Insight | Business & Career

Di Balik Angka Pengangguran dan Inflasi: Benarkah Daya Beli Masyarakat Melemah?

Jumat, 08 Aug 2025 18:05 WIB
Di Balik Angka Pengangguran dan Inflasi: Benarkah Daya Beli Masyarakat Melemah?
Ilustrasi daya beli rendah. Foto: Istock
Jakarta -

Perekonomian Indonesia pada pertengahan 2025 menampilkan gambaran yang tidak seragam. Sejumlah indikator makro menunjukkan perbaikan, tetapi dinamika di tingkat rumah tangga mengisyaratkan tekanan. Turunnya tingkat pengangguran dan terkendalinya inflasi semestinya menjadi kabar baik.
Namun, keluhan dunia usaha dan konsumen soal lemahnya permintaan domestik memunculkan satu pertanyaan penting: apakah daya beli masyarakat benar-benar memburuk?

Kinerja Makroekonomi: Stabil Tapi Rawan

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada Februari 2025 sebesar 4,76%, lebih rendah dibandingkan Februari 2024 yang berada di 4,82%. Artinya, terdapat perbaikan dalam penyerapan tenaga kerja secara nasional. Total jumlah penganggur menurun menjadi 7,28 juta orang, seiring dengan peningkatan angkatan kerja yang mencapai 153,05 juta-bertambah 3,67 juta dibandingkan tahun lalu.

Penyerapan tenaga kerja tertinggi terjadi di sektor perdagangan besar dan eceran, jasa pendidikan, serta industri pengolahan. Sinyal ini mengindikasikan bahwa sektor-sektor padat karya mulai menunjukkan pemulihan setelah terpukul pandemi dan dampak inflasi global.

Inflasi nasional juga dalam posisi yang relatif terkendali. Data BPS per April 2025 menunjukkan inflasi tahunan (year-on-year) sebesar 1,95%, lebih rendah dari target pemerintah sebesar 3%. Meski terjadi lonjakan harga bahan makanan menjelang Lebaran yang membuat inflasi bulanan (month-to-month) menyentuh 1,17%, situasi secara umum masih jauh dari kategori membahayakan.

Namun, pertanyaan besar muncul: jika pengangguran turun dan inflasi terjaga, mengapa banyak masyarakat merasa beban hidup mereka justru semakin berat?

Daya beli masyarakat merupakan elemen penting dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi Indonesia. Konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari 50% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Melemahnya daya beli berarti risiko stagnasi atau bahkan kontraksi pertumbuhan.

.Ilustrasi berbelanja/ Foto: Freepik

Sejumlah pengusaha ritel dan pelaku UMKM melaporkan penurunan volume penjualan sejak awal 2025. Hal ini mengindikasikan bahwa walaupun inflasi rendah, masyarakat cenderung menahan belanja, terutama untuk kebutuhan non-esensial. Tren ini diperkuat oleh laporan keuangan beberapa perusahaan publik sektor konsumsi yang menunjukkan penurunan pendapatan kuartal I 2025.

Namun demikian, data Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) dari Bank Indonesia memperlihatkan angka 121,7 pada April 2025, naik tipis dari 121,1 pada bulan sebelumnya. Angka di atas 100 menandakan optimisme masyarakat terhadap kondisi ekonomi saat ini dan masa depan.

Diskrepansi ini menarik untuk dicermati. Di satu sisi, konsumen merasa optimis, tetapi di sisi lain pengeluaran mereka tidak meningkat signifikan. Beberapa ekonom menjelaskan fenomena ini dengan mengacu pada "persepsi versus realitas". Harapan terhadap pemulihan ekonomi tetap ada, tetapi tekanan struktural seperti stagnasi upah, kenaikan biaya pendidikan dan kesehatan, serta mahalnya harga pangan menekan pengeluaran riil masyarakat.

Kebijakan Fiskal dan Respons Sosial

Pada saat bersamaan, pemerintah menerapkan kebijakan fiskal yang lebih ketat untuk menjaga keseimbangan APBN. Beberapa pos subsidi dipangkas, seperti subsidi energi dan bantuan sosial yang dikaji ulang efektivitasnya. Strategi ini dimaksudkan untuk menjaga defisit tetap terkendali di bawah 3% terhadap PDB.

Namun, kebijakan pengetatan ini tidak lepas dari konsekuensi sosial. Di sejumlah daerah, terutama wilayah dengan tingkat ketergantungan tinggi terhadap subsidi, muncul protes kecil terkait pengurangan bantuan. Meski skalanya belum besar, sinyal ini harus dibaca sebagai peringatan dini bahwa tekanan sosial bisa menguat bila pemerintah tidak mengimbangi penyesuaian fiskal dengan program perlindungan yang cukup.

Di tengah tren global yang menunjukkan kecenderungan menuju "slowbalisation" dan penurunan permintaan ekspor, daya beli domestik menjadi benteng terakhir pertumbuhan. Oleh karena itu, pemerintah perlu menjaga keseimbangan antara disiplin anggaran dan stimulasi ekonomi berbasis konsumsi.

Melihat data dan dinamika di atas, dapat disimpulkan bahwa perekonomian Indonesia menunjukkan stabilitas makro melalui penurunan pengangguran dan inflasi yang terkendali. Meski demikian, konsumsi rumah tangga belum sepenuhnya pulih. Ada tekanan riil terhadap daya beli yang tak tercermin dalam data inflasi atau IKK semata.

Pemerintah perlu memperhatikan keseimbangan antara disiplin fiskal dan dukungan terhadap konsumsi masyarakat, terutama golongan rentan. Perlunya transparansi komunikasi ekonomi kepada publik, agar kebijakan dapat dipahami dan diterima tanpa menimbulkan resistensi.

Pembuat kebijakan harus bertindak dengan hati-hati. Mendorong konsumsi masyarakat sambil tetap menjaga kehati-hatian fiskal akan membutuhkan intervensi yang terarah-seperti bantuan tunai bersyarat, stabilisasi harga pangan, atau keringanan pajak sementara bagi kelas menengah.

Dalam situasi di mana angka-angka terlihat baik namun pengalaman hidup masyarakat menunjukkan sebaliknya, mendengarkan suara rumah tangga sama pentingnya dengan memantau data di lembar kerja.



Penulis: Andy Wijaya


*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*

(ktr/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS