Insight | General Knowledge

Budaya Komentar di Tengah Minimnya Budaya Membaca

Selasa, 25 Jan 2022 12:00 WIB
Budaya Komentar di Tengah Minimnya Budaya Membaca
Foto: Charles Deluvio/Unsplash
Jakarta -

Berdasarkan data dari We Are Social, pengguna internet di Indonesia saat memasuki 2021 mencapai 202 juta atau sekitar 73% dari total populasi. Pemakai media sosial pada Januari 2021 sudah mencapai 170 juta orang. Indonesia akan menjadi negara dengan pengguna aktif smartphone terbesar keempat di dunia setelah Cina, India, dan Amerika. Di tengah perkembangan dunia digital yang pesat, netizen Indonesia semakin menjadi reaktif dalam menyampaikan pendapat dan mempergunakan hak berpendapat mereka di sosial media.

Kebebasan berpendapat-salah satunya berkomentar di sosial media-memang merupakan hak kita sebagai warga negara. Hak ini pun dijamin di Indonesia salah satunya tertulis pada pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Ironisnya, hal ini tidak didukung dengan kondisi literasi yang mendukung.

Literasi baca-tulis bangsa Indonesia sangat mengkhawatirkan. Hal ini dibuktikan oleh beberapa data seperti nilai kompetensi membaca Indonesia yang berada di peringkat 72 dari 77 negara dalam The OECD Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2018. Adapun menurut penemuan UNESCO di tahun 2011, hanya 1 dari 1000 orang di Indonesia yang memiliki minat baca.

Fakta ini mengantar perhatian kita kepada laporan tahunan terbaru Microsoft yang antara lain mengukur tingkat kesopanan netizen menunjukkan bahwa netizen Indonesia ada di urutan 29 dari 32 negara yang artinya netizen Indonesia cenderung tidak sopan dan reaktif. Hal ini menunjukkan salah satu indikasi bahwa celaka jika tingginya arus berkomentar di sosial media tidak diimbangi dengan budaya membaca dan tingkat literasi yang baik, sehingga dapat berdampak pada kualitas berkomentar yang bisa memantik provokasi, hoaks, dan hate speech.

Meski minat baca buku rendah, data We Are Social per Januari 2017 mengungkap orang Indonesia bisa menatap layar gadget kurang lebih 9 jam sehari. Tidak heran jika laporan hasil riset Semiocast menunjukkan bahwa Indonesia berada di urutan ke-5 dunia dalam hal keaktifan berkomentar di media sosial. Tidak terbayang jika kita terbiasa menatap layar gadget secara intens, ditambah rajin berkomentar, tapi tidak suka membaca.

Dari situlah akar mengapa Indonesia menjadi target provokasi, hoaks, dan fitnah. Kecepatan jari netizen Indonesia untuk membagikan informasi juga tidak diragukan lagi. Sering kali membagikan informasi yang masih simpang siur ataupun bernada memecah-belah dengan cepat tanpa benar-benar membacanya secara utuh.

Ditambah lagi, kita hidup di era post-truth. Dikutip dari website Kominfo, Post-truth ini didefinisikan sebagai sesuatu yang "berkaitan dengan atau merujuk kepada keadaan di mana fakta-fakta objektif kurang berpengaruh dalam pembentukan opini publik dibandingkan emosi dan keyakinan pribadi." Banyak orang yang mencari afirmasi serta dukungan atas keyakinan yang dimilikinya, mengabaikan kebenaran dan fakta.

Mengapa budaya baca penting?

Dengan rajin membaca dan menulis, kita merangsang dan menumbuhkan kemampuan berpikir kritis (critical thinking). Seseorang yang dapat berpikir kritis mampu mengumpulkan informasi dengan baik dan tahu bagaimana menggunakan informasi tersebut untuk menyimpulkan fakta dan hasil penting. Berpikir kritis melibatkan konseptualisasi informasi, menerapkan serta menganalisis informasi, dan mensintesisnya sebelum membuat evaluasi akhir. Setelah semua ini, kesimpulan logis dapat dibuat.

Kemampuan berpikir kritis membuat kita dapat mengkurasi dan memfilter informasi yang kita dapat di sosial media, tidak menelannya secara mentah-mentah, sehingga kita dapat memikirkan dengan matang serta mengontrol apa yang akan kita tuliskan di sosial media. Bila pembaca tidak kritis, maka akan mudah terprovokasi. Apalagi dengan semakin banyaknya akun dan portal berita yang menyebarkan hoaks.

Indonesia butuh meningkatkan budaya baca untuk salah satunya menumbuhkan kemampuan berpikir kritis. Dengan begitu, kita dapat menekan dampak negatif budaya komentar dan meningkatkan kualitas informasi yang kita dapat. Selain mendorong perbaikan budaya baca di tanah air, kita dapat mendorong agar pemerintah dapat mewujudkan edukasi berinternet yang sehat dan aman.

[Gambas:Audio CXO]



(SAS/HAL)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS