Ada yang Tembus Pasar Internasional! Ini Dia 13 Brand Eco-Fashion Asli dari Indonesia
Industri fashion global kerap disebut sebagai salah satu penyumbang limbah terbesar di dunia. Untuk menjawab persoalan ini, sejumlah perancang busana dari berbagai negara, termasuk Indonesia, mulai mengembangkan konsep eco-fashion—metode fesyen berkelanjutan—yang menggunakan material ramah lingkungan seperti sampah plastik yang didaur ulang atau bahan-bahan alami yang tidak merusak alam.
Dalam rentang satu dekade terakhir, sejumlah merek asal Indonesia pun muncul dengan konsep eco-fashion. Bukan cuma dipasarkan dalam skala lokal, sejumlah brand eco-fashion asli tanah air bahkan juga telah mencuri perhatian secara global dan sukses menembus pasar internasional. Berikut adalah 13 merek eco-fashion dari Indonesia yang patut diperhatikan, mulai dari pakaian, alas kaki, hingga aksesori.
1. Sejauh Mata Memandang
Didirikan oleh Chitra Subyakto pada 2014, Sejauh Mata Memandang mengusung konsep slow fashion. Koleksinya berupa kain, pakaian, hingga aksesori yang terinspirasi budaya Indonesia. Dalam produksinya, Sejauh Mata Memandang bekerja sama dengan perajin lokal dan menggunakan bahan ramah lingkungan seperti katun, linen, serta kain daur ulang dari sisa limbah produksi.
2. Sukkha Citta
Berawal dari pengalaman pribadi sang founder, Denica Riadini-Flesch, Sukkha Citta mencoba mengusung konsep Farm-to-Closet. Produk-produk Sukkha Citta dibuat dengan bahan alami tanpa mencemari lingkungan, melibatkan perajin dan petani lokal dari berbagai daerah seperti Jawa, Bali, hingga Flores. Selain menawarkan busana dengan sentuhan tradisi, Sukkha Citta menekankan dampak sosial melalui pemberdayaan komunitas.
3. Pijak Bumi
Bukan cuma di lini pakaian, konsep eco-fashion juga dimanfaatkan oleh Pijak Bumi, produsen sneakers lokal yang memperhatikan faktor berkelanjutan. Aktif sejak tahun 2016, koleksi mereka berasal dari bahan-bahan alami dan daur ulang seperti, karet, kulit samak nabati, eceng gondok, sampai kapas bekas. Pijak Bumi juga punya kiprah yang baik di mata dunia, karena selain sukses diekspor ke Swiss dan Jepang, brand ini turut berpartisipasi pada program Accelerate 2030 yang diinisiasi PBB, hingga meraih gelar Emerging Designer di pameran MICAM Milano 2020.
4. Sisabenang
Apabila limbah kain pabrik lebih sering berakhir jadi sampah, Sisabenang justru menyulapnya jadi produk berkualitas. Bekerja sama dengan ibu-ibu PKK di Pondok Kopi, Jakarta Timur, Sisabenang juga memperluas prinsip eco-fashion mereka lewat program lingkungan dengan kampanye: "Beli satu produk = tanam satu mangrove" di Demak, Jawa Tengah.
5. Pable
Patagonia Bale atau Pable yang berbasis di Surabaya berawal dari keresahan Aryenda Atma (Founder Pable) terhadap limbah pakaian. Dari sana, Pable berfokus pada pengolahan limbah tekstil agar kembali bernilai guna lewat ragam produk mereka, mulai dari tas, aksesori, taplak meja, karpet, hingga dekorasi rumah.
6. Kana Goods
Merek eco-fashion asal Yogyakarta yang didirikan seorang agrikultur bernama Sancaya Rini ini memproduksi batik tulis dan produk mode dengan teknik pewarnaan alami (natural Indigo Dye). Bukan hanya itu, seluruh koleksinya juga hanya memanfaatkan natural fabric, dan didesain dengan ukuran all size demi mengurangi pemborosan produksi.
7. Seratus Kapas
Berdiri sejak tahun 2015, Seratus Kapas fokus pada penggunaan kapas organik dan pewarna alami. Mengadopsi desain yang sederhana, bisa semua ukuran, dan tak lekang oleh waktu, merek eco-fashion satu ini juga aktif membagikan edukasi: perawatan pakaian yang berkelanjutan.
8. Canaan
Brand asal Bali ini tidak hanya berfokus pada pakaian tapi juga alat-alat rumah tangga dan kerajinan tangan. Pemilik Canaan, Emmelyn Gunawan ingin mewujudkan Canaan sebagai brand yang berkelanjutan, stylish dan etis. Canaan sendiri telah memiliki butik offline yang terletak di area Hotel Katamama, Seminyak, Bali.
9. IMAJI Studio
Menggabungkan budaya lokal, kesenian, dan material alami dalam karya mereka, IMAJI Studio dikenal dengan filosofi masyarakat Jepang: wabi-sabi, yang berarti 'keindahan dalam ketidaksempurnaan'. Tidak hanya berfokus pada produk, IMAJI studio juga berkolaborasi dengan Asia Pacific Rayon (APR) yang menyoroti kekayaan hayati Riau, hingga reworked fashion dengan desainer Wilsen Willim.
10. RIMMBA
Brand asal Bali ini mengambil nama RIMMBA yang berarti "hutan dalam", untuk mencerminkan aspirasi: menghubungkan orang dengan energi alam, sekaligus melestarikan tradisi pewarnaan dan kerajinan artisan. Demi mendukung misi keberlanjutan, RIMMBA juga menyediakan layanan perbaikan dan reparasi gratis untuk semua produk-produk mereka.
11. Topiku
Sejak 2015, Topiku mencoba hadir sebagai brand dengan konsep sustainable. Memproduksi snapback dan ragam headwear berbahan daur ulang seperti sisa kain pabrik garmen hingga plastik HDPE, Topiku memastikan produk ramah lingkungan mereka tampil stylish. Brand ini juga pernah dipercaya untuk berkolaborasi dengan perusahaan global sekaliber Google, IKEA, sampai The World Bank.
12. Indosole
Brand yang didirikan oleh Kyle Parsons, warga negara Amerika Serikat yang sudah menetap lama di Bali ini telah berkiprah selama dua dekade. Mengedepankan produksi sandal, Indosole yang memanfaatkan material upcycle ban bekas dan limbah karet telah mengekspor produk-produknya ke luar negeri.
13. Toton
Desainer Toton Januar bersama Haryo Balitar mendirikan merek ini pada 2012, dengan fokus fashion berkelanjutan, seraya upaya melestarikan budaya lokal dengan sentuhan modern. Karya-karya Toton sudah melalang buana hingga panggung mode mancanegara, termasuk tampil di Amazon Fashion Week Tokyo Fall-Winter 2025-2026, dan diberi ulasan langsung oleh media mode global: Vogue.
Keberadaan 13 merek eco-fashion dari tanah air ini menunjukkan bahwa kreativitas desainer lokal, yang sejalan dengan kepedulian lingkungan bisa bersatu padu, bahkan mampu bernilai jual selangit—menjelma busana mewah meski materialnya kebanyakan berasal dari bahan-bahan sisa.
Dengan dukungan kita, merek eco-fashion lokal bisa makin besar dan berdampak baik bagi banyak pihak. Mulai dari sisi lingkungan itu sendiri, maupun sektor kebudayaan dan ekonomi. Satu poros positif, yang bisa dimanfaatkan sebagai wahana promosi seni khas Indonesia, serta pengerek kantong ekonomi masyarakat secara lebih meluas, berkat proses pemberdayaan yang sehat.
Let's make eco-fashion not just a trend, but a lifestyle!
Penulis: Monika Wibisono Putri
(RIA/RIA)