Bicara soal fashion bukan hanya soal apa pakaian yang kita kenakan, tetapi juga bisa menunjukkan identitas diri dari mana kita berasal. Dan, Met Gala pada tahun ini memberikan kesempatan untuk komunitas kulit hitam unjuk gigi tentang identitasnya yang selama ini dibatasi lewat tema Black Dandyisme.
Sudah berabad-abad komunitas kulit hitam di seluruh dunia terbelenggu dalam keterbatasan atas nama diskriminasi warna kulit. Lewat Black Dandyisme mereka bergerilya memulai revolusi mode, sebuah gerakan kebebasan yang sarat akan sejarah, perlawanan, dan kebanggan. Ini adalah pernyataan budaya, tindakan protes, dan perayaan akar identitas diri yang abadi.
Dengan tema Met Gala 2025, "Superfine: Tailoring Black Style" yang berfokus pada peran penting budaya kulit hitam dalam membentuk mode, Black Dandyisme menerima sorotan global yang seharusnya sudah sejak dulu diterima mereka.
Tentang Sejarah dan Budaya Black Dandyisme
Dikutip Vogue, awalnya Dandyisme sering digambarkan sebagai sebuah gaya, tetapi lebih dari sekadar estetika. Adapun tokoh yang mempeloporinya adalah Beau Brummell di Inggris pada abad ke-18, seorang pria yang memiliki tujuan untuk tampil menonjol dengan gaya fashion yang sempurna.
Motto hidupnya, "Jangan bicara tentang busanamu, biarkan dia yang bicara sendiri", telah merevolusi mode dengan mengangkat gaya pribadi menjadi sebuah karya seni. Namun uniknya, dia tidak menunjukkan kemewahan dari fashion yang dikenakannya, melainkan gaya sederhana dan tegas yang menampilkan elegansi daripada kemewahan.
Bagi para dandy, fashion adalah cara mereka untuk mengekspresikan diri dan sebuah bentuk pemberontakan halus terhadap norma-norma masyarakat saat itu yang menjunjung tinggi kelas sosial lewat ras dan warna kulit. Semangat inilah yang menginspirasi dandisme kulit hitam ikut bersuara dengan caranya.
Akar Black Dandyisme berasal dari hubungan rumit budaya kulit hitam dengan mode bergaya Eropa dimulai pada periode pasca-Emansipasi dan mulai berlaku penuh selama era Harlem Renaissance. Pada tahun 1920an, Harlem menjadi pusat pemikiran intelektual dan artistik kulit hitam. Mereka adalah Langston Hughes, Josephine Baker, dan Zora Neale Hurston mendobrak batasan dengan kontribusi sastra dan artistik mereka.
![]() |
Kaum Black Dandy pada masa Harlem Renaissance merupakan seorang yang suka menggunakan pakaian untuk menegaskan diri mereka di dunia yang kerap mengabaikan martabat mereka. Sama halnya seperti bentuk perlawanan terhadap kaum aristokrat tradisional, arah Black Dandyisme kini menjadi cara untuk menolak batasan-batasan yang dikenakan pada orang kulit hitam di Amerika.
Setelan yang lengkap dengan jas rapi, sepatu mengilap, dasi kupu-kupu adalah sebuah pilihan pakaian yang menegaskan mereka adalah seorang dandy yang punya cara hidupnya sendiri. Seiring yang semakin berkembang, Black Dandyisme pun ikut berevolusi namun tetap berakar pada cita-citanya yang menentang diskriminasi.
Bedanya para Black Dandy mulai merangkul desainer untuk membuat busana dan aksesori yang mewah serta palet-palet warna berani. Bukan hanya itu, mereka pun mulai membentuk komunitas di dalam industri fashion sebagai upaya melestarikan nilai-nilai dari dandyisme.
Misalnya saja Balmain, di bawah naungan Olivier Rousteing, menata ulang dandisme dengan desain yang megah dan dramatis, merayakan identitas kulit hitam dan pemulihan sejarah. Desain yang cermat dan siluet yang menyimpang dari gaya Thom Browne menantang norma tradisional, sementara Martine Rose memadukan budaya jalanan dengan mode kelas atas melalui potongan-potongan besar dan berani yang mewujudkan dandisme kulit hitam kontemporer.
Lalu Dior Men yang dipimpin oleh Kim Jones dan desainer khusus Savile Row mencoba untuk membuat Dior sebagai platform bagi para Black Dandys demi mendefinisikan ulang keanggunan klasik lewat identitas mereka sendiri.
![]() |
Karakter Fashion Black Dandy
Tidak seperti fashion lainnya yang mementingkan estetika semata, ciri khas elemen fashion Black Dandy adalah keserbagunaan. Busana mereka cenderung fleksibel gaya yang merangkul modern dan klasik-sehingga menciptakan perpaduan yang unik dan eksklusif.
Para Black Dandy lebih suka menggunakan penjahit khusus yang dijahit dengan tangan sesuai dengan keinginan mereka; mereka pun tidak takut untuk menggunakan warna-warna berani dan motif yang mencolok. Selain itu, mereka juga tak ragu menggunakan aksesori yang berguna seperti topi fedora, kacamata hitam, atau sapu tangan di saku.
Namun yang menjadi poin utamanya adalah mereka tak hanya mencerminkan satu budaya kulit hitam dari satu negara saja, tetapi juga merangkul pengaruh global seperti tekstil Afrika, gaya Karibia, atau street fashion dari Amerika.
Jadi Black Dandyisme bukan hanya sekadar aliran unik yang diciptakan oleh komunitas kulit hitam untuk tampil berbeda. Semua lebih dari sekadar itu. Pemilihan tema ini untuk Met Gala juga seakan menjadi statement bahwa ini lebih dari fashion, melainkan bicara tentang identitas, kekuatan, ekspresi diri, perlawanan, dan kebanggaan akan dari mana asal kita sesungguhnya.
(DIR/DIR)