Interest | Wellness

Slow Living di Kota Cepat: Apakah Masih Mungkin?

Selasa, 22 Jul 2025 14:00 WIB
Slow Living di Kota Cepat: Apakah Masih Mungkin?
Ilustrasi Slow Living. Foto: Pexels/Andrea Piacquadio
Jakarta -

Kota adalah tempat yang hidup bergerak tanpa henti, sibuk sepanjang waktu, dan tak pernah benar-benar tidur. Bagi banyak dari kita, terutama Gen-Z yang tinggal dan/atau bekerja di kota besar, hari-hari terasa seperti lomba sprint tanpa garis finish. Waktu adalah komoditas langka dan produktivitas jadi standar nilai yang tak terlihat.

Di tengah budaya hustle, muncul satu gagasan yang tampak seperti ironi. Yakni, slow living. Suatu gaya hidup yang mengajak kita untuk melambat, hadir sepenuhnya, dan menemukan makna dalam momen sederhana. Tapi pertanyaannya: di kota yang serba cepat, apakah slow living masih mungkin?

Kita Hidup di Dunia yang Terlalu Cepat

Notifikasi tak henti berdenting. To-do list terasa makin panjang. Istirahat pun jamak diselingi rasa bersalah karena "masih ada yang harus dikerjakan". Tanpa disadari, kita hidup di bawah tekanan untuk selalu produktif.

Data dari American Psychological Association (APA, 2023) menyebutkan bahwa Gen-Z adalah generasi dengan tingkat stress tertinggi dibanding generasi sebelumnya. Di Indonesia, Laporan Katadata Insight Center (2022) mencatat bahwa 52% pekerja muda di kota besar mengalami gejala burnout ringan hingga sedang.

Banyak yang merasa bahwa hidup ini terlalu padat, terlalu cepat, dan terlalu sibuk tapi terus-menerus merasa kurang; kurang berhasil, kurang kaya, kurang bahagia. Pada titik ini, ide slow living seolah datang menawarkan solusi bagi kehidupan—bukan sesuatu yang instan, tapi sebagai ajakan untuk melihat ulang cara kita hidup.

Apa Itu Slow Living?

Slow living bukan berarti hidup dengan kecepatan siput. Gaya hidup ini juga bukan tentang menyerah pada ambisi atau menolak tanggung jawab. Slow living adalah soal kesadaran menjalani hidup dengan ritme yang selaras dengan nilai dan kebutuhan pribadi, bukan dengan tekanan eksternal.

Gagasan slow living sendiri muncul dari gerakan Slow Movement di Italia tahun 1980-an sebagai bentuk protes terhadap budaya fast food. Sejak saat itu, konsep "slow" berkembang; mulai dari slow food, slow travel, hingga slow life.

Di era digital, slow living jadi semacam "perlawanan lembut" terhadap dunia yang makin cepat dan makin bising. Kita melambat bukan karena malas, tapi karena ingin hadir. Melambat berarti memberi ruang untuk bertanya: "Apa yang sedang aku lakukan? Apakah ini penting buatku? Apa yang sedang aku kejar?"

Kesadaran semacam ini perlu dipertimbangkan saat menjalani hidup yang bergerak serba cepat. Sebab tanpa melambat, kita bisa kehilangan arah. Kita hanya terus sibuk tanpa tahu tujuan. Kita selalu lelah tapi tidak tahu apa alasannya.

Slow living mengingatkan kita bahwa hidup bukan sekedar soal hasil, tapi juga soal proses. Melambat juga berarti membangun hubungan yang lebih utuh dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. Kita jadi lebih peka terhadap apa yang membuat kita bahagia, sedih, lelah, atau puas. Dan yang paling penting kita jadi lebih sadar bahwa hidup bukan kompetisi, tapi perjalanan.

Slow Living Masih Mungkin, Tapi...

Tinggal di kota cepat bukan alasan untuk terus terburu-buru; slow living bisa tetap dipraktikkan, meski dengan tantangan. Kuncinya ada pada niat, keberanian untuk pause, dan kemauan untuk mengubah kebiasaan kecil.

Berikut beberapa cara sederhana mempraktikkan slow living di tengah kehidupan kota:

  1. Mulai Hari Tanpa Lari
    Hindari membuka HP begitu bangun. Gantilah dengan rutinitas yang menenangkan seperti minum air hangat, stretching ringan, atau menghirup udara pagi dari jendela. Buka hari dengan tenang, jangan terburu-buru.
  2. Fokus ke Satu Hal Sekaligus
    Multitasking bikin kita merasa sibuk, tetapi justru mengurangi kualitas hasil dan mempercepat kelelahan mental. Coba biasakan single-tasking. Saat makan, ya makan. Saat ngobrol, fokus mendengar. Latih kehadiran penuh.
  3. Kurasi Aktivitas dan Komitmen
    Tidak semua ajakan harus disetujui. Tidak semua peluang harus diambil. Slow living mengajarkan kita untuk bijak memilih, menyisakan ruang dalam jadwal, dan menghargai waktu sebagai aset, bukan jebakan.
  4. Sediakan Waktu Tanpa Layar
    Sisihkan 30 menit hingga 1 jam setiap hari tanpa HP atau laptop. Gunakan untuk berjalan, membaca buku, menulis jurnal atau sekedar bengong. Diam bukan kemunduran kadang justru itu jalan pulang ke diri sendiri.
  5. Praktikkan Refleksi Harian atau Mingguan
    Luangkan waktu untuk merenung. Apa yang membuatmu senang minggu ini? Apa yang membuat kamu lelah? Dengan merefleksikan hidup, kita bisa mengenali pola dan membuat keputusan yang lebih sadar ke depannya.
  6. Nikmati Hal Kecil dengan Penuh Syukur
    Segelas kopi hangat, hujan sore, tawa teman, pelukan keluarga. Slow living mengajak kita untuk memperlambat langkah dan merayakan hal-hal kecil yang sering kita anggap sepele.

Slow Living sebagai Bentuk Keberanian

Melambat di dunia yang cepat adalah keberanian. Saat orang lain sibuk berlomba, kita memilih jalan sendiri. Kita memilih untuk hadir, bukan hanya hadir secara fisik, tapi juga emosional dan mental.

Slow living bukan solusi instan dari semua masalah kehidupan modern. Tapi bisa menjadi permulaan sebuah ruang jeda yang membantu kita menemukan kembali arah, ritme, dan makna.

Jadi, apakah slow living masih mungkin dilakukan di kota cepat? Jawabannya: tentu mungkin saja-asal kita mau mengupayakannya; mungkin kalau kita bersedia mengubah rutinitas kecil; mungkin kalau kita berani memilih hidup yang lebih selaras dengan diri sendiri, bukan sekadar ikut arus.

Karena pada akhirnya, hidup bukan tentang siapa yang paling cepat sampai. Tapi tentang siapa yang paling sadar sedang pergi ke mana.

Penulis: Deandra Nurul Fadilah*

*Isi tulisan ini sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan dari redaksi CXO Media.

(ktr/RIA)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS