Di kota-kota besar Indonesia, terutama Jakarta, semakin mudah menemukan seseorang mengetik di depan laptop dengan segelas iced matcha di meja—bukan americano, apalagi espresso. Matcha, bubuk teh hijau khas Jepang yang biasa tersaji padu dengan susu dan es, kini bukan sekedar variasi minuman tetapi telah menjadi simbol gaya hidup.
Fenomena gemar meminum matcha ini juga bisa dipandang lebih dalam daripada sekadar preferensi dan selera. Ketertarikan muda-mudi terhadapnya justru mencerminkan perubahan besar dalam cara generasi yang lebih muda ketika bekerja, beristirahat, menampilkan diri di media sosial-hingga memaknai kesehatan mental. Jika americano, hingga espresso, merupakan minuman era "work hard", matcha mungkin adalah simbol generasi baru yang memilih "live well".
Tren ini dibuktikan dengan industri matcha yang bertumbuh pesat. Menurut laporan Grand View Research, pasar matcha global tumbuh 8,5% per tahun (CAGR) dan diproyeksikan terus naik hingga 2030, didorong oleh konsumen muda yang mulai mengurangi konsumsi kopi berat.
Riset NielsenIQ juga menunjukkan, bahwa Gen-Z adalah kelompok paling "health-driven", dengan 85% di antaranya menyatakan kesehatan dan mental well-being mempengaruhi pilihan makanan dan minuman, di mana matcha menjadi salah satu yang dianggap merepresentasikan pandangan tersebut.
Mengapa Tren Ini Terjadi?
Perubahan konsumsi dari kopi yang pekat menuju segelas matcha yang menyegarkan tidak terjadi dalam semalam. Ada beberapa faktor yang mendorong matcha naik kelas, dari minuman tradisional Jepang menjadi minuman utama di ruang kerja, co-working space, dan kafe-kafe mapan kota Jakarta.
1. Alam Bawah Sadar Gen-Z yang Lelah
Americano identik dengan produktivitas. Karakter dan rasanya terkesan agresif, pahit, dan efisien. Sementara itu, espresso mencirikan satu karakter minuman yang cocok bagi orang-orang yang lugas dan butuh kelugasan. Di lain sisi, tren matcha justru memiliki citra yang lebih fit bagi Gen-Z, yang tumbuh dalam realitas berbeda.
Warna dan aroma matcha yang khas serta lebih refreshing disebut mampu mengimbangi kebutuhan Gen-Z, yang menurut temuan Intel Study: 47% di antaranya punya kecenderungan merasa stress setiap hari.
Selain itu, karakter matcha yang tampak lebih soft ketimbang kopi, juga dianggap bisa memenuhi kebutuhan kafein Gen-Z. Hal ini didukung data Global Wellness Institute, yang mencatat sebanyak 73% responden Gen-Z mulai mengurangi kopi secara drastis, karena rawan memicu anxiety dan gangguan tidur.
2. Pelarian Elegan
Kandungan L-Theanine di dalam matcha diklaim dapat menenangkan sistem saraf, menghasilkan energi lebih stabil tanpa deg-degan, maupun "crash" setelah dua jam-seperti usai menyesap secangkir kopi yang strong.
Bagi generasi yang begitu sadar dengan kesehatan mentalnya, sensasi yang ditawarkan matcha ini terasa lebih logis untuk dipilih dan dinikmati.
Berlawanan dengan efek meminum kopi, yang sanggup meningkatkan kecepatan bekerja, tetapi cepat pula habis "dayanya", matcha justru mampu menghadirkan efek yang lebih lembut dan pelan, tetapi stabil sepanjang hari.
Hal ini seperti cocok dengan mindset yang tengah dipercayai oleh generasi baru, di mana produktivitas bukan lagi "seberapa cepat bekerja" tapi "seberapa sehat bertahan".
3. Mendukung Estetika Media Sosial
Tak bisa dimungkiri: matcha selalu tampak cantik di kamera. Warna hijaunya yang khas, mampu menyatu padu dengan foam yang lembut, terlebih saat disajikan pada gelas bening yang dipercantik sedotan stainless. Semua hal itu amat cocok dengan preferensi visual ala TikTok dan Instagram Reels yang mengedepankan estetika.
Di TikTok saja, tagar #matcha sudah ditonton lebih dari 7,5 miliar kali, sementara video iced matcha sering masuk kategori ASMR, Study Vlog, dan "That Girl aesthetic."
Menanjaknya popularitas matcha ini tentu bukan karena faktor kesalahan americano. Secangkir espresso yang ditambahkan air itu tidak sama sekali punya blunder. Hanya saja, magnet visual keduanya memanglah berbeda.
Di samping itu, kafe-kafe yang menjajakan kopi-dan kini diperkuat dengan menu matcha andalan—juga menangkap momentum ini secara lebih cermat. Di mana varian matcha di sejumlah coffee shop ternama kini telah dilengkapi sederet varian matcha inovatif. Mulai dari matcha latte, dirty matcha, hingga oat milk matcha.
Tren ini pun bisa dipahami lebih dari sekadar strategi musiman, melainkan tapi adaptasi budaya dan kebiasaan pengunjung di era digital yang merasakan tampilan visual minuman sebagai salah satu daya tarik berbasis pengalaman, yang tak kalah penting dengan faktor rasa.
3. Algoritma Lifestyle: Kita Makan Apa yang Kita Lihat
Media sosial kiwari menyerupai mesin rekomendasi gaya hidup. Data Deloitte menemukan, 52% Gen-Z saat ini menentukan pilihan konsumsi berdasarkan konten media sosial, bukan iklan tradisional.
Pangkalnya, ketika tren matcha naik signifikan di media sosial, konten bergaya review kafe kian bermunculan, bersamaan dengan atraksi aesthetic lifestyle sampai calm productivity yang dipromosikan oleh influencer wellness, dan jarang absen dari laman For Your Page.
Algoritma yang saling mendukung satu sama lain ini pun terus mempercepat penyebaran tren. Hasilnya? Terdapat lebih banyak orang yang mengikuti apa yang lebih sering dilihat dan diperlihatkan. Satu siklus yang terus berulang sejak eranya kopi susu gula aren, boba, atau bahkan thai tea. Bedanya, matcha kini datang dengan embel-embel yang lebih mindful.
Matcha Sebagai Identitas Baru
Ada pergeseran pandang yang cukup menarik dicermati dari popularitas matcha, yang lumayan menggoyangkan asumsi top of mind-nya kopi. Secara lebih interpretatif, jika americano yang mewakili etos hustle culture seperti menjadi pernyataan "I'm busy don't disturb me" dari penikmatnya kepada publik, maka matcha yang mewakili mindfulness culture dengan elegan bisa bilang: "I'm working, but I'm taking care of myself."
Kecocokan matcha dengan Gen-Z ini memang bukanlah kebetulan, apalagi faktor algoritma semata. Google Trends menunjukkan bahwa generasi ini adalah kelompok yang paling sadar kesehatan dalam sejarah konsumen modern. Di mana tren pencarian yang dilakukan oleh kelompok ini lebih berkutat soal kecemasan, burnout, dan self-care, dan jumlahnya terus meningkat lebih dari 200% dalam lima tahun terakhir.
Dengan kata lain: matcha memang bukan lagi sekadar minuman tapi, tetapi juga bisa menjadi ciri dan cerminan karakter sosial. Banyak pecintanya pun sadar, bahwa keputusan untuk menikmati segelas matcha bukan hanya soal rasa, melainkan tentang gaya hidup sehat, pilihan identitas, penanda komitmen merawat diri, hingga sinyal sosial: aku bisa produktif tanpa menyiksa diri, yang selaras dengan dogma baru "Soft is the new strong".
Ketika dicermati lebih jauh, tren matcha ini juga terjadi secara global. Popularitasnya, secara langsung maupun tidak, bisa dikaitkan dengan unsur-unsur pop-kultur Jepang, yang hari ini terus digandrungi. Terhitung dari dominasi pecinta anime dan manga, gaya berpakaian serta gaya hidup minimalis kaum urban Jepang, J-Skincare, sampai tren menu makanan sehat rendah gula dan semangat mindfulness yang telah lama melekat di masyarakat Negeri Sakura.
Matcha juga acap disebut sebagai hasil difusi budaya pada kultur masyarakat urban. Yang mana selalu menuntut pembaruan tren, dan secara sepihak dapat melabeli orang-orang yang tidak mengikutinya itu payah. Polanya tergambar sejak mencuatnya tren minum kopi secara proper awal 2000an, popularitas kopi susu gula aren pada 2010an, juga boba dan variasi minuman manis lainnya pada 2020an.
Kondisi popularitas matcha hari ini juga diperkuat dengan bagaimana budaya pergi ke kedai kopi tidak lagi sekadar minum dan pulang, tetapi duduk bersantai di ruang minimalis-estetis, sambil menikmati obrolan maupun menuntaskan pekerjaan, dan dilengkapi dengan ritual wajib berfoto di sudut cantik dan/atau menampakkan segelas matcha autentik yang berada di atas meja.
Akankah Matcha Bertahan?
Tren dan popularitas sesuatu hal di era digital seperti sekarang terbilang begitu dinamis. Matcha, yang menggantikan posisi minuman viral lainnya pun tidak luput dari bayang-bayang penurunan atau pergantian tren dalam beberapa masa mendatang.
Faktor yang dapat menyebabkan matcha bisa terus bertahan sebagai pilihan utama banyak orang lantas akan kembali pada penikmatnya sendiri. Apakah hanya akan memperlakukan dan menikmati matcha sebagai suatu tren, atau benar-benar mengadopsinya sebagai bagian dari nilai hidup yang akan terus dipertahankan?
Jika matcha hanya digemari sebab mudah viral di media sosial, maka nasibnya bisa seperti minuman manis dari era sebelumnya. Cepat naik, cepat turun. Namun, apabila matcha dapat lebih diimani sebagai bagian dari gaya hidup dan kesehatan banyak orang, mungkin saja ia bisa bertahan lebih lama.
Sampai saat ini, eksistensi matcha sendiri sebenarnya masih kuat: penikmatnya yang kian sadar akan gaya hidup sehat lebih banyak, industri kafe masih terus berkembang, dan media sosial yang mengedepankan estetika dan algoritma masih mendukungnya. Walaupun belum tentu mampu menggantikan fanatisme masyarakat luas terhadap kopi, matcha boleh jadi adalah alternatif yang akan terus digemari banyak orang.
Penulis: Deandra Nurul Fadilah*
(*) Kontributor CXO Media.