Di tengah hiruk-pikuk pembangunan fisik dan digital yang terus digenjot, Indonesia masih menyimpan luka lama, yaitu rendahnya tingkat literasi masyarakat. Survei internasional PISA 2022 menempatkan posisi Indonesia pada urutan ke-69 dari 80 negara. Indonesia hanya meraih skor 359 poin untuk kemampuan membaca, angka terendah sejak pertama kali ikut serta pada tahun 2000 dan turun 12 poin dari 2018.
Skor ini jauh tertinggal dari rata-rata global yang mencapai 476 poin untuk literasi, menandakan jurang kualitas literasi yang masih menganga lebar. Sementara itu, Perpustakaan Nasional mencatat rata-rata warga Indonesia hanya membaca sekitar enam buku per tahun, dengan total waktu membaca 129 jam per tahun. Membaca ulang angka-angka ini, seolah berusaha menyadarkan kita bahwa gawai dan koneksi internet tidak otomatis menjelma menjadi stimulus peningkatan budaya membaca.
Ilustrasi taman baca./ Foto: Unsplash |
Taman Baca Jadi 'Oasis', Namun Tak Diminati
Di tengah kenyataan itu, taman baca dan komunitas literasi tumbuh bagai titik-titik cahaya kecil. Mereka hadir di gang sempit kota, di desa-desa terpencil, hingga di halaman rumah relawan yang mengambil alih tanggung jawab perpustakaan resmi.
Taman baca bukan sekadar tempat menaruh buku, melainkan ruang sosial yang hidup, tempat anak-anak belajar mengeja, remaja berdiskusi, dan warga berbagi cerita. Meski sederhana, taman baca menjadi ruang alternatif ketika sekolah terlalu formal dan rumah terlalu sempit untuk tumbuhnya imajinasi.
Namun ironisnya, ujung tombak ini sering berjalan sendiri. Banyak taman baca berdiri atas inisiatif relawan, guru honorer, atau pemuda setempat yang rela menyisihkan waktu dan penghasilan. Mereka mengandalkan donasi buku bekas, rak kayu seadanya, dan karpet tipis untuk alas duduk.
Dukungan struktural kerap minim. Padahal, jika mau jujur, taman baca telah menjalankan fungsi vital negara, yaitu mendekatkan ilmu pengetahuan kepada masyarakat. Peran mereka makin terasa ketika gelombang disinformasi melanda.
Media sosial yang menjanjikan akses informasi justru sering menyajikan kebisingan dan kebingungan. Hoaks bertebaran, teori konspirasi dipeluk sebagian orang, bahkan anak-anak terjerumus pada konten dangkal. Dalam konteks ini, literasi tidak lagi sekadar kemampuan membaca, tetapi juga kemampuan memilah, menganalisis, dan merespons informasi.
Taman baca, dengan ruang diskusi dan bimbingan langsung, justru menjadi benteng kecil yang efektif melatih keterampilan ini. Kisah-kisah dari lapangan menunjukkan betapa pentingnya peran komunitas literasi. Mereka tidak hanya menyediakan buku bacaan, tetapi juga kelas menulis sederhana dan pelatihan keterampilan dasar.
Realita kisahnya terlihat dari Komunitas Binjai Kota Cerdas (KBKC) di Kota Binjai, Sumatera Utara. Komunitas yang diinisiasi oleh H. Syamsul Agoes dan Hj. Asmawati konsisten menghidupkan taman baca di Kota Binjai sejak 1 dekade lalu, dengan fokus utama mendampingi anak-anak agar tumbuh bersama bacaan.
Aktivitas mereka sederhana saja, yaitu menyediakan ruang baca, mengadakan kelas menulis, hingga mengikutsertakan pemuda-pemudi Kota Binjai dalam kegiatan positif yang diselenggarakan. Namun, dari kesederhanaan itu lahir kebiasaan baru, yaitu anak-anak yang sebelumnya asing dengan buku kini mulai menjadikan membaca sebagai bagian dari keseharian dan dapat lepas dari gadget sejanak.
KBKC membuktikan bahwa literasi bisa digerakkan dari ruang kecil tanpa harus menunggu program besar dari pusat. Dengan dukungan relawan, komunitas ini menjadikan taman baca bukan sekadar tempat meminjam buku, tetapi juga ruang berjejaring, berkreasi, dan membangun rasa percaya. Upaya mereka menegaskan bahwa literasi sejatinya adalah gerakan sosial, ia tumbuh dari grassroots, yaitu masyarakat, lalu kemudian menyebar sebagai energi kolektif yang menjaga kewarasan di tengah derasnya arus digital.
Ilustrasi taman baca/ Foto: Unsplash |
Taman Baca Kian 'Hilang'
Sayangnya, perhatian terhadap taman baca masih kalah jauh dibanding proyek-proyek digitalisasi pendidikan. Kita begitu bangga membangun aplikasi atau e-library, padahal di banyak daerah akses internet masih terbatas.
Taman baca, yang nyata hadir di tengah masyarakat, justru kerap luput dari perencanaan kebijakan. Padahal, ketika dunia digital kian mendominasi, ruang fisik seperti taman baca bisa menjadi penyeimbang yang menumbuhkan keintiman, dialog, dan empati, hal-hal yang tidak bisa digantikan oleh algoritma.
Lebih jauh, taman baca juga menjadi arena demokrasi lokal. Di sana, warga bisa belajar bicara, mendengar, dan bernegosiasi. Anak-anak belajar bahwa gagasan harus dihargai, bukan ditertawakan. Remaja belajar bahwa perbedaan pendapat adalah bagian dari pertumbuhan. Dari ruang-ruang kecil itulah benih partisipasi secara aktif ditanam. Literasi bukan hanya soal membaca buku, tetapi juga membaca kehidupan.
Melihat kenyataan ini, ada pertanyaan yang harus diajukan, mengapa taman baca, dengan segala kiprahnya, masih dipandang sekadar pelengkap? Mengapa mereka belum ditempatkan sebagai bagian inti dari strategi nasional peningkatan literasi?
Barangkali jawabannya ada pada cara kita mendefinisikan literasi itu sendiri. Selama literasi hanya dipahami sebagai suatu deret angka statistik, maka taman baca akan tetap dipinggirkan. Tetapi jika literasi dipandang sebagai daya hidup sebuah bangsa, maka taman baca sejatinya adalah barisan pemberani yang harus diperkuat.
Pada akhirnya, taman baca mengajarkan sesuatu yang tak bisa ditawarkan oleh gedung-gedung megah atau aplikasi digital canggih, yaitu kedekatan manusiawi. Di ruang sederhana itu, kita belajar bahwa buku bukan sekadar benda mati, melainkan pintu masuk menuju percakapan, kebersamaan, dan bahkan kesempatan untuk hidup lebih baik.
Mungkin, krisis literasi di Indonesia tidak akan selesai hanya dengan laporan angka atau kebijakan formal. Ia butuh wajah-wajah relawan, anak-anak yang tertawa membaca buku cerita, dan warga yang menemukan kembali kebahagiaan dalam membaca. Komunitas penggerak literasi dan taman baca, meski sering terabaikan, telah menunjukkan jalan.
Pertanyaannya kini, apakah kita akan terus membiarkan mereka berjuang sendiri atau mulai mengakui bahwa dari ruang-ruang kecil itulah masa depan literasi bangsa sedang ditulis?
Penulis: Muhammad Fauzan Mubarak
Editor: Dian Rosalina
*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*
(ktr/DIR)
Ilustrasi taman baca./ Foto: Unsplash
Ilustrasi taman baca/ Foto: Unsplash