukan. Mobilitas sosial bukan hanya soal kemauan individu, tetapi hasil dari struktur yang berpihak atau abai.
Ketika akses pendidikan berkualitas tetap menjadi privilege, ketika biaya kursus skill digital masih mahal, dan ketika koneksi lebih menentukan daripada kompetensi, maka mimpi mobilitas sosial akan tetap menjadi milik segelintir.
Kita sering menyalahkan generasi muda karena terlalu fleksibel, terlalu ambisius, atau parahnya terlalu cepat menyerah. Namun, pernahkah kita benar-benar melihat dari mana mereka memulai? Berapa banyak yang mampu naik tangga, dan berapa banyak yang harus membuat tangga sendiri dari reruntuhan impian keluarga mereka?
Barangkali yang harus kita ubah bukan sekadar cara Gen Z berjuang, tetapi cara kita memaknai kemajuan dan keadilan sosial. Sebab ketika peluang hanya terbuka bagi mereka yang sudah punya kunci, maka keberhasilan tak lagi mencerminkan kerja keras, melainkan keberuntungan yang diwariskan.
Lalu, jika hari ini Gen Z dari 'akar rumput' mulai mempertanyakan: dunia ini bisa pantas untuk siapa saja?, maka mungkin kita sedang berada di titik genting. Bukan karena mereka putus asa, tapi lelah sebab hasil yang mengkhianati jerih payah.
Penulis: Muhammad Fauzan Mubarak
*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*
(ktr/DIR)
Ilustrasi jadi yang paling produktif demi terpilih naik kelas sosial./ Foto: Freepik