Di Indonesia, bencana alam bukan sekadar berita sesekali, melainkan ritme yang terus berulang. Mulai dari gempa bumi, banjir, longsor hingga kebakaran hutan. Semua hadir silih berganti dan memengaruhi cara kita melihat masa depan. Bagi generasi muda, terutama Gen-Z yang tumbuh bersama smartphone dan notifikasi berita, informasi bencana datang tanpa filter.
Akibatnya, muncul fenomena baru disaster anxiety gabungan rasa takut, cemas, dan waspada berlebihan ketika menghadapi resiko bencana. Fenomena yang dulu dianggap pinggiran kini berubah menjadi pengalaman emosional yang semakin umum.
Namun, di sisi lain, Gen-Z juga dikenal sebagai generasi paling tanggap, paling cepat belajar, dan paling adaptif terhadap perubahan. Pertanyaannya kini bukan lagi "Mengapa mereka cemas?", tetapi "Bagaimana kecemasan itu bisa diolah menjadi kecerdasan dan aksi nyata?"
Ilustrasi cemas/ Foto: Andres Ayrton/Pexels |
Fenomena Eco-Anxiety dan Disaster Anxiety: Dua Emosi yang Beririsan
Generasi yang lahir antara 1997-2012 tumbuh dalam dunia yang serba terhubung. Ketika ada gempa di Maluku, notifikasinya muncul di ponsel anak Jakarta. Saat banjir bandang terjadi di Sumatera, videonya langsung viral dalam hitungan menit. Disaster content seperti ini cepat menyebar, sering kali tanpa konteks yang tepat, sehingga menimbulkan bias persepsi: "bencana terjadi setiap hari di mana-mana."
Penelitian global menunjukkan bahwa paparan informasi berlebih (terutama yang visual dan dramatis) meningkatkan perasaan rentan, meski seseorang tidak berada dalam area risiko. Di Indonesia, di mana bencana memang terjadi lebih sering dibanding banyak negara lain, paparan ini berubah menjadi beban psikologis. Gen-Z mulai bertanya:
"Kalau hari ini gempa di sini, besok di mana lagi?" "Bagaimana kalau saat aku tidur terjadi gempa besar?"
Pertanyaan seperti ini walau wajar seringkali tidak mendapat ruang untuk dipahami dan dibicarakan.
Eco-anxiety merujuk pada kecemasan terhadap perubahan iklim dan masa depan lingkungan. Sementara disaster anxiety lebih spesifik pada rasa takut terhadap kejadian bencana alam. Di Indonesia, kedua fenomena ini saling tumpang tindih banjir yang memburuk akibat perubahan iklim, cuaca ekstrem yang sulit diprediksi, atau naiknya permukaan air laut di kota-kota pesisir.
Gen-Z termasuk kelompok paling vokal soal isu ini. Mereka mengikuti akun BMKG bahkan sampai mencari tahu pergerakan lempeng tektonik. Kecerdasan informasi yang tinggi ini menjadi berkah sekaligus tantangan. Banyak dari mereka merasa bertanggung jawab untuk "selalu tahu", padahal otak manusia punya kapasitas terbatas untuk menanggung kecemasan yang bersifat terus-menerus.
Inilah yang menjadikan disaster anxiety bukan sekadar ketakutan sesekali, melainkan gejala emosional yang tinggal bersama mereka sehari - hari.
Banjir Sumatera./ Foto: Antara |
Cara Gen-Z Mengolah Ketakutannya
Kecemasan terhadap bencana tidak muncul begitu saja. Banyak anak muda tumbuh dengan cerita keluarga tentang gempa besar, banjir tahunan, atau evakuasi mendadak membentuk memori kolektif yang membuat risiko terasa dekat, bahkan ketika mereka berada di tempat aman. Paparan visual bencana di media sosial kemudian memperkuat rasa rentan itu.
Namun, jejak trauma inilah Gen-Z justru menemukan ruang untuk bergerak. Mereka mengolah ketakutan menjadi dorongan belajar: membuat konten edukasi mitigasi, memeriksa rumor bencana, hingga membangun aplikasi kebencanaan berbasis data. Kecemasan yang dulu membebani kini mereka transformasikan menjadi aksi: komunitas relawan digital, thread penjelasan ilmiah, hingga inovasi teknologi yang membantu publik memahami risiko.
Gen-Z tidak lagi hanya mewarisi cerita tentang bencana-mereka memecah siklus ketakutan itu dengan mengambil peran, menciptakan pengetahuan, dan menunjukkan bahwa trauma kolektif dapat menjadi bahan bakar ketangguhan baru.
Menghadapi risiko bencana membutuhkan lebih dari sekadar kewaspadaan. Namun, menuntut ketahanan mental. Gen-Z dapat mengelola disaster anxiety dengan beberapa langkah sederhana namun efektif: mengurasi informasi dari sumber terpercaya, memahami dasar-dasar mitigasi, dan menyiapkan emergency kit untuk meningkatkan rasa siap.
Latihan evakuasi kecil di rumah juga membantu membangun kepercayaan diri, sementara berbagi cerita dengan teman atau komunitas dapat meredakan tekanan emosional. Dengan strategi yang tepat, kecemasan tak lagi menguasai, tetapi menjadi pijakan untuk hidup lebih tenang dan tanggap.
Dari Ketakutan Kolektif Menuju Ketangguhan Kolektif
Indonesia mungkin negara rawan bencana, tetapi ia juga negara dengan solidaritas sosial paling kuat di dunia. Ketika bencana datang, warganya bergerak cepat: dari donasi, gotong-royong bersih puing, hingga mendirikan dapur umum. Di era digital, solidaritas itu semakin diperkuat dengan kecepatan informasi dan kreativitas anak muda.
Gen-Z berada di garis depan transformasi ini. Mereka bukan generasi yang ingin hidup dalam ketakutan. Mereka ingin memahami, ingin bersiap, dan ingin berkontribusi. Mereka mengubah rasa cemas menjadi ruang belajar; mengubah rasa takut menjadi inovasi; dan mengubah ketidakpastian menjadi gerakan yang membangun masa depan yang lebih tangguh.
Pada akhirnya, disaster anxiety bukan tanda kelemahan melainkan respons alami dari generasi yang sangat peduli pada bumi dan masa depannya. Yang diperlukan adalah mekanisme yang tepat untuk mengolah kecemasan itu menjadi kecerdasan kolektif.
Sebab di negara yang dikelilingi risiko, ketangguhan bukan pilihan. Tetapi sudah menjadi gaya hidup. Dan Gen-Z sedang membangun gaya hidup itu setiap hari, satu konten, satu aksi, satu percakapan pada satu waktu.
Penulis: Deandra Fadilah
Editor: Dian Rosalina
*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*
(ktr/DIR)
Ilustrasi cemas/ Foto: Andres Ayrton/Pexels
Banjir Sumatera./ Foto: Antara