Interest | Fashion

Eco-Fashion : Bergaya dengan Konsep Ramah Lingkungan

Rabu, 17 Sep 2025 10:00 WIB
Eco-Fashion : Bergaya dengan Konsep Ramah Lingkungan
Ilustrasi Eco-Fashion. Foto: Istimewa
-

Fenomena fast fashion memang mencukupi kebutuhan gaya. Tapi, model produksi dan konsumsinya justru disebut menyumbang masalah besar bagi lingkungan. Sesuai namanya, fast fashion adalah sebuah model bisnis busana yang memproduksi pakaian dengan sangat cepat, dalam skala masif, dan mengikuti tren musiman. 

Tren fast fashion, meski mencukupi kebutuhan dan permintaan dagang, pada satu titik malah menyisakan limbah berjumlah besar. Pola ini juga memiliki dampak yang kurang baik bagi lingkungan. Data dari TheRoundup.com, fast fashion mengonsumsi 20% air limbah global. Sementara material yang digunakan fast fashion seperti polyester, nilon, dan arkilik juga sulit didaur ulang. Tak hanya itu, Earth.org juga mencatat pemborosan dari fast fashion hingga mencapai 500 miliar dolar akibat pola konsumerisme: sekali pakai.

Pola kerja fast fashion buka hanya mengakibatkan masalah-masalah lingkungan, melainkan menaikkan isu eksploitasi tenaga kerja. Berdasarkan laporan dari The Guardian, beberapa industri ritel pakaian fast fashion yang berpabrik di sekitaran negara berkembang seperti India, ditemukan: memperkerjakan anak-anak dibawah usia 14 tahun. Alasannya memperkerjakan anak-anak karena upah yang murah, terutama di negara berkembang.

Oleh sebab itu, kebutuhan fashion yang tidak sehat ini lantas disambut beberapa jenama mode, yang mulai bergerilya. Mereka mencari solusi agar bumi, baik lingkungan maupun manusia, tidak dirugikan atas nama mode. Dikenal luas dengan istilah eco-fashion, pola ini mencoba memperhatikan keberlanjutan lingkungan serta tanggung jawab sosial dari suatu pakaian semenjak dirancang, diproduksi, hingga digunakan.

Prinsip Dasar Eco-fashion

Eco-fashion memiliki beberapa indikator. Empat prinsip di bawah ini merupakan contoh-contoh general yang biasanya ditemui pada produk-produk eco-fashion:

1. Memakai bahan yang ramah lingkungan
Bahan yang digunakan dalam eco-fashion merupakan bahan organik seperti linen dan katun organik. Bahkan bahannya juga dari limbah tekstil atau plastik yang bisa di daur ulang. Pewarna alami untuk kainnya juga menggunakan bahan minim kimia berbahaya. Jadi tidak merusak lingkungan.

2. Produksi menggunakan etika.
Tidak hanya memperhatikan lingkungan. Eco-fashion juga peduli dengan sosial sekitar. Termasuk memberdayakan pengrajin lokal dengan upah yang layak, kesejahteraan pekerja, melanggengkan tradisi tekstil dan pemberdayaan komunitas.

3. Desain yang dibuat berkelanjutan
Jika fast fashion mementingkan tren terkini dari produknya, eco-fashion lebih fokus kepada rancangan yang timeless; fleksibel, tidak dimakan oleh tren dan waktu. Selain itu, desain juga diciptakan agar dapat dipakai pada situasi berbeda.

4. Konsumsi sadar
Eco-fashion juga ingin mengajak pengguna pakaiannya mempertimbangkan dampak sosial, lingkungan, dan keberlanjutan. Mulai dari mengajak membeli pakaian seperlunya yang bisa fleksibel digunakan sehari-hari, merawat pakaian agar tahan lama, memperbaiki pakaian, hingga mendaur ulang pakaian.

Jenama Eco-Fashion Lokal

Industri fashion di Indonesia yang terus berkembang pesat juga tidak luput dari prinsip eco-fashion. Beberapa jenama lokal Indonesia, bahkan telah mengusung model ini sejak satu dekade yang lalu. Berikut adalah lima penggiat eco-fashion lokal yang mencuri perhatian:

1. Sejauh Mata Memandang
Salah satu jenama yang berfokus pada eco-fashion ialah Sejauh Mata Memandang. Didirikan oleh Chitra Subyakto tahun 2014 silam, Sejauh Memandang mengusung konsep slow fashion dan sirkularitas pada produk-produknya yang terinspirasi dari kekayaan budaya Indonesia.

Memproduksi kain, pakaian, aksesori, serta peralatan rumah tangga berkualitas yang dibuat melalui kolaborasi bersama para perajin di berbagai tempat di Indonesia, Sejauh Mata Memandang juga menggunakan material yang lebih ramah lingkungan seperti katun, linen, dan tencel, serta tekstil daur ulang yang terbuat dari limbah prakonsumsi serta pascaproduksi yang diproses menjadi bahan baru.

[Gambas:Instagram]

2.  Sukkha Citta
Denica Riadini-Flesch memulai Sukkha Citta usai mengalami pergulatan batin tentang kehidupan hingga definisi kesuksesan semasa bekerja di institusi perbankan dunia. Dari sana, Sukkha Citta mulai bergerak sebagai jenama berbasis berkelanjutan.

Melalui konsep Farm-to Closet, Sukkha Citta mewujudkan pakaian berkualitas dari hasil alam dan bertanggung jawab tidak mencemari lingkungan. Busana sarat tradisi yang dibuat Sukkha Citta lahir dari tangan "para ibu" pengrajin dan materialnya diperoleh langsung dari petani lokal di berbagai daerah. Bahkan, 56% hasil penjualan dari produk Sukkha Citta menjadi hak para pengrajin dan petani lokal.

[Gambas:Instagram]

3. Pijak Bumi
Tidak berhenti pada ranah busana, jenama lokal yang mengedepankan unsur eco-fashion juga mengisi lini sneakers. Bergerak sejak tahun 2016, Pijak Bumi konsisten menghasilkan sepatu berbahan dasar karet alam, kulit samak nabati (vegetable-tanned leather), tenun eceng gondok, hingga serat kapas daur ulang.

Salah satu perintis sneakers berbasis eco-fashion lokal ini juga sudah diekspor hingga ke Jepang dan Swiss. Dengan desainnya yang inventif, unik, dan tentunya berkelanjutan, Pijak Bumi telah menorehkan prestasi bergengsi seperti  Emerging Designer di pameran sepatu internasional MICAM Milano 2020.

[Gambas:Instagram]

4. Sisabenang
Produk dari brand eco-fashion satu ini, sebagaimana namanya: Sisabenang, benar-benar memanfaatkan limbah sisa kain/benang dari pabrik. Meski lahir dari material "sisaan", produk yang dihasilkan Sisabenang tidak sembarangan.

Dalam melakukan usahanya, sisa benang juga bekerjasama dengan ibu-ibu kelompok Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) yang memiliki keterampilan menjahit. Selain itu, Sisabenang juga memiliki kampanye "Satu produk yang dibeli = satu manggrove yang ditanam".

[Gambas:Instagram]

5. Topiku
Brand yang berdiri sejak tahun 2015 ini khusus memproduksi segala jenis headwear dari bahan daur ulang. Bahan yang digunakan ialah bahan sisa produksi pabrik garmen atau deadstock dan plastik HDPE (High-Density Polythylene). 

Dengan sertifikasi ramah lingkungan yang dekoratif: Certified B Corp, Climate Neutral, + 1% FTP, Topiku menjamin setiap produknya dibuat langsung menggunakan tangan, dan siap menerima pesanan kustom dari setiap pelanggan.

[Gambas:Instagram]

Dengan memanfaatkan bahan-bahan daur ulang, proses produksi berkelanjutan, dan memberdayakan manusia dengan layak dan tepat guna, eco-fashion hadir sebagai salah satu solusi untuk mengatasi kerusakan lingkungan saat ini, tanpa mengurangi kebutuhan untuk tampil modis. 

Bukan hanya itu, kemunculan jenama lokal yang mengedepankan prinsip eco-fashion juga mampu mendongkrak ekonomi secara lebih merata. Para pengrajin dan petani di desa-desa ikut diberdayakan, tradisi dan kebudayaan masyarakat Indonesia juga dapat lebih dikenal dan lestari hingga ke belahan lain dunia. Sebuah geliat industri yang harus kita dukung bersama karena kemunculannya menguntungkan banyak pihak; memutar roda ekonomi rakyat, menjamin keberlanjutan lingkungan, dan dapat menjadi wahana budaya yang berkesinambungan hingga masa datang.

Penulis: Monika Wibisono Putri*

(*) Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.

(ktr/RIA)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS