Interest | Art & Culture

Review 'Fair Play': Drama Perkantoran yang Menguliti Male Fragility

Kamis, 12 Oct 2023 14:28 WIB
Review 'Fair Play': Drama Perkantoran yang Menguliti Male Fragility
Foto: Istimewa
Jakarta -

Perkawinan antara psychological thriller dengan percintaan yang membara tentu bukan sesuatu yang baru dalam film-film Hollywood. Beberapa contohnya adalah Basic Instinct dan Eyes Wide Shut yang populer di era 90an, lalu ada juga Gone Girl (2014) karya David Fincher yang langsung menjadi favorit para pencinta thriller. Tahun ini, Fair Play yang pertama kali tayang di Sundance Film Festival lalu tayang di Netflix berhasil menjadi salah satu film yang menarik perhatian kritikus.

Fair Play adalah debut penyutradaraan film panjang dari Chloe Domont yang bermula sebagai kisah percintaan, lalu berakhir sebagai kisah persaingan yang sengit dan toxic. Dalam filmnya ini, Chloe memilih lingkungan kerja Wall Street yang terkenal bengis sebagai latar kisah cinta pasangan muda yang ambisius. Tapi lebih dari itu, Chloe juga mencoba menggambarkan realita perempuan yang bekerja di industri yang maskulin dan didominasi oleh laki-laki.

Drama Perkantoran yang Brutal

Di awal film, kita diperkenalkan dengan pasangan muda Emily (Phoebe Dynevor) dan Luke (Alden Ehrenreich) yang sedang dimabuk cinta dan akhirnya bertunangan. Tapi potret percintaan yang manis ini hanya bertahan selama beberapa menit, sebelum mereka kembali menghadapi realita. Di sebuah perusahaan pengelola investasi ternama di New York, Emily dan Luke yang bekerja sebagai analis harus berpura-pura menjadi rekan kerja biasa. Tak ada seorang pun yang tahu mereka berkencan, lantaran hal ini dilarang oleh kebijakan perusahaan.

Ketika ada Portfolio Manager yang dipecat, Emily menyampaikan rumor yang didengarnya kepada Luke, bahwa Luke akan mendapat posisi tersebut. Tapi ternyata, posisi itu malah diberikan kepada Emily. Kabar yang seharusnya disambut secara gembira itu justru kotak pandora yang mengubah relasi pasangan tersebut.

Meski awalnya Luke mengaku bangga dengan prestasi Emily, seiring waktu ia mulai menunjukkan perubahan sikap. Luke bahkan secara gamblang menunjukkan keraguan bahwa Emily layak mendapatkan promosi jabatan karena kompetensinya-dan bukan karena kecantikan ataupun daya tarik seksual. Ketegangan pun muncul hingga akhirnya memuncak di akhir cerita dengan klimaks yang penuh ledakan emosi.

Menguliti Rapuhnya Ego Laki-laki

Film ini menggambarkan betapa kejamnya persaingan di Wall Street; tak ada ruang untuk kesalahan, siapapun bisa ditendang keluar kapan saja, dan taruhannya amatlah besar. Tapi kekejaman ini tak ada apa-apanya dibandingkan dengan seksisme yang harus dihadapi pekerja perempuan. Industri finansial, secara khusus Wall Street, dikenal sebagai industri yang didominasi oleh laki-laki.

Realita ini ditunjukan oleh Domont secara teliti dan elegan lewat karakter Emily, yang diperankan secara brilian oleh Phoebe Dynevor. Nyaris semua pekerja di perusahaan investasi itu adalah laki-laki. Ketika Emily menduduki posisi sebagai Portfolio Manager, lambat laun ia mulai mengubah perilakunya. Apapun dilakukan Emily agar ia dianggap sebagai perempuan-dan atasan-yang cool (atau maskulin); mulai dari pergi ke strip club dengan koleganya, mencoba relate dengan humor yang seksis, hingga mengubah penampilannya.

Tak hanya itu, Domont juga berhasil menggambarkan rapuhnya ego laki-laki lewat karakter Luke, yang perubahan karakternya ditampilkan secara perlahan dan subtil. Sejak Emily mengabarkan dirinyalah yang mendapat kenaikan jabatan, Luke semakin menunjukkan sifatnya yang egois, insecure, dan seksis. Ego yang rapuh ini akhirnya menjadi racun, baik bagi Luke maupun Emily. Semakin Luke menunjukkan kerapuhannya, semakin kejam juga perbuatannya kepada Emily.

Fair Play sebenarnya memiliki premis yang sederhana, alurnya pun hanya fokus pada dua karakter utama yaitu Emily dan Luke. Tapi kombinasi antara naskah yang matang serta akting yang brilian dari Phoebe dan Aiden membuat film ini terasa tajam dan menggigit. Isu seksisme dan male fragility pun berhasil ditampilkan secara halus tapi tetap menohok. Alih-alih menggunakan formula monolog banal yang berpotensi viral-yang sering ditemukan dalam film Netflix-Domont memilih untuk menunjukkannya lewat dialog yang substansial dan realistis.

Pendekatan close-up terhadap hancurnya sebuah hubungan akibat male fragility adalah sesuatu yang jarang ditemui dalam film-film Hollywood. Dan Domont mampu mengemasnya secara elegan sekaligus efektif ke dalam film drama perkantoran yang menegangkan. Hal ini membuat Fair Play sebagai salah satu film paling menyegarkan yang wajib ditonton tahun ini.

(ANL/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS