Interest | Art & Culture

Review Novel '86': Menyelami Sisi Gelap dan Nyata di Dunia Peradilan

Jumat, 27 Jun 2025 20:00 WIB
Review Novel '86': Menyelami Sisi Gelap dan Nyata di Dunia Peradilan
Foto: CXO Media
Jakarta -

Membaca buku fiksi sama pentingnya dengan membaca buku nonfiksi. Ketika buku-buku nonfiksi dapat memuat pengetahuan dan meningkatkan kadar wawasan pembaca secara instan, maka karya fiksi bisa membuat kita lebih menyelami dan merasakan lebih banyak pengetahuan mengenai sesuatu hal. Misalnya, ketika membaca novel 86, kita dapat mengetahui lebih lanjut perkara gelap dan terang yang terjadi di dunia peradilan, berkat kompleksitas cerita dan unsur-unsur tersirat yang melekat di sepanjang alur.

86 merupakan novel karangan Okky Madasari. Buku setebal 256 halaman ini menceritakan kisah tokoh utama bernama Arimbi, seorang gadis desa yang hoki, karena dapat bekerja sebagai juru ketik di kantor pengadilan tanpa bantuan orang dalam. Kisah Arimbi yang bermula lugu, kemudian bergulir penuh dengan lika-liku dan jebakan, yang mau tak mau harus dihadapinya.

Sindiran Unsur Hukum yang Tersirat

86 mungkin tidak sefenomenal Entrok. Namun, karya Okky Madasari yang diterbitkan Gramedia tahun 2011 ini tak kalah digemari. Hingga saat ini, 86 telah lima kali dicetak ulang, dan telah diterbitkan dalam versi bahasa Inggris.

Di dalam 86, Okky gamblang menyorot kenyataan getir dan memilukan di dunia peradilan. Secara tersurat maupun tersirat, isu-isu miring yang menyelingkupi "skena hukum"  dipotret tanpa basa-basi. Judul 86 sendiri mewakili makna konotatif istilah "86".

Alih-alih melambangkan kesediaan sikap aparat dalam menegakkan hukum dan keadilan, makna judul 86 malah bergeser ke arah berlawanan. Semacam istilah untuk pemahaman korup: "Siap, asal ada ongkosnya, semua bisa diatur", yang dipraktekkan melalui segmen-segmen kehidupan Arimbi.

Diceritakan, kehidupan Arimbi tak luput dari praktik "86" yang menyimpang. Etos kerja Arimbi, sebagai pegawai pengadilan, rajin "mempermudah" urusan hakim dan pengacara; Arimbi juga tak gagap ketika harus membeli tiket kereta api di luar loket, alias lewat jalur pungli; bahkan ia sampai terjerumus ke balik jeruji besi selama 3,5 tahun lantaran terlibat kasus suap—yang justru jadi pintu rezeki baginya, dengan mengelola transaksi sabu-sabu.

Sebagai penulis dan juga seorang sosiolog berpengalaman, Okky benar-benar cermat mengemas urusan-urusan politis yang rumit ke dalam karya fiksi yang mudah dicerna pembaca. Ia sanggup menyusun peristiwa secara berkesinambungan, seiring mengembangkan kekuatan tokoh utama. Bisa dilihat dari pengalaman Arimbi "bekerja" untuk narapidana kaya di dalam penjara, yang justru tampak betah dan tidak ingin buru-buru bebas karena di tempat tersebut semua hal bisa dibeli. Sedari kamar yang nyaman dan elit, lengkap dengan fasilitas handphone dan televisi, segala urusan bisa "86". Tidak terkecuali, membeli satu sel khusus sebagai tempat meracik sabu-sabu.

Hal-hal tersebutlah yang lantas mengubah Arimbi polos untuk terjun ke dunia gelap. Ia tak ingin masa-masa bebasnya berjalan lebih berat, seperti sebatas mengandalkan gaji pas-pasan waktu masih jadi pegawai ketik pengadilan.

Tercermin dari kebiasaan penjara, di mana sedari perihal izin jenguk hingga sepiring makanan laik di kantin hanya bisa diakses dengan memanfaatkan uang, Arimbi mantap menjadi pencari uang yang pandai. Ia ingin banyak uang, agar kesejahteraan hidupnya meningkat. Namun, pada kenyataannya, ketika Arimbi kian giat mencari dan mengumpulkan lebih banyak uang, ia baru tersadar bahwa semakin banyak pula "harga" yang harus diabayarkan.

Kisah Arimbi di dalam 86 tidak selesai di sana. Ada lebih banyak kejutan tidak terduga hingga akhir halaman. Saya sendiri jadi menyadari, bahwa transaksi suap-menyuap benar-benar merajalela. Terjadi di banyak kesempatan, di mana saja, dan kapan saja. Hal ini merupakan refleksi yang dekat dengan kehidupan di sekitar, di mana banyak anak-anak muda sebatang kara yang tengah merantau, turut terjebak di posisi yang hampir serupa dengan Arimbi—walaupun kisah mereka, mungkin, tidak senaas Arimbi yang rumit, miris, dan patut dikasihani.

Di samping menggambarkan nasib Arimbi, Okky juga terus mengilustrasikan perkara-perkara politik dan hukum kepada masyarakat awam secara mudah dimengerti. Beberapa istilah yang rumit diberi contoh dan penjelasan yang lebih dekat dengan keseharian, dan semuanya mengalir hingga cliffhanger di bagian akhir cerita.

Menurut saya, akhir yang seperti menggantung ini begitu menarik. Tidak serta-merta happy ending ataupun sad ending, sehingga menyisakan kesan penuh tanda tanya bagi pembaca, yang terus membuat kepikiran sekalipun telah menuntaskan bacaan. 

Secara menyeluruh, rasanya banyak juga pelajaran yang bisa diambil dari novel 86. Contohnya: jangan jadikan uang sebagai tujuan. Ingat, uang hanyalah alat, sementara tujuan yang kita inginkan masih bisa diraih dengan cara yang lebih layak-bukan cuma modal "uang 86".

Lebih jauh lagi, novel ini mengajarkan kita untuk tidak menghalalkan segala cara hanya karena keinginan hidup yang lebih layak. Jangan sesekali membuat keputusan terburu-buru, yang hanya akan berakhir dalam lilitan masalah yang tak kunjung selesai.

Lantas, apakah buku ini layak dibaca? Ya, tentu saja. Meski tema besarnya menyangkut ranah hukum dan peradilan, cerita buku ini tidak dibuat spesifik untuk para pelaku saja. Masyarakat umum yang mungkin masih buat perihal dunia peradilan bahkan bisa sangat menikmati cerita di dalam buku ini.

Selamat membaca!

Penulis: Tiara Lovita Ginting*

*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.

(ktr/RIA)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS