Interest | Art & Culture

Buku 'Re:', Sebuah Ironi Kehidupan Pelacur Lesbian Ibu Kota

Rabu, 08 Mar 2023 15:00 WIB
Buku 'Re:', Sebuah Ironi Kehidupan Pelacur Lesbian Ibu Kota
Buku Re; karya Maman Suherman Foto: Gramedia
Jakarta -

Tak terbayangkan oleh Maman Suherman yang berusia 21 tahun kala itu masuk terlalu dalam ke dunia pelacuran Ibu Kota yang tak terjamah. Pertemuannya dengan seorang pelacur lesbian bernama Re:,membuat pemikiran bahkan hidup Maman berubah.

Berawal dari niat Maman ingin menyelesaikan skripsi Kriminologinya dengan topik fenomena pelacuran, perjalanannya bersama Re:   yang kala itu menjadi objek penelitiannya   malah justru menyeret pria yang kala itu berusia 21 tahun ke dunia yang penuh dengan dendam, kejam, dan jauh dari kata manusiawi.

Kisahnya bersama Re: bukan hanya sekadar skripsi yang diletakkan di barisan-barisan rak perpustakaan yang dingin, namun menjelma menjadi sebuah buku terkemas apik mengungkap ironi dunia malam ibu kota, berjudul Re:.

Re: adalah Fakta dari Kejamnya 'Dunia Malam'

"Ya, namaku Rere. Sering dipanggil Re:.."
"Itu nama sebenarku? Apa perlunya kamu tahu itu nama asli atau bukan?"
...
"Sudahlah, kalau mau jadi temanku, enggak usah usik-usik soal nama! Panggil saja aku: Rere!"
...
"Pelacur! Itu pekerjaanku!"
"Lebih tepatnya, pelacur lesbian!"
"Lonte! Sampah masyarakat!"

Penggalan percakapan itu, seakan menjadi sebuah tamparan yang menyadarkan bahwa bagi perempuan yang masuk ke dalam dunia hitam, mereka pun tak mampu menghargai dirinya sendiri. Bahkan memandang rendah dirinya karena label yang telah diamini masyarakat bahwa mereka adalah 'sampah', bukan manusia.

Meski begitu, bagi Maman, Re: bukan sekadar pelacur lesbian yang kerap menjajakan tubuhnya, namun ada kisah pilu dan fakta miris yang menjadi latar belakang Re: menjadi seorang 'kupu-kupu malam'. Sebelum menjadi seperti itu, Re: hanya seorang gadis Sunda biasa yang tinggal di pinggir kota Bandung bersama sang nenek selepas ibu Re: tiada.

Kurang kasih sayang keluarga membuat gadis itu mencari arti cinta hingga akhirnya menjalin kasih dengan guru les-nya dan juga teman sekolahnya. Berjalan terlalu jauh, Re: pun tak sadar ia hamil dan tidak mengetahui siapa ayah dari anaknya tersebut. Tidak ingin menjadi beban sang nenek, Re: yang sedang hamil itu pun kabur ke Jakarta berbekal uang yang dicurinya dari lemari nenek.

Re: pun ke Jakarta tanpa arah dan tujuan, sampai ia bertemu seorang paruh baya yang dianggapnya baik hati karena mau menampung gadis muda yang tengah hamil di rumahnya. Berselang 3 bulan setelah melahirkan, siapa sangka perempuan yang sudah dianggap Re; sebagai malaikat penolong, ternyata hanya serigala berbulu domba. Ia pun memanfaatkan Re: dan menjadikannya seorang pelacur lesbian.

Berbeda dengan pelacur biasa, pelacur lesbian ternyata memiliki bayaran lebih mahal dan mereka bisa bekerja 30 hari sebulan, bahkan saat datang bulan. Mereka tidak harus berhubungan intim dengan kliennya, karena yang dilayani adalah sesama perempuan.

Re: hanyalah satu dari belasan pelacur lesbian yang dipekerjakan 'Mami'-nya yang tidak bisa lepas dari jeratan 'lingkaran setan' tersebut. Bahkan salah satu teman Re:, Sinta   yang juga pelacur lesbian   diduga meregang nyawa karena mencoba keluar dari rengkuhan itu.

Pelacur Juga Manusia dan Seorang Ibu

Terlepas dari pekerjaan Re: yang dinilai sebagai hal yang 'kotor', namun banyak orang yang lupa bahwa pelacur juga manusia. Tak ada satupun di dunia ini yang ingin menjadi budak pemuas nafsu manusia lainnya. Re: pun juga seorang ibu bagi anaknya, Melur.

Usai melahirkan, Re: terpaksa harus memberikan Melur kepada satu keluarga baik yang dikenalkan oleh Sinta. Perempuan paruh baya yang tidak memiliki anak itu pun dengan tangan terbuka bersedia merawat Melur seperti anaknya sendiri. Meski kini Melur dirawat oleh perempuan tersebut, Re: tetaplah seorang ibu yang merindukan anaknya.

Tapi lagi-lagi Re: yang merasa dirinya rendah, tak berani menyapa bahkan untuk bertemu dengan anaknya atau sampai hati mengaku ke anak tersebut kalau dia adalah ibu kandungnya. Re: hanya bisa meminta Maman untuk selalu menjenguk dan memberikan semua keperluan Melur. Bahkan untuk memeluk anak itu saja, Re: tak mampu.

"Kamu aja. Datangi dia, dan peluk dia," jawab Re: lirih kepada Maman saat menjenguk Melur.
"Lha, ngapain kamu ke mari kalau harus aku juga yang memeluknya," kata Maman.
"Sudah, kamu ke sana, peluk dia... Peluk dia, untukku."
"Kamu aja sendiri."
"Gue keringetan."
"Enggak apa-apa. Ayo ke sana..."
"Gue ini pelacur..." kata Re: nyaris tak terdengar.
"Jangan sampai tubuhnya melekat keringat pelacur. Peluk dia untukku."
"Pasangkan di rambutnya," Re: berujar, sembari memberikan jepitan rambut berpita merah.

Berbulan-bulan setelah pertemuan itu, Re: menitipkan sebuah bingkisan besar untuk Melur dan ibu asuh Melur. Namun berbeda dengan biasanya, Maman diminta Re: untuk memberikan banyak barang dan juga sebuah amplop yang berisikan uang jutaan rupiah untuk dana pendidikan Melur. Tak ada yang tahu bahwa itu adalah bingkisan terakhir Re: untuk anak semata wayangnya yang belum pernah ia temui bahkan dipeluknya.

Novel Non-Fiksi yang Menyayat Hati

Re: mungkin memang sebuah novel non-fiksi sama seperti novel-novel lainnya yang bertebaran di toko buku. Tetapi yang membuat buku ini berbeda adalah basisnya yang berasal dari karya ilmiah atau skripsi, diubah dengan gaya bahasa sastra yang ringan dan mudah dimengerti.

Tak hanya itu, lewat buku Re: pembaca juga diajak untuk mengenal istilah-istilah dalam pelacuran dan kriminologi yang mungkin selama ini hanya bisa ditemui di buku-buku tertentu. Tapi dalam buku ini Maman mengaitkannya dengan kondisi serupa yang dialaminya ketika menyusun karya ilmiah tersebut.

Meski dikemas dengan gaya seorang Maman yang juga seorang jurnalis, tetapi beberapa bagian di novel ini membuat pembaca ikut terenyuh dan merasa miris dengan kehidupan perempuan 'malam' yang kerap dianggap tak berharga. Buku Re: memang pertama terbit pada 2016 lalu, bahkan ceritanya berlatar belakang akhir tahun 1989, tapi kondisi saat itu nyatanya masih sangat relate dengan apa yang terjadi di era ini.

Merayakan Hari Perempuan Sedunia, buku Re: seakan menjadi pengingat bahwa masih ada perempuan yang terbelenggu dalam jeratan dunia malam yang kejam. Ini adalah pekerjaan rumah panjang yang harus dilalui oleh masyarakat kita dan sepertinya jauh dari kata usai.

(DIR/tim)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS