Penyanyi sekaligus penulis lagu asal Amerika Serikat, Sabrina Carpenter baru saja merilis lagu bertajuk Manchild di awal Juni lalu. Benar saja, lagu ini pun menjadi pusat perhatian khususnya di kalangan gen Z. Lirik jenaka, sarkastik namun tetap ear catching, membuat Manchild tak hanya menghibur, tapi juga memulai diskusi yang lebih luas di sosial media seperti TikTok.
Banyak di antara perempuan yang relate dengan lagu ini, sehingga mereka pun membagikan pengalamannya melalui konten yang diiringi lagu Manchild. Namun yang lebih menariknya jika kita gali lebih dalam, justru lagu ini bisa menjadi jembatan untuk reflektif soal isu yang jauh lebih dalam terkait kematangan emosional yang sebenarnya tak mengenal jenis kelamin dalam memulai suatu hubungan.
Ilustrasi perempuan dan laki-laki. / Foto: Istimewa |
Lagu Sindiran yang Menggelitik
Sabrina Carpenter menjelaskan bahwa lagu Manchild ini sebagai lagu "Random Tuesday" bersama dua kolaboratornya, Amy dan Jack. Melalui laman Instagramnya, ia menyebut lagu ini sebagai "the embodiment of a loving eye roll". Semacam pelampiasan kasih sayang yang terselubung dengan rasa frustasi.
"I wrote manchild on a random tuesday with Amy and Jack not too long after finishing short n' sweet and it ended up being the best random tuesday of my life, not only was it so fun to write, but this song became to me something I can look back on that will score the mental montage to the very confusing and fun young adult years of life. It sounds like the song embodiment of a loving eye roll and it feels like a never ending road trip in the summer ! hence why I wanted to give it to you now- so you can stick your head out the car window and scream it all summer long!"
Lirik-lirik dalam lagu Manchild menggambarkan sosok laki-laki dengan usia yang dewasa, tetapi masih belum mampu mengelola emosi atau bertanggung jawab dalam hubungan. Bahkan salah satu lirik sarkastik seperti, "I choose to blame your Mom" mungkin terlihat tampak lucu, namun sebenarnya memuat kritik tentang pola asuh dan dampaknya pada perkembangan emosi seseorang.
Tak butuh waktu lama bagi publik untuk menanggapi lagu ini. Di media sosial TikTok khususnya, para perempuan membagikan kisah mereka sendiri tentang pasangan yang "immature" dari yang takut berkomitmen, tak bisa menyelesaikan konflik, hingga bersikap seperti anak kecil saat menghadapi masalah. Narasi ini pun kerap muncul dalam kisah-kisah relasi gen Z, bahwa ketidakdewasaan emosional laki-laki adalah penyebab utamanya kandasnya suatu hubungan.
Di balik narasi yang sedang naik daun ini, muncul pertanyaan kritis yang jarang terdengar, bagaimana kalau ketidakdewasaan emosional itu juga terjadi pada perempuan? Dampaknya berbeda atau kita sedang menyoroti konstruksi sosial yang dibuat untuk para pria atas nama 'rasionalitas' dan 'kematangan' dalam maskulinitas?
Dewasa dalam Mencintai
Sebuah studi menarik berjudul The Paradox of Gender Difference on Emotional Maturity of Adolescents, menyajikan data yang tidak terduga. Penelitian ini menemukan bahwa remaja laki-laki menunjukkan tingkat kestabilan emosi, kemampuan adaptasi sosial, dan kemandirian yang lebih tinggi dibandingkan remaja perempuan sebaya mereka.
Dalam penelitian ini pula mengaitkan dengan beberapa faktor seperti budaya, patriarki, pola pengasuhan berbasis gender dan norma sosial. Hal ini pun ditegaskan dari bagaimana masyarakat, cenderung melindungi anak perempuan secara "berlebihan", tidak diberi cukup ruang untuk gagal atau menghadapi konflik.
Akibatnya mereka mungkin tumbuh dengan sensitivitas tinggi, tetapi cenderung rapuh ketika menghadapi tekanan atau krisis emosional alhasil menghasilkan ketidakstabilan emosi saat menjalin hubungan. Walaupun lagu Manchild terasa seperti surat terbuka bagi laki-laki yang tidak kunjung dewasa.
Tapi, apakah kita berani bertanya, "Pernahkah kita sendiri menjadi manchild atau bahkan womanchild? Sangat mudah menuding orang lain tidak mampu berkomitmen, terlalu posesif, atau suka meledak-ledak. Lalu mari kita coba merenungkan diri kita sendiri, apakah sudah matang secara emosi?
Misalnya, mendengarkan pasangan tanpa menyela ketika beradu argumen, atau mengelola konflik tanpa manipulasi. Relasi yang sehat tidak dibangun oleh satu orang yang sempurna dan satu yang belajar. Ia dibangun oleh dua individu yang siap tumbuh, siap untuk tidak menyalahkan terus-menerus dan punya keberanian untuk memperbaiki diri.
Masalahnya, kita hidup di era yang serba cepat, di mana hubungan sering kali dijalani tanpa fondasi emosional yang kuat, kita belajar tentang cinta dari drama Korea. Tapi jarang juga belajar tentang cara menyampaikan ketidakpuasan tanpa menyakiti. Kita tahu cara membuat pasangan cemburu, tapi tidak tahu cara menetapkan batas sehat dalam menjalin hubungan.
Ilustrasi pasangan yang matang secara emosional./ Foto: Unsplash |
Memahami Kematangan Emosional Tak Kenal Gender
Mengutip dari attchmentproject.com, kematangan emosional (emotional maturity), merupakan bentuk perkembangan non-fisik yang kita butuhkan untuk menjadi orang dewasa yang sehat dan berkembang sepenuhnya. Namun, penting untuk diketahui bahwa kita tidak menjadi dewasa secara emosional dengan kecepatan yang sama.
Cara kita diasuh dan pengalaman yang kita miliki di masa kecil dapat mempengaruhi kapan kita mencapai kematangan emosional. Faktor utama yang mempengaruhi hal ini terjadi antara lain, pola asuh, pengalaman masa kecil, dan bagaimana seseorang diajarkan menghadapi emosi.
Dengan kata lain, menjadi dewasa secara usia tidak otomatis membuat seseorang matang secara emosional, karena orang dewasa yang telah matang secara emosi akan mengenali kesulitan perasaannya, merespons secara tepat atau menunjukkan empati dalam berhubungan.
Jika dalam lagu "manchild" disebut bahwa "ibunya" menjadi penyebab perilaku pasangannya, tentu pernyataan ini hiperbolis, tapi ia tetap mencerminkan realita, bahwa pengasuhan memang berpengaruh besar terhadap perkembangan emosi seseorang. Penting untuk digarisbawahi bahwa pengasuhan bukan hanya tanggung jawab ibu, tetapi juga ayah, lingkungan sosial dan bahkan sistem budaya di mana dia tinggal.
Asumsi lama soal kematangan emosional adalah beban yang harus diemban laki-laki, harus dihapuskan. Sebab, faktanya emotional maturity is genderless. Siapa pun bisa gagal mengelola emosi, siapa pun bisa menjadi beban dalam hubungan jika tidak belajar bertumbuh.
Kematangan emosional adalah tentang, mengenali emosi diri sendiri, memahami emosi orang, mampu memberi respons yang sehat dan tidak impulsif, dan sanggup menghadapi konflik tanpa kabur atau menyakiti.
Lalu lagu Manchild bisa saja menjadi kritik terhadap laki-laki yang tidak bertanggung jawab secara emosional, namun bila ditelaah lebih teliti lagi, ini adalah sebuah reflektif koletif. Semacam cermin bagi siapa pun yang merasa pernah bergantung secara tidak sehat pada pasangan, sulit memaafkan atau takut sendirian karena belum merasa utuh.
Dalam hubungan apa pun, cinta saja tidak cukup, tanpa kematangan emosional, cinta bisa berubah menjadi luka. Ia bisa melahirkan hubungan yang saling menyakiti, saling menyalahkan atau saling menggantungkan kebahagiaan tanpa batas sehat.
Pada akhirnya, lagu Manchild bukan hanya lagu sindiran saja, namun menjadi pintu masuk untuk mengajak laki-laki dan perempuan berdialog, tentang bagaimana hubungan bisa tumbuh, bagaimana kita belajar mencintai tanpa menguasai dan bagaimana kita belajar mencintai diri sendiri terlebih dahulu.
Jika kita ingin menjalin relasi yang sehat, maka pertanyaannya bukan lagi siapa yang salah tetapi, sudahkah kita matang secara emosional dan mencintai seseorang dengan dewasa?
Penulis: Ayu Puspita Lestari
*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*
(ktr/DIR)
Ilustrasi perempuan dan laki-laki. / Foto: Istimewa
Ilustrasi pasangan yang matang secara emosional./ Foto: Unsplash