Kalau ada, sembilan nyawa. Mau samamu saja semuanya. Ini dada isinya kamu. Alamak ini kah jatuh cinta. Rizky Febian & Adrian Khalif - Alamak |
Penggalan lirik lagu Alamak milik Rizky Febian & Adrian Khalif ini menggambarkan euforia jatuh cinta yang membuncah, segalanya terasa menyenangkan. Sementara secara neurosains sendiri menjelaskan, saat seseorang jatuh cinta, otaknya akan melepaskan hormon-hormon seperti dopamin, oksitosin dan serotonin. Hormon-hormon inilah yang meningkatkan suasana hati serta rasa sejahtera.
Namun, apa jadinya ketika cinta yang awalnya berdebar dan memberikan rasa senang lama-lama menjadi hampa? Tidak ada pertengkaran besar, di sisi lain tidak merasakan kebahagiaan berarti, semua terasa sekedar "cukup." Fenomena ini kerap disebut dengan bare minimum relationship.
Bare minimum relationship istilah yang muncul di media sosial, fenomena ini sebenarnya bentuk refleksi dari dinamika sebuah hubungan di era modern. Hubungan yang sering terlihat stabil di permukaan akan tetapi menyisakan kekosongan dalam perjalanannya.
Bare Minimum dalam Hubungan
Secara sederhana bare minimum dalam hubungan diartikan, saat seseorang hanya melakukan hal paling dasar untuk mempertahankan hubungannya. Mereka memberi rasa 'cukup' agar hubungan tidak berakhir. Di samping itu hubungan yang dijalani tidak membawa pertumbuhan bagi kedua belah pihak. Perilaku ini ditandai dengan minimnya komitmen emosional dan intensi jangka panjang.
Di media sosial, istilah ini kerap menjadi perdebatan. Ada yang bilang hal-hal seperti menjemput atau membayar makan adalah sebuah bare minimum. Ada pula yang menilai hal tersebut sudah termasuk effort. Di balik perdebatan itu, muncul pertanyaan yang lebih dalam: apakah perhatian yang kita terima benar-benar tulus atau hanya strategi agar hubungan terlihat baik-baik saja?
Masalah literasi emosional pun berperan. Rendahnya kemampuan mengenali dan memahami emosi membuat seseorang sulit membedakan antara perhatian tulus dan perilaku manipulatif. Dalam beberapa kasus, pasangan bisa saja tampak "peduli" hanya di saat tertentu, supaya bisa mempertahankan kendali atas hubungannya. Kemudian timbullah love bombing.
Taktik manipulasi yang digunakan untuk memikat dan mempertahankan kendali atas seseorang dalam hubungan, membanjiri mereka dengan perhatian, pujian serta gestur secara berlebihan. Misalnya seorang pasangan bersikap manis seperti memberikan bunga, setelah membuatnya menangis. Alih-alih marah tapi yang terjadi justru respon memaafkan dan menilainya bahwa dia telah berusaha memperbaiki diri. Padahal bisa jadi itu bagian dari pola emotional control yaitu memberi kasih sayang setelah "menyakiti" agar kamu bisa tetap bertahan.
Inilah yang seringkali membuat orang keliru memaknai kasih sayang, hanya dengan mengira perhatian sesaat adalah tanda cinta, padahal bisa jadi itu bentuk kompensasi dari hubungan tidak sehat.
Bare minimum seharusnya tidak hanya diukur dari gestur material atau momen manis sesaat, melainkan dari nilai dasar dalam sebuah hubungan seperti rasa hormat, kejujuran, komitmen dan kemauan untuk bertumbuh bersama.
Standar cinta dalam hubungan./ Foto: Ketut Subiyanto/Pexels |
Standar yang Kita Pakai dalam Hubungan
Kemunculan media sosial justru mendukung terbentuknya standar cinta dalam hubungan itu "seragam" alias semua sama. Tiktok dan Instagram menjadi semacam alat, yang menjadikan banyak hubungan terjebak dalam logika perbandingan. Kita melihat pasangan lain mendapatkan bunga atau hadiah kejutan, lalu merasa kurang jika pasangan sendiri tidak melakukan hal sama.
Walhasil, hubungan berubah menjadi transaksional. Seolah cinta bisa dihitung melalui hadiah, menukar kedekatan batin melalui validasi digital. Hubungan berubah menjadi ajang kompetisi, siapa yang paling romantis di depan kamera.
Dalam jurnal berjudul Simmel, the Emotions and the Tragic Nature of the Love Bond Massimo Cerulo (2011), menjelaskan bahwa, "capitalism emotional" merupakan suatu budaya di mana diskursus, praktik emosional serta ekonomi saling memodelkan satu sama lain. Sehingga menghasilkan gerakan yang luas seperti kehidupan emosional mengikuti aturan hubungan ekonomi dan pertukaran.
Menariknya, beberapa orang berpendapat bahwa apa yang dianggap bare minimum dalam hubungan ternyata sangat subjektif. Seorang pasangan mungkin menganggap "dijemput" atau "dibayar" saat makan bersama adalah bentuk perhatian dasar. Sementara bagi yang lain itu sudah termasuk effort yang harus dihargai.
Saya pun mencoba mewawancarai beberapa narasumber terkait hal ini. Sebagian besar dari mereka berpendapat bahwa setiap orang memiliki standar hubungan masing-masing. Banyak video yang ditunjukkan di media sosial hanyalah basic alias sudah semestinya dalam hubungan harus seperti itu. Berikut pendapat dari mereka yang tak ingin disebutkan namanya.
"Bare minimum dalam hubungan itu penting banget sih. Jika pasangan aja gabisa ngasih bare minimum, ke depannya juga pasti akan susah. Tapi, bare minimum itu sesuai standar masing-masing yaa kaya gimananya, karena tiap orang itu standarisasinya beda-beda." (Narasumber 1)
"Jika pasangan kita aja gak punya hal basic ini, pastinya akan susah ke depannya dan hal ini selayaknya basic treat di relationship aja, kalau kita dapat perlakuan kaya tiap pergi dijemput atau tiap makan dibayarin itu berarti bonus treat yang dimana cowok itu effort ngelakuinnya." (Narasumber 2)
"Bare minimum itu seperti, gak posesif misalnya ngatur-ngatur jadwal, gak bolehin ikut kegiatan ini itu, gak pake kekerasan, gak guilt-trip, apa-apa ungkit-ungkit pengorbanan, kesalahan masa lalu yang sudah dibahas, bikin kitanya gak enakan, komunikasi tanpa menuduh dan mengancam." (Narasumber 3)
Pernyataan ini menggambarkan realitas bahwa bare minimum seharusnya mencakup nilai-nilai universal dalam hubungan sehat seperti rasa hormat satu sama lain, empati, komunikasi yang setara dan kemampuan refleksi diri.
Ilustrasi bare minimum/ Foto: Freepik |
Menentukan Batasanmu Sendiri
Hubungan yang matang dibangun dari keintiman dan rasa ingin tahu satu sama lain. Cinta yang sehat tidak butuh pembuktian besar-besaran, keinginan yang tulus untuk memahami pasangan sebagai manusia yang utuh akan lebih membangun hubungan baik dan dua arah.
Sebaliknya, bare minimum dalam hubungan seringkali terjebak pada ilusi stabilitas seperti, tidak ada drama, tidak ada kedekatan yang bermakna, hubungan hanya bersifat transaksional. Memahami batasan dan kebutuhan emosional sendiri adalah kunci untuk membangun hubungan.
Memahami non-negotiables, hal-hal mendasar yang dibutuhkan untuk merasa aman dan dihargai, contohnya tidak posesif atau mengontrol, tidak melakukan kekerasan, baik verbal maupun fisik, tidak melakukan guilt-tripping atau memanipulasi emosi, lalu mampu berkomunikasi tanpa mengancam, mau refleksi diri dan belajar, serta menghormati perbedaan biologis dan emosional.
Batasan-batasan ini bisa menjadi cara untuk menjaga hubungan tetap sehat tanpa harus merasa cukup atau minimal. Bare minimum bukan lagi tentang pasangan yang malas berusaha atau soal siapa yang menjemput, siapa yang bayar atau siapa yang lebih sering bilang "I love you", tetapi tentang siapa yang benar-benar hadir, mendengar untuk tumbuh bersama.
Pada akhirnya pun, kita pantas mendapat cinta yang lebih dari sekadar cukup atau minimal agar bisa bertahan, karena cinta yang sehat itu tentang siapa yang menerima kelebihan serta kekurangan dari masing-masing pasangan dan mau berkomitmen dalam hubungan.
Seperti lagu Alamak, jatuh cinta memang membuat dada terasa penuh. Namun mempertahankan cinta membutuhkan lebih dari sekedar rasa, harus disertai keberanian, kesadaran, dan kehadiran untuk tidak merasa puas dengan yang paling minimal agar dada tetap terasa penuh sepanjang perjalanan cinta itu sendiri, bukan hanya di awal jatuh cinta saja.
Kalau ada sembilan nyawa, kamu mau jatuh cinta kepada siapa saja nih?
Penulis: Ayu Puspita Lestari
Editor: Dian Rosalina
*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*
(ktr/DIR)
Standar cinta dalam hubungan./ Foto: Ketut Subiyanto/Pexels
Ilustrasi bare minimum/ Foto: Freepik