Insight | General Knowledge

Kontroversi Aturan Baru Pencairan Dana JHT

Rabu, 16 Feb 2022 12:00 WIB
Kontroversi Aturan Baru Pencairan Dana JHT
BPJS Ketenagakerjaan Foto: Shutterstock
Jakarta -

Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah merilis aturan baru perihal pencairan manfaat Jaminan Hari Tua atau JHT. Dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022 ini, peserta bisa mencairkan manfaat JHT ketika sudah masuk usia pensiun yaitu 56 tahun. Peraturan ini akan diberlakukan mulai 4 Mei mendatang.

Sontak, keputusan ini langsung mendapatkan kritik pedas dan respon negatif dari berbagai pihak, mulai dari kalangan pekerja, akademisi, hingga DPR. Hingga hari ini, telah ada 381.669 orang yang menandatangani petisi penolakan peraturan baru JHT di change.org. Mengapa peraturan ini menerima banyak penolakan?

Perubahan Skema Pencairan Dana

Pada dasarnya, Jaminan Hari Tua atau JHT memiliki fungsi seperti tabungan. Sama seperti skema jaminan sosial lainnya, iuran JHT dipotong dari gaji para pekerja. Oleh karenanya, manfaat JHT sebenarnya adalah uang pekerja, dan menjadi hak dari pekerja. Tujuan dari JHT adalah agar para pekerja memiliki tabungan setelah mereka pensiun, sehingga kehidupan mereka di masa tua tetap terjamin.

Selayaknya tabungan, uang yang telah disisihkan bisa dicairkan di masa-masa tertentu ketika peserta JHT membutuhkannya. Dalam peraturan yang lama, yaitu Permenaker Nomor 19 tahun 2015, dana JHT dapat dicairkan oleh pekerja yang berhenti bekerja, baik karena mengundurkan diri maupun karena terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Sedangkan dalam peraturan baru ini, pencairan saldo JHT secara penuh hanya dapat dilakukan saat peserta mencapai usia 56 tahun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia.

Selama ini, skema dana JHT yang bisa dicairkan sebelum pensiun dimanfaatkan oleh pekerja untuk beberapa kondisi. Misalnya, agar pekerja bisa bertahan hidup pasca di-PHK atau sebagai modal untuk memulai usaha baru ketika sudah mengundurkan diri. Keberadaan tabungan yang bisa menjadi dana darurat ini menjadi hal krusial, terlebih di masa pandemi ketika banyak pekerja kehilangan pekerjaannya. Ketika peraturan ini dicabut, pekerja yang berhenti dari pekerjaannya akan berada di posisi yang rentan tanpa adanya tabungan cadangan. Ini adalah kekhawatiran utama yang memicu penolakan dari banyak pihak.

.Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah/ Foto: Kemnaker via Detik

Celah dalam Peraturan Baru

Melansir Tempo, Kementerian Ketenagakerjaan berargumen bahwa keputusan akan peraturan baru ini diambil agar mengembalikan fungsi JHT sebagai dana pensiun. Pun menurut mereka, pemerintah sebentar lagi akan memberlakukan program JKP atau Jaminan Kehilangan Pekerjaan. Melalui program ini, pekerja tetap bisa mendapatkan manfaat ketika mereka kehilangan pekerjaan tanpa harus mengurangi dana pensiun mereka. Masalahnya, hal ini tak seindah dengan kondisi di lapangan.

Dikutip dari akun Twitternya, mahasiswa doktoral Sosiologi dari University of California San Diego, Zahra Amalia mengatakan, program JHT sebenarnya sangat penting untuk menjamin kesejahteraan pekerja di masa pensiun. Oleh karena sifatnya yang jangka panjang, sebenarnya tidak bermasalah apabila harus dicairkan di usia 56 tahun. Namun, ia mengatakan penolakan besar-besaran dari pekerja sangat wajar. Sebab, masih ada banyak ketidaksesuaian dan ketidakjelasan dalam program JKP. Misalnya, JKP hanya bisa diakses oleh pekerja di sektor formal yang perusahaannya sanggup memenuhi kewajiban ini.

Selain itu, JKP hanya berlaku apabila pekerja di-PHK dan tidak berlaku bagi pekerja yang mengundurkan diri. Dosen Hukum Ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada Nabiyla Risfa Izzati mengatakan, hal ini merupakan celah dalam peraturan JKP. Sebab pada kenyataannya, banyak pekerja yang di-PHK tapi diminta untuk menandatangani surat pengunduran diri oleh perusahaan.

.Ilustrasi pekerja/ Foto: Pixabay

Kemudian pekerja yang memiliki kontrak Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) juga terancam tidak bisa mendapatkan JKP, apabila sewaktu-waktu kontrak mereka tiba-tiba tidak diperpanjang. Ia juga menambahkan, celah ini diperparah dengan fakta di lapangan bahwa masih banyak perusahaan yang tidak membayar pesangon sesuai dengan ketentuan. Sehingga pekerja yang di-PHK pun tidak mendapatkan apa-apa.

Adanya peraturan baru ini mencerminkan minimnya sensitivitas Kementerian Ketenagakerjaan terhadap kondisi riil di lapangan. Asumsinya, peraturan ketenagakerjaan selama ini telah berfungsi dengan baik dan semua perusahaan telah memenuhi hak-hak karyawannya dalam memberi pesangon. Nyatanya, pekerja masih sangat bergantung terhadap dana JHT untuk menghadapi kondisi kerja yang tak pasti. Di samping itu, JKP sebagai program baru masih memiliki banyak celah. Pemerintah sebaiknya mengevaluasi peraturan ini dan tidak terburu-buru dalam menggodok kebijakan, sebab kesejahteraan pekerja yang menjadi taruhannya.

[Gambas:Audio CXO]

(ANL/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS