Interest | Wellness

Saat Krisis Iklim Tak Hanya Soal Cuaca, Tapi juga Kesehatan Mental

Senin, 03 Nov 2025 18:00 WIB
Saat Krisis Iklim Tak Hanya Soal Cuaca, Tapi juga Kesehatan Mental
Ilustrasi khawatir dengan perubahan iklim di masa depan. Foto: Pexels
Jakarta -

Pagi itu, matahari belum tinggi, tapi udara sudah menekan dada. Kipas angin berputar, AC masih menyala, tapi tetap saja rasanya pengap. Di linimasa media sosial, ramai soal berita tentang gelombang panas di Asia, kebakaran hutan di Kalimantan, dan banjir di Sulawesi muncul berselang - seling dengan video lucu dan promosi skincare.

Di tengah tumpukan notifikasi itu, ada satu pertanyaan yang diam-diam terasa mengganjal di kepala. "Kalau bumi terus begini, kita masih punya masa depan nggak sih?"

Kecemasan ini bukan hal kecil. Menurut Pew Research Center (2023), lebih dari 68% Gen Z di seluruh dunia mengaku "sering merasa khawatir" soal masa depan bumi. Di Indonesia, topik "climate anxiety" mulai ramai di media sosial bukan dalam bentuk diskusi akademis, tapi lewat curhatan dan meme tentang betapa sulitnya merasa optimis.

Bagi banyak generasi muda, krisis iklim bukan lagi teori di buku sekolah atau topik debat politik global. Namun, sudah masuk ke ruang paling personal kesehatan mental.

.Ilustrasi kepedulian terhadap lingkungan/ Foto: Markus Spiske/Pexels

Krisis yang Tak Terlihat Saat Alam dan Mental Sama - sama Terluka

Perubahan iklim sering dibicarakan lewat angka. Kenaikan suhu global, tingkat emisi atau data deforestasi. Tapi di balik grafik dan laporan PBB, ada bentuk krisis lain yang tak kalah serius: kelelahan emosional kolektif.

Kita melihat petani kehilangan panen karena kekeringan yang makin panjang. Nelayan harus melaut lebih jauh karena ikan menjauh dari pantai. Di kota, anak muda menatap langit abu-abu dan merasa kecil di hadapan sistem besar yang sulit diubah.

Menurut American Psychological Association (APA, 2022), climate anxiety adalah rasa takut kronis terhadap kehancuran lingkungan. Gejala ini bisa muncul dalam bentuk stres, insomnia, rasa bersalah, hingga keputusasaan.

Ada sesuatu yang menakutkan dari melihat bencana bukan lagi sebagai berita, tapi sebagai pola hidup baru. Hujan ekstrem yang dulu jarang terjadi kini terasa rutin. Musim kemarau semakin panjang. Air bersih makin sulit. Di titik ini, rasa takut menjadi reaksi rasional karena kita hidup di dunia yang terasa makin tidak pasti.

Ada masa ketika peduli pada bumi terasa seperti kewajiban moral. Tapi kini, bagi banyak anak muda, kepedulian itu juga datang dengan rasa lelah. Mereka tumbuh di tengah badai berita krisis iklim, laporan suhu global, dan narasi "masa depan di ujung tanduk." Di satu sisi, mereka tahu pentingnya aksi kecil: membawa tumbler, menanam pohon, mengurangi plastik.

Tapi di sisi lain, muncul rasa bersalah yang sulit dijelaskan seolah apa pun yang dilakukan tidak pernah cukup. Dunia terasa kebakaran besar, sementara mereka hanya membawa ember kecil. Di titik inilah kepedulian berubah jadi beban emosional. Tidak karena kurang cinta pada bumi, tapi karena terlalu banyak cinta yang tak tahu harus disalurkan ke mana.

Psikolog lingkungan Maria Ojala (2021) menyebut kondisi ini sebagai "constructive worry" kecemasan yang muncul bukan karena tidak peduli, tapi justru karena peduli terlalu dalam. Ketika rasa khawatir akan masa depan bumi tidak dikelola dengan sehat, ia bisa berubah menjadi eco-paralysis: perasaan lumpuh, putus asa, dan kehilangan arah untuk bertindak.

Kita bisa melihat gejala ini di mana-mana: di linimasa media sosial yang penuh tagar #ClimateAnxiety, di obrolan ringan yang diselipkan tawa getir tentang "planet yang makin rusak." Di balik semua itu, ada keresahan kolektif yang nyata generasi muda yang tumbuh dengan rasa tanggung jawab besar terhadap krisis yang bukan mereka ciptakan.

Namun, mungkin di sinilah sisi manusiawi dari krisis iklim: bahwa peduli pun bisa melelahkan. Tapi justru dari kelelahan itu, kita belajar bahwa perjuangan mencintai bumi bukan soal menjadi sempurna, melainkan soal bertahan dan terus mencoba, meski tahu hasilnya belum pasti.

.Ilustrasi anak muda terkena climate anxiety/ Foto: Veectenzy

Sains yang Menyembuhkan dari Data ke Rasa

Selama ini, sains sering dianggap dingin berjarak, penuh istilah, dan tak menyisakan ruang untuk emosi. Namun di tengah krisis iklim, kita justru butuh sains yang lebih manusiawi. Bukan sekadar grafik dan angka yang menunjukkan suhu bumi naik 1,5°C melainkan narasi yang bisa dirasakan: bahwa di balik angka itu ada petani yang gagal panen, anak - anak yang sesak napas karena polusi, dan keluarga yang kehilangan rumah karena banjir.

Beberapa negara kini membentuk tim climate communication, berisi ilmuwan, jurnalis, dan psikolog yang bertugas menerjemahkan data menjadi empati. "Yang kita butuhkan bukan hanya data emisi, tapi ruang untuk bicara tentang rasa kehilangan dan harapan," ujar Caroline Hickman, psikolog dari University of Bath yang meneliti eco-anxiety global.

Di Eropa dan Amerika Serikat, muncul pula gerakan climate therapy sesi konseling bagi orang yang cemas akan masa depan bumi. Sementara di Indonesia, benihnya mulai tumbuh lewat komunitas hijau kampus, acara eco-talk, dan gerakan menulis reflektif tentang lingkungan. Krisis iklim tidak akan sembuh hanya dengan kebijakan energi atau pajak karbon, tapi dengan empati sosial.

Perubahan tidak datang dari rasa bersalah, melainkan dari komunikasi yang menghubungkan bukan menghakimi. Dan mungkin, kita memang belum bisa langsung menyelamatkan bumi, tapi kita bisa mulai menyelamatkan kewarasan diri.

Bagi sebagian orang, itu berarti ikut aksi bersih pantai bagi yang lain, cukup dengan menyiram tanaman di halaman atau mengikuti kelas edukasi iklim online. Tidak semua orang harus jadi aktivis besar kadang yang kita butuhkan hanyalah ruang untuk tetap peduli tanpa terbakar rasa bersalah.

"Climate anxiety bukan tanda kelemahan," tulis Maria Ojala. "Tapi bukti bahwa kita masih peduli."

Krisis iklim memang global, tapi cara menghadapinya selalu personal. Sains bisa memberi arah, namun empati memberi tenaga untuk bertahan. Jadi mungkin, yang kita butuhkan bukan lagi seruan "selamatkan bumi sebelum terlambat", tapi ajakan yang lebih sederhana: "Mari belajar tetap tenang di dunia yang panas." Sebab di tengah ketidakpastian ini, keberanian sejati bukanlah tidak takut melainkan tetap peduli meski takut.

Penulis: Deandra Fadillah
Editor: Dian Rosalina

*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*

(ktr/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS