Pengaruh media sosial memudahkan suatu tren lahir, seperti tren fashion 'Bloke core' yang ramai digandrungi anak muda saat ini terutama kaum puan. Eksistensi fashion bloke core sebenarnya sudah ada sejak tahun 90-an yang dilakukan para penggemar sepak bola Inggris, saat bergerombol datang ke stadion.
Tetapi tren ini direproduksi oleh seorang pengguna TikTok, @brandonlhuntly, beberapa tahun silam. Di Indonesia sendiri fenomena bloke core semakin menjamur hingga detik ini, misalnya saja kepopuleran Karbida FC, komunitas bloke core yang dicetus oleh Ganindra Bimo.
Meski erat dengan citra lelaki, banyak perempuan justru mengadopsi bloke core sebagai kebebasan berekspresi bergaya. Mereka tetap bisa tampil eye catching, bahkan lebih matching, karena mampu memadukan elemen maskulin dengan sentuhan personal. Dari Bella Hadid, Rihanna, hingga Jennie 'BLACKPINK' membuktikan bahwa perempuan bisa mengambil alih ruang yang dulu hanya identik dengan laki-laki.
Jennie 'BLACKPINK' mengenakan gaya Bloke Core dalam salah satu videoklip BLACKPINK/ Foto: GQ Taiwan |
Bloke Core Jadi Simbol Kebebasan Fashion Perempuan
Ciri bloke core sederhana: jersey sepak bola retro, baggy jeans, dan sneakers. Ketiganya lekat dengan maskulinitas. Tapi belakangan, tren ini direbut kembali oleh perempuan. Adidas, misalnya, meminang desainer fashion perempuan seperti Lotta Volkava, Wales Bonner, dan Angel Chen untuk membikin produk-produk retrospektif.
Di musim panas Eropa, gaya bloke core bahkan mendominasi streetwear hingga peritel merespons dengan menjual jersey bukan hanya sebagai perlengkapan suporter, tapi juga fashion item. Lompatan ini juga tidak lepas dari peran selebritas. Jennie 'BLACKPINK', Dua Lipa, hingga Bella Hadid kerap tampil dengan jersey bola di depan kamera.
Dari subkultur stadion, bloke core kini melompat ke arus utama, bahkan menembus panggung high fashion seperti Spring/Summer 2024 runway. Simbolnya jelas: pakaian maskulin bisa jadi medium kebebasan ekspresi perempuan. Perubahan ini menunjukkan bahwa fashion selalu cair: makna maskulinitas bisa bergeser dan diapropriasi ulang menjadi medium ekspresi feminin maupun genderless.
Melihat selebritas perempuan memakai jersey bola, ada rasa lega sekaligus inspiratif. Lega, karena akhirnya pakaian ini bisa keluar dari stigma eksklusif pria. Inspiratif, karena perempuan membuktikan bahwa kebebasan tidak harus selalu tampil anggun; kadang justru dengan meminjam estetika maskulin, mereka terlihat jauh lebih berani.
Selebriti mengenakan jersey sepakbola./ Foto: Harpers Bazaar Singapore |
Fashion yang Cair, Identitas yang Bebas
Bloke core menunjukkan satu hal penting: fashion kini tidak lagi tunduk pada norma gender tradisional. Jersey bola, yang dulunya jadi simbol maskulinitas dan fandom sepak bola, kini hadir sebagai medium bagi perempuan untuk mengekspresikan diri. Konsep gender fluid atau beyond gender membuat batas antara pakaian pria dan wanita semakin kabur-siapapun berhak mengenakannya.
Dalam kajian budaya, entitas material pada dasarnya netral; makna tercipta karena manusia memberi nilai. Maka meskipun bloke core diasosiasikan dengan maskulinitas, ia tetap bisa hidup di tubuh perempuan. Justru di situlah daya tariknya: fashion menjadi ruang inklusif yang terus bergerak, bebas dari sekat identitas yang kaku.
Kini, perempuan yang memakai bloke core bukan sekadar mengikuti tren. Mereka sedang menegaskan hak yang sama untuk bicara lewat fashion. Sebab pada akhirnya, pakaian hanyalah kain yang membuatnya bermakna adalah siapa yang memakainya dan cerita apa yang ingin disampaikan.
Penulis: Iqra Ramadhan Karim
Editor: Dian Rosalina
*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*
(ktr/DIR)
Jennie 'BLACKPINK' mengenakan gaya Bloke Core dalam salah satu videoklip BLACKPINK/ Foto: GQ Taiwan
Selebriti mengenakan jersey sepakbola./ Foto: Harpers Bazaar Singapore