Insight | Business & Career

Mengapa Ijazah Saja Tidak Lagi Cukup (Dan Apa Solusinya)?

Selasa, 04 Nov 2025 20:30 WIB
Mengapa Ijazah Saja Tidak Lagi Cukup (Dan Apa Solusinya)?
Ilustrasi Momen Kelulusan. Foto: Unsplash/Zacqueline Baldwin
Jakarta -

Setiap tahun, ribuan toga dilempar ke udara di seluruh Indonesia. Momen wisuda adalah puncak perayaan atas empat tahun perjuangan akademik. Namun, di balik senyum lega dan sesi foto keluarga, keresahan kolektif membayangi lulusan baru: "Setelah ini, apa?"

Di antara gegap gempita kelulusan tersebut, data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2024 lalu justru mencatat ironi: Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) lulusan universitas 4,90%, diploma 4,85%—mewakili ratusan ribu sarjana yang mencari kerja tanpa hasil. Fenomena ini seperti terdampak lesunya pasar bagi tenaga kerja terdidik, dan underemployment (bekerja tidak sesuai kualifikasi) menjadi realitas pahit. 

Di tengah kegelisahan ini, pelatihan ketenagakerjaan alternatif seperti bootcamp dan sertifikasi profesi malah membanjiri media sosial dengan narasi menggoda: "Siap Kerja dalam 3 Bulan!", "Garansi Kerja!", "Jadilah Data Scientist dalam 6 Bulan!"

Platform semacam ini menawarkan "jalan tol" menuju karier impian dengan biaya jauh lebih murah dari UKT 8 semester. Hal-hal ini menyisakan satu pertanyaan mendesak: Jika pasar begitu lesu, apakah kuliah empat tahun masih sepadan? Apakah ijazah sarjana sudah kehilangan relevansinya?

Mengapa Ijazah Saja Dianggap Tidak Cukup (?)

Untuk adil, masalahnya mungkin bukan berhulu pada ijazah, tetapi pada ekspektasi usang: bahwa ijazah adalah tiket emas menuju pekerjaan mapan. Kelesuan pasar terdidik sendiri turut didorong oleh tiga faktor sistemik.

Pertama, adalah skill mismatch akut. Terdapat kesenjangan menganga antara yang diajarkan di kampus (teoretis dan konseptual) dengan yang dibutuhkan industri (praktis dan cepat berubah). Faktanya, dunia usaha memang tidak hanya butuh orang yang "tahu tentang" sesuatu, mereka lebih butuh orang yang "bisa melakukan" sesuatu.

Laporan Bank Dunia dan KADIN berulang kali menyoroti: mayoritas lulusan perguruan tinggi Indonesia dianggap belum siap kerja oleh industri. Hal ini pernah diperkuat seorang pimimpinan divisi HRD di perusahaan teknologi. Menurutnya, lulusan S1 dalam negeri mayoritas unggul teori saja, tapi kurang cakap praktik dan minim portfolio.

Kedua, kurikulum kampus lambat beradaptasi. Industri digital, kreatif, dan teknologi bergerak dalam hitungan bulan, bukan tahunan. Framework pemrograman populer hari ini bisa usang dua tahun lagi. Algoritma Google Ads dan TikTok, misalnya, diperbarui nyaris setiap kuartal. Sementara itu, kurikulum universitas adalah "kapal besar" yang butuh waktu lama untuk berbelok—birokrasi panjang, rapat senat, persetujuan kementerian, dst. Akibatnya, mahasiswa lulus dengan pengetahuan yang "siap" untuk industri versi empat tahun lalu, bukan industri di depan mata mereka.

Ketiga, pola pikir Return on Investment (ROI) yang harus dipertanyakan. Pendidikan selalu dipahami sebagai investasi. Maka, seiring melambungnya UKT dan biaya hidup, orang tua jadi lebih rajin berhitung; mengalkulasikan biaya "investasi" berjumlah ratusan juta rupiah selama 4-5 tahun tak sepadan dengan gaji sepantar UMR, yang diperkeruh lesunya bursa pekerjaan. Apabila dibandingkan dengan bootcamp intensif seharga 10-20 juta rupiah selama 3 bulan, yang berani menjanjikan pekerjaan dengan gaji awal kompetitif, maka dalam kerangka ROI jangka pendek, jalur sertifikasi terlihat jauh lebih menarik dan rasional.

Godaan "Jalan Pintas" 

Sampai di titik ini, sertifikasi profesi hadir sebagai solusi yang kian menggiurkan. Popularitas bootcamp dan kursus terbukti meledak dalam waktu singkat. Mereka juga berani menawarkan tiga nilai jual utama, yang tidak bisa diberikan pendidikan formal secara efektif. 

Hal yang pertama adalah keahlian praktis dan spesifik. Sertifikasi memang tidak mengajarkan filosofi suatu keilmuan, tetapi dalam bidang komunikasi, misalnya, ia berani menjabarkan cara kerja Search Engine Optimization (SEO) atau membuat content pillar secara terperinci. Dalam ranah akuntansi, lembaga pelatihan tak perlu repot-repot membahas sejarah panjangnya, tetapi cukup memandu cara mengisi e-SPT untuk Brevet Pajak A & B. Pendekatan "langsung ke intinya" ini sangat efisien: peserta dapat belajar apa yang benar-benar mereka butuhkan untuk bekerja. Titik. Industri, atau pemberi kerja, pun lebih menyukai ini karena mempersingkat waktu training karyawan baru.

Kedua, ialah validasi kompetensi yang diakui. Poin ini menjadi krusial karena HRD yang bekerja menyortir ratusan CV lulusan S1 harus mampu membuktikan Anda "mampu belajar" dan "disiplin" secara general. Namun berkat bantuan sertifikasi dari Google, Amazon Web Services (AWS), Microsoft, atau lembaga profesi resmi (seperti BNSP atau IAI) semata, Anda telah lebih dari membuktikan bahwa Anda "bisa melakukan" sesuatu secara spesifik. Satu validasi yang objektif atas keahlian teknis, yang datang dari pihak ketiga nyatanya begitu kuat. Hal ini pun mengubah klaim di CV dari "Saya tertarik pada data science" (pasif) menjadi "Saya adalah Certified Data Analyst dengan portofolio proyek X, Y, Z" (aktif dan terbukti).

Ketiga, efisiensi waktu dan biaya. Keunggulan ini mungkin berjarak paling besar. Dalam rentang 3-6 bulan mengikuti bootcamp atau pelatihan, seorang individu bisa beralih karier sepenuhnya. Lewat celah ini, seorang lulusan Sastra malah bisa menjadi Digital Marketer dalam sekejap, dan seorang Sarjana Pendidikan bisa menjadi UI/UX Designer dalam waktu yang lebih ringkas lagi. Soal biaya, tampak relatif jauh lebih terjangkau dibanding ongkos dan kuliah 4 tahun-an. Narasi yang ditawarkan menjadi semakin kuat: investasi sedikit waktu dan uang, tapi dapat keahlian spesifik, portofolio, dan jenjang pekerjaan yang lebih menjanjikan.

Pembelaan untuk Bangku Kuliah (Mengapa Ijazah Masih Sangat Penting)

Kalau bootcamp dinilai lebih berdampak efisien bagi calon pekerja, apakah kita harus berbondong-bondong meninggalkan dan melongkapi bangku perkuliah? Tunggu dulu. Cara mainnya tidak sepraktis itu. Meremehkan nilai ijazah S1, terutama di konteks Indonesia, adalah kesalahan strategis yang fatal. Ada tiga alasan mengapa kuliah formal masih sangat relevan dan krusial.

Alasan pertama, ijazah adalah "izin masuk" formal. Ini realitas pasar kerja kita, yang keras dan tidak bisa ditawar. Coba buka portal lowongan BUMN, pendaftaran CPNS, atau program Management Trainee (MT) di perusahaan multinasional besar—perbankan, fast-moving consumer goods (FMCG), atau konsultan. Syarat pertama dan utamanya di gerbang administrasi adalah: "Pendidikan minimal S1 dari segala jurusan."

Dalam urusan ini, tanpa selembar ijazah S1, CV Anda bahkan tidak akan lolos screening awal oleh sistem (Applicant Tracking System/ATS). Sertifikasi Anda yang mentereng di bidang data science juga tidak akan terbaca—tanpa memenuhi syarat minimal "S1". Ijazah serupa  paspor atau izin masuk untuk berkompetisi di bursa kerja korporasi besar.

Alasan berikutnya ialah pondasi soft skill dan pola pikir kritis. Pada dasarnya, kuliah selama 4 tahun atau lebih bukanlah soal menghafal rumus atau teori. Laku ini mengajarkan tentang "belajar cara belajar" (learning to learn)— hal yang tidak bisa diajarkan dalam kursus kilat.

Duduk di bangku kuliah dapat melatih Anda berpikir kritis dan analitis di banyak ruang kehidupan. Dengannya Anda dipaksa memiliki kecakapan time management dalam menyeimbangkan lima mata kuliah berbeda, tugas kelompok, dan kegiatan berorganisasi. Dan, puncaknya adalah skripsi: proyek manajemen jangka panjang yang melatih kemampuan Anda melakukan riset, membangun argumentasi logis, menulis secara sistematis, dan mempertahankan gagasan di depan penguji—bukan sekadar membuat dokumen tebal. Inilah soft skill-problem solving, critical thinking, communication, resilience—yang sangat esensial untuk kemajuan karier.

Ketiga, "plafon" karier dan jaringan jangka panjang. Sertifikasi mungkin memberi pekerjaan pertama lebih cepat. Namun, ijazah S1 seringkali menentukan plafon (batasan tertinggi) karier, karena Anda juga butuh wawasan strategis, kemampuan manajerial, serta pemahaman helikopter atas bisnis—kemampuan yang diasah oleh pendidikan formal. Di banyak perusahaan, jenjang manajerial ke atas mensyaratkan pendidikan S1, atau bahkan S2. Jangan lupakan juga jaringan (networking). Dosen yang bisa menjadi mentor, senior yang memberi info lowongan, dan teman seangkatan yang kelak tersebar di berbagai industri adalah aset tak ternilai yang dibangun selama 4 tahun.

Sinergi, Bukan Kompetisi

Perdebatan "Kuliah atau Sertifikasi" lantas bisa disebut sebagai hal yang salah kaprah. Di pasar kerja modern, jawaban yang tepat hanyalah "Kuliah dan Sertifikasi." Kelesuan pasar terdidik terjadi karena terlalu banyak pencari kerja yang hanya memiliki salah satunya. 

Cara terbaik untuk memahaminya bisa melalui analogi sederhana di dalam sebuah perangkat komputer: Sistem Operasi vs Aplikasi.

Bayangkan jika kuliah (Ijazah S1) adalah Sistem Operasi (OS)—entah Windows, macOS, atau Linux. Dari sini, Anda bisa mendapat pondasi berpikir, kemampuan riset, sampai etos kerja yang adaptif. OS yang baik (lulusan berkualitas dari suatu universitas berkualitas) akan stabil, mampu multitasking, dan tidak mudah crash saat menghadapi masalah tidak terduga.

Sementara lain, sertifikasi profesi bisa diumpamakan sebagai aplikasi/software—seperti Adobe Photoshop, Microsoft Excel, Python, atau SAP. Ia adalah tools spesifik yang Anda gunakan untuk mengerjakan tugas-tugas praktis tertentu.

Untuk mendapatkan kinerja terbaik, sebaiknya Anda juga memiliki kualitas OS dan aplikasi/software yang sama baik. Jika Anda hanya punya salah satunya: OS canggih (S1) tapi tidak punya aplikasi (skill/sertifikasi), maka Anda tidak akan bisa bekerja dengan optimal; Anda bisa berpikir, tapi tidak bisa melakukan apa-apa. Sebaliknya, jika Anda punya aplikasi canggih (sertifikasi) tapi OS-nya lambat dan penuh bug (fondasi berpikir lemah), Anda mungkin bisa mengerjakan satu tugas repetitif, tapi akan kewalahan saat diminta melakukan hal strategis atau memecahkan masalah kompleks.

Formula sukses ideal di pasar kerja hari ini selayaknya berasal dari sinergi keduanya:

S1 Akuntansi (OS) + Brevet Pajak A & B (Aplikasi) = Akuntan Pajak kompeten
S1 Komunikasi (OS) + Sertifikasi Google Ads (Aplikasi) = Digital Marketer andal
S1 Teknik Informatika (OS) + Sertifikasi AWS (Aplikasi) = Cloud Engineer tervalidasi

Jawaban Akhir dan Navigasi Baru

Jadi, mari kita jawab pertanyaan di judul: Apakah ijazah tak lagi cukup?

Jawabannya: Benar. Ijazah saja tidak lagi cukup. Kelesuan pasar adalah sinyal jelas bahwa tuntutan zaman telah berubah. Datang ke wawancara kerja hanya bermodalkan selembar ijazah dan transkrip nilai, tanpa portofolio atau bukti keahlian praktis, adalah strategi usang dan berisiko tinggi.

Namun, ini tidak berarti ijazah tidak relevan. Sebaliknya, ia tetap menjadi landasan krusial untuk berkarir, sementara sertifikasi, yang merupakan "bukti kompetensi" teknis bisa membuat Anda lebih relevan. Dan Anda membutuhkan keduanya.

Pemenang di pasar kerja ini bukanlah mereka yang menyalahkan ijazahnya, melainkan yang mau jadi pembelajar seumur hidup (lifelong learner)—individu cerdas yang menggunakan fondasi berpikir kritis dari kuliah untuk secara strategis memilih sertifikasi apa yang harus diambil guna mengakselerasi karier.

Berhentilah menyia-nyiakan ijazah Anda. Mulailah melengkapinya.

Penulis: Andy Wijaya*

(*) Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.

(ktr/RIA)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS