Insight | Science

Berlomba-lomba ke Bulan, Apa Urgensinya?

Minggu, 10 Sep 2023 17:30 WIB
Berlomba-lomba ke Bulan, Apa Urgensinya?
Foto: Reuters
Jakarta -

India baru saja menjadi negara keempat yang berhasil mendarat di Bulan, setelah Amerika Serikat, Tiongkok, dan Uni Soviet. Tak hanya itu, wahana antariksa dalam misi Chandrayaan-3 yang diluncurkan oleh Indian Space Research Organisation (ISRO) juga menjadi yang pertama untuk mendarat di kutub selatan Bulan pada 28 Agustus 2023.

Selama ini, sebagian besar area kutub selatan Bulan merupakan area yang masih belum dijelajahi. Melalui misi ini, India berupaya untuk menemukan jejak air yang membeku di permukaan Bulan, yang telah lama menjadi spekulasi di kalangan para ilmuwan. Saat sedang mencari air, moon rover tersebut mendeteksi adanya sulfur di permukaan Bulan, serta alumunium, zat besi, titanium, oksigen, dan kalsium. Tak hanya itu, Chandrayaan-3 juga menemukan bukti adanya aktivitas tektonik atau moonquake di Bulan sejak tahun 1970.

Setelah hampir 2 minggu, moon rover Chandrayaan-3 akhirnya dimatikan dan sekarang sedang dalam keadaan sleep mode. Pasalnya, rover ini bekerja menggunakan daya dari panel surya, sedangkan sinar matahari baru akan muncul lagi pada September 22. Sementara itu, data-data yang didapatkan dari Bulan telah dikirimkan ke Bumi untuk dianalisa.

Sesaat setelah India berhasil mendarat di Bulan, Perdana Menteri India Narendra Modi menyampaikan kegembiraannya atas pencapaian tersebut, yang menurutnya juga adalah kesuksesan bagi manusia. "Saya percaya bahwa semua negara di dunia, termasuk negara-negara global south, mampu mengukir kesuksesan. Kita semua bisa bercita-cita ke bulan dan bahkan melampauinya," ucapnya dikutip dari Live Science.

Pernyataan Narendra Modi tersebut seakan menegaskan bahwa penjelajahan luar angkasa bukanlah milik negara kaya semata. Negara-negara di belahan selatan yang dulunya pernah dijajah, nyatanya juga bisa melakukan apa yang dilakukan AS, Tiongkok, dan Rusia. Bulan sendiri telah lama menjadi incaran berbagai negara-siapapun yang berhasil sampai di Bulan maka dia memegang kunci untuk penjelajahan luar angkasa berikutnya. Mengapa demikian?

Dimulai dari Perang Dingin

Space race atau perlombaan ke luar angkasa dimulai ketika Perang Dingin, saat Amerika Serikat dan Uni Soviet berlomba-lomba untuk menjadi poros dunia melalui dua ideologi yang berbeda-yang satu demokrasi liberal dan yang satu komunisme. Perlombaan ini nyatanya melebar hingga ke luar angkasa, di mana keduanya berkompetisi untuk menjadi yang pertama menjelajahi antariksa, dengan Bulan sebagai garis finish-nya.

Pada 1962, dalam pidatonya yang terkenal, Presiden John F. Kennedy mengatakan bahwa sebelum dekade ini berakhir, Amerika Serikat akan mengirimkan astronot untuk mendarat di Bulan. "We choose to go to the moon in this decade and do other things not because they are easy, but because they are hard-because that goal will serve to organize and measure the best of our energies and skills," ucapnya.

Pada masa Perang Dingin, space race pada dasarnya adalah propaganda Amerika Serikat dan Uni Soviet untuk menjadi negara adidaya nomor satu di dunia. Tapi, pidato Kennedy di atas seakan-akan mengukuhkan bahwa penjelajahan antariksa adalah misi kemanusiaan yang harus ditunaikan demi keberlanjutan masa depan manusia. Sejak saat itu, misi ke luar angkasa menjadi suatu pencapaian yang prestisius bagi negara manapun yang mampu melakukannya.

Perebutan Sumber Daya

Selepas Perang Dingin berakhir, negara-negara di luar Amerika Serikat dan bekas Soviet ikut mencoba mengirim wahana ke Bulan. Namun, penjelajahan antariksa dalam konteks hari ini lebih kompleks dibandingkan saat Perang Dingin. Bukan hanya negara, perusahaan swasta seperti SpaceX milik Elon Musk dan Blue Origin milik Jeff Bezos juga ikut meramaikan perlombaan ini. Sebab, eksplorasi ke Bulan kini bukan lagi tentang siapa yang paling cepat mendarat, melainkan siapa yang pertama menguasai dan memanfaatkan potensi sumber daya yang tersimpan di sana.

Diwawancarai oleh NPR, direktur eksekutif Center for Air and Space Law dari University of Mississippi, Michelle Hanlon, mengatakan bahwa panduan hukum akan semakin dibutuhkan untuk penjelajahan antariksa. Pasalnya, perlombaan ke bulan kini bukan hanya tentang prestige, tapi tentang perebutan sumber daya yang terbatas. Ia menuturkan, luar angkasa sejatinya bebas dijelajahi oleh siapa saja dan tidak ada negara yang berhak mengklaim teritori di sana.

Sementara itu, belum ada regulasi yang secara spesifik mengatur pemanfaatan sumber daya yang ditemukan di luar angkasa. Pada 2015, Presiden Barack Obama mengeluarkan aturan yang berlaku di Amerika Serikat bahwa meski wilayah luar angkasa tidak bisa diklaim, tapi siapapun yang mengekstrak sumber daya dari sana berhak untuk menguasainya dan memanfaatkannya. Aturan ini kemudian juga dikeluarkan oleh Luxembourg, Jepang, dan UAE, serta tercantum dalamĀ Artemis Accords yang menjadi kesepakatan bersama bangsa-bangsa mengenai penjelajahan antariksa.

Berkaca pada konteks di atas, wajar saja pencapaian India dalam mendarat di kutub selatan Bulan menjadi peristiwa bersejarah yang dirayakan oleh seluruh warganya. Apalagi, India berhasil mencetak prestasi tersebut dengan budget yang lebih murah dibanding misi antariksa negara lain, yaitu sekitar Rp1,2 triliun. India memang masih memiliki banyak masalah dalam negeri yang belum terselesaikan, tapi setidaknya pencapaian ini memberikan ruang bagi kemajuan sains dan teknologi-sesuatu yang jarang mendapat spotlight di negara dunia ketiga.

[Gambas:Audio CXO]

(ANL/alm)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS