Interest | Art & Culture

Review Novel Rapijali: Satu Lagi Karya Dee yang Wajib jadi Film

Selasa, 08 Jul 2025 20:30 WIB
Review Novel Rapijali: Satu Lagi Karya Dee yang Wajib jadi Film
Review Buku 'Rapijali'/Foto: Istimewa
Jakarta -

Pernah membayangkan, betapa menggugahnya sebuah novel yang menjadikan musik sebagai benang merah cerita? Pengalaman membaca yang akan terasa imersif ini bisa dirasakan dalam trilogi Rapijali, karya Dewi 'Dee' Lestari.

Bukan sekedar novel drama, Rapijali merupakan hasil perpaduan emosi yang merdu; melibatkan nada-nada minor yang meresap isu keluarga, persahabatan, percintaan, dan jati diri, melalui tangga-tangga musikal.

Keunikan Trilogi Rapijali

Tidak seperti kebanyakan seri buku berangkai, yang terbit secara dicicil dalam waktu berjauhan, seluruh trilogi Rapijali terbit ditahun yang sama, yaitu 2021. Buku pertamanya, Rapijali 1: Mencari, diterbitkan pada bulan Februari oleh Bentang Pustaka. Buku keduanya, Rapijali 2: Menjadi menyusul pada Juli, sedangkan buku Rapijali 3: Kembali beredar di bulan penutup tahun: Desember.

Ketiga seri Rapijali ini menceritakan perjalanan Ping, seorang gadis asal desa Batu Karas, Pangandaran. Dikisahkan, Ping kecil tumbuh besar bersama sang Kakek (Yuda Alexander), yang mengenalkannya pada dunia musik, sekaligus  mengajarkannya bermain instrumen.

Hidup Ping kemudian berubah 180 derajat, ketika sang kakek meninggal dunia. Ia pun harus pindah ke ibu kota; memulai petualangannya sendirian, baik sebagai seorang remaja yang tengah mencari jati diri sekalgus memulai mimpi menjadi seorang musisi.

Cerita Ping di dalam trilogi Rapijali ini dikemas beriringan dengan proses penciptaan lagu, laiknya seorang musisi sungguhan. 'Dee' menalikan kegelisahan sang karakter utama dengan proses pemuatan chord, lirik, hingga bagaimana lagu tersebut disajikan dalam sebuah pentas.

Menariknya, setiap lagu yang menjadi bagian di dalam cerita Rapijali ini benar-benar ditulis langsung oleh Dee sendiri. Interpretasi dan aransemen musiknya pun dibuat sedemikian persis dengan alur novelnya. Hal ini menambah pengalaman imersif saat membaca Rapijali, karena seluruh lagu di dalam cerita juga telah dialihwahanakan ke dalam produksi musik, yang bisa didengarkan secara bebas melalui kanal YouTube Trinity Optima Production, atau dengan mengakses "Rapijali Book Soundtrack" di Spotify.

Karakter yang Kuat dan Penuh Warna

Rapijali tidak hanya menempatkan sedikit karakter sebagai pembawa cerita—sebagaimana novel pada umumnya. Di dalam trilogi ini, Dee telah menyiapkan sejumlah karakter dengan latar dan konflik yang berbeda-beda, sehingga semesta Rapijali, yang tidak hanya berfokus kepada Ping, melainkan saling dukung dari berbagai arah, tanpa menghilangkan esensi dari cerita utama. 

Sebut saja, kisah cinta bak "langit dan bumi" yang dialami sepasang karakter bernama Rakai dan Jemima, di mana konflik status sosial menghalangi romansa yang menyatukan keduanya. Ada juga sudut kisah retrospektif dari Ayah kandung Ping, tidak kalah menarik untuk dibahas. Pada satu titik, penemuan ini menyisakan cinta dan luka, yang ternyata berdampak bagi kehidupan banyak tokoh di dalam Rapijali.

Boleh dibilang, tumpang tindih plot yang berjalan dinamis di sepanjang semesta Rapijali ini membuatnya sulit untuk ditinggalkan. Alih-alih bisa puas dan berhenti di satu buku saja, rangkaian yang saling terkoneksi pada ketiga serinya malah akan membangkitkan adiksi: untuk membaca lebih lanjut secara detail pada setiap bagian. 

Saya sendiri merasakan betapa intens dan menagihnya cerita Rapijali. Karenanya, kebiasaan saya membaca, yang tadinya hanya dilakukan sewaktu senggang sepenuhnya berubah. Demi menamatkan serinya—secara berurutan—saya sampai rela menyisihkan waktu di awal pagi dan di penghujung malam; setiap hari, tanpa terlewat, sampai akhirnya tuntas. 

Konflik yang Bertumbuhkembang

Secara singkat, cerita di dalam Rapijali 1: Mencari dan Rapijali 2: Menjadi, menceritakan penjajakan masa remaja dari karakter-karakter sentralnya. Masing-masing problematika geng 'Rapijali', dari yang terasa internal, menyangkut pertemanan, hingga cita-cita nekat mereka sebagai anak sekolahan yang mengikuti perlombaan musik terdapat di bagian ini. Sementara pada bagian yang paling tebal, yakni 776 halaman Rapijali 3: Kembali, perjalanan geng 'Rapijali' di masa dewasa akan menjadi latar ceritanya.

Kompleksitas yang dialami masing-masing tokoh sentral di dalam Rapijali juga baru benar-benar mengalami klimaks pada bagian penghujung. Di mana, perjalanan karir dari masing-masing, yang tidak bisa dilepaskan dari kisah perlombaan di masa lampau, pada pangkalnya mengakibatkan suatu pertemuan yang mencerahkan bagi pihak-pihak terlibat.

Penting untuk dicatat, di dalam Rapijali, Dee tidak hanya menyajikan drama dengan kompleksitas dan musik, tetapi juga sarat humor. Pada beberapa rangkai cerita misalnya, Dee cermat membingkai kelakuan karakter bernama Bi Lilis, yang obesesif dengan obat diet dari seorang dukun—agar tidak harus menerapkan pola makan dan hidup sehat.

Tanpa mengurangi keseriusan desain lagu dan musik yang melekat di dalam cerita, Dee juga pandai menabrakkan karakter Inggil, yang kental Jawa, dalam melafalkan kalimat-kalimat asing. Terkhusus lewat seorang Inggil, keriangan di antara drama panjang Rapijali juga terhantarkan dengan brilian.

Bagian yang menceritakan kelakuan Inggil dalam memainkan akronim, misalnya, seperti menjadi tanda bahwa tawa akan segera meledak, tanpa mengurangi esensi cerita. Bisa disimak, walaupun kegemaran Inggil bermain akronim kerap menimbulkan keributan para personil lain, dan membuatnya menjadi target amukan, pada akhirnya kebiasaan ini pula yang menegaskan nama 'Rapijali'—yang dipungut Inggil dari masing-masing huruf depan dari keenam nama anggotanya. 

Lain dari itu, sejatinya novel ini mengangkat konflik yang sangat pelik, seperti halnya isu keluarga yang agak sensitif untuk dibaca remaja. Namun demikian, berkat penggunaan bahasa yang ringkas dan mudah dimengerti, urusan yang sensitif, atau bahkan teknikal jadi bisa lebih dipahami.

Memang, akan membutuhkan banyak waktu dan tenaga untuk melahap lebih dari 1000 halaman trilogi Rapijali. Akan tetapi, saya sendiri sebagai pembaca yang kadang mudah bosan dan lelah, bisa menjamin: membaca ketiga buku tersebut terasa seperti mengikuti sungai yang mengalir deras. Arusnya lancar, tanpa bertele-tele dan tidak berlebihan, serta punya ruang yang cukup banyak untuk memantik imajinasi pembaca.

Pelajaran yang dapat Dipetik

Apabila tuntas mengikuti cerita novel ini dari awal hingga akhir, dapat kita pelajari bagaimana proses hidup karakter-karakter tersebut, yang semula penuh ego dan sarat dengan pilihan yang salah, pada akhirnya tetap membawa mereka pada suatu titik balik kehidupan, yang ditemukan bersama-sama ketika mereka tidak menyerah dengan diri masing-masing.

Rasanya saya seperti ikut merasakan kehidupan seumur hidup tokoh-tokoh dalam cerita, yang akhirnya berhasil mencapai makna tertinggi dalam permasalahan mereka. Yakni, memahami hal yang paling penting dan paling mereka butuhkan dalam hidup.

Pada realitanya, menyimak kisah geng 'Rapijali' serupa melihat proses diri sendiri. Di mana, saya yang juga mengalami hal-hal serupa seperti menghadapi masalah keluarga maupun percintaan, seperti mendapat teman berbagi dan mencontek jawaban. Maksudnya, saya seperti terbantu dalam menyelesaikan masalah yang tengah dihadapi berkat kemauan masing-masing karakter untuk memahami satu sama lain.

Buku ini menemani saya melalui proses berat. Lebih-lebih, buku ini juga membatu saya melunturkan ego dalam diri, dan mulai jujur mendengarkan hati yang terdalam. Tentunya, dengan bonus: soundtrack yang tak kalah indah ciptaan Dee.

***

Buku Rapijali tersedia di berbagai toko buku online dan offline. Jangan lupa membeli cetakan yang asli, dan selamat membaca!

Penulis: Tiara Lovita Ginting

*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.

(ktr/RIA)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS