Inspire | Love & Relationship

Sefrekuensi Tanpa Bertemu: Mengapa Hubungan Virtual Bisa Terasa Nyata?

Kamis, 04 Sep 2025 17:30 WIB
Sefrekuensi Tanpa Bertemu: Mengapa Hubungan Virtual Bisa Terasa Nyata?
Ilustrasi hubungan lewat virtual. Foto: iStock
Jakarta -

"Gue tuh gak pernah ketemu dia, tapi kita ngobrol tiap malam dan gue merasa sefrekuensi sama dia."

Di era digital, pengakuan seperti itu bukanlah hal yang asing, terutama bagi gen Z. Mulai dari Discord hingga X. Hubungan tanpa pertemuan fisik sudah menjadi hal umum, antara laki-laki dan perempuan seperti berteman, berkonflik bahkan saling menginspirasi dapat dibangun secara online tanpa pernah melihat wajah satu sama lain secara langsung. Menariknya, meskipun semua terjadi melalui layar dampaknya tetap terasa di hati dan pikiran sehingga menimbulkan rasa "sefrekuensi" satu sama lain.

Otak kita pun tetap merespons, seolah-olah semua terjadi di dunia nyata. Kita bisa merasa dekat dengan seseorang yang tak pernah kita temui karena otak membaca interaksi virtual layaknya pengalaman sosial sungguhan, dengan emosi keterikatan dan bahkan rasa kehilangan.

Sebuah penelitian The Subjective Experience of Generation Z Virtual Interaction, (2025) menjelaskan, "Bahwa platform digital menyediakan cara alternatif untuk mengekspresikan emosi dan keintiman, namun juga menghadirkan tantangan dalam menafsirkan isyarat non-verbal dan mempertahankan ikatan emosional yang mendalam."

Di sisi lain, hal tersebut juga menantang cara kita dalam menafsirkan isyarat nonverbal dan mempertahankan kedekatan emosional yang sejati.

.Ilustrasi hubungan lewat virtual/ Foto: Pexels

Hubungan Digital dan Otak Kita

Manusia dibekali sistem yang sangat peka terhadap hubungan sosial. Salah satunya adalah neurons mirror atau neuron cermin, memungkinkan kita ikut merasakan emosi orang lain, bahkan hanya dengan melihat atau membayangkan ekspresi mereka. Saat kita membaca curhat seseorang di X tentang suatu kejadian yang dialami oleh seseorang, kita ikut merasa marah, sedih, atau empati walaupun hanya melalui layar.

"Are neurons that fire both when an individual performs an action and when they observe someone else performing that same action, such as reaching for a lever. These neurons respond to someone else's action just as if you yourself were doing it." dikutip dari Neurons mirror,

Lebih jauh lagi, sistem dopamin reward dalam otak juga berperan besar, saat seseorang membalas pesan kita dengan perhatian kita dengan memuji komentar kita dalam diskusi online, dopamin dilepaskan, hal ini akan memberi rasa senang dan keterhubungan walaupun hanya secara virtual.

Menurut sebuah studi dalam Nature Communications (2023), "According to a study published in Nature Communications, frequent digital interactions can overstimulate dopamine pathways, conditioning the brain to creve constant engagement. This cycle may explain why people often feel compelled to check their device even without a clear reason. The dopamine release from social media likes can reinforce this compulsive behavior, forming a dopamine loop in social media usage."

Emosi di Era Emoji

Di balik setiap emoji dan pesan singkat, ada aktivitas neurologis yang memproses hubungan, cinta dan konflik seolah itu benar-benar terjadi. Itulah mengapa, hubungan digital bisa terasa begitu intens dan personal meski tanpa tatap muka atau sentuhan fisik.

Namun yang menjadi tantangan besar yaitu, dalam ruang digital banyak sinyal nonverbal yang hilang. Tatapan mata, nada suara, bahasa tubuh, semua ini tergantikan oleh emoji, stiker atau kecepatan mengetik balasan. Secara tidak langsung, otak kita pun mulai beradaptasi dengan bahasa emosional baru.

Adaptasi mengenai bahasa emosional baru ini, sering kali tak selalu berjalan mulus, terutama dalam interaksi hubungan antara laki-laki dan perempuan yang sering kali tumbuh dalam norma sosial yang berbeda, termasuk dalam mengekspresikan emosi. Di ruang digital yang serba cepat dan terbuka, perbedaan ini kerap menimbulkan kesalahpahaman, luka, atau bahkan konflik. Otak kita merespons semuanya dengan serius, bahkan hanya di mulai dari sebuah komentar Tiktok.

Salah satu contohnya yang beredar di aplikasi Tiktok tentang penggunaan hashtag #Laki-LakiTidakBercerita, di mana laki-laki yang mencoba terbuka emosinya sering dikucilkan karena dianggap "lemah" yang justru menjadi tantangan besar bagi ekspresi masculinity mereka. Hashtag ini pun seringkali disalah pahami oleh pengguna platform tersebut dan tak jarang membuka ruang diskusi digital yang justru menyudutkan salah satu pihak.

Ditambah algoritma platform tersebut pun yang memprioritaskan konten emosional dan konflik, bahkan yang bersifat toksik. Kondisi ini lah yang memicu kesalahpahaman, luka, atau berujung konflik emosional dan otak kita dapatkan merasakannya secara nyata. Meski hanya bermula dari video atau komentar singkat, efeknya nyata di hati dan pikiran kita.

.Ilustasi ruang digital/ Foto: Freepik

Misinterpretasi Ruang Digital

Salah satu aspek menarik dalam studi neuropsikologi adalah bagaimana otak laki-laki dan perempuan merespons pengalaman sosial secara berbeda. Walaupun struktur dasar otaknya sama, sejumlah penelitian menunjukkan adanya kecenderungan respons yang berbeda terhadap emosi dan sinyal sosial.

Di dunia maya, perempuan lebih sering dilatih untuk menjadi "penjaga emosi" mereka cenderung lebih ekspresif secara verbal dan responsif terhadap isyarat emosi, bahkan dalam format teks. Misalnya, dalam grup chat, perempuan lebih mungkin menambahkan emoji untuk mengurangi kesan dingin. Mereka juga lebih sering dianggap "wajib membalas" pesan secara cepat agar tidak dianggap cuek.

Sebaliknya, laki-laki yang menunjukkan ekspresi emosional secara digital justru kadang dianggap "lemah" atau "tidak maskulin." Ini membuat banyak laki-laki menahan ekspresi atau tidak menunjukkan kebutuhan emosionalnya di ruang maya, yang kemudian dibaca perempuan sebagai tidak peka atau acuh.

Di sinilah kesenjangan interpretasi mulai terbentuk dan konflik bisa dimulai. Konflik-konflik ini saat ini sering kita temui dalam komentar berbagai platform media sosial, yang akhirnya sering menimbulkan kesalahpahaman antara laki-laki dan perempuan.

Tantangannya besar, dunia digital juga membuka ruang yang luar biasa untuk menjembatani kesenjangan emosional antara laki-laki dan perempuan. Namun di balik tantangan ini, banyak gen Z justru merasa lebih bebas mengekspresikan diri secara online dibandingkan dunia nyata. Mereka bisa menunjukkan sisi rapuh, empati dan suportif tanpa takut dinilai apalagi berdasarkan stereotip gender.

Namun untuk itu, kita butuh literasi emosional digital. Artinya, bukan hanya tentang paham cara menggunakan platform, tapi juga mampu mengenali dan mengelola emosi kita sendiri saat secara online. Kita perlu belajar membaca isyarat emosional dalam teks, memahami bahwa orang bisa punya gaya komunikasi berbeda, dan tidak langsung bereaksi secara implisit.

Otak kita punya kapasitas luar biasa untuk beradaptasi. Kita bisa melatihnya untuk menjadi lebih sabar, lebih reflektif dan lebih empati. Hal ini sejalan dengan konsep neuroplasticity, dengan kesadaran dan latihan, kita bisa membentuk ulang pola pikir untuk menjadi reflektif, sabar dan tentunya simpati bahkan dalam percakapan online.

Pada akhirnya, dunia maya tidak hanya membentuk cara kita berkomunikasi, tetapi juga mengubah cara kita menjadi "merasa" secara utuh. Hubungan antar gender yang dulunya dibatasi oleh ruang dan waktu kini tumbuh dalam bentuk yang lebih cair, kompleks dan personal. Otak kita mungkin sempat tertinggal di awal revolusi digital, tapi kini ia mengejar, belajar merespons cinta, konflik, solidaritas dan trauma dengan cara baru.

Kita perlu belajar membaca isyarat emosional dalam teks, memahami perbedaan gaya komunikasi dan tidak bereaksi secara impulsif. Otak kita memiliki kapasitas luar biasa untuk belajar dan beradaptasi. Selain itu sebagai gen Z yang merupakan generasi pertama, tumbuh besar dalam dunia virtual dan nyata berjalan bersamaan.

Hubungan lintas gender bisa menjadi lebih sehat, lebih setara dan lebih sadar. Bukan karena teknologinya yang canggih, tapi karena mereka bersedia mengelola emosi dalam serius bahkan di ruang yang tak terlihat. Kalau kita belajar membaca emosi di balik teks, siapa tahu di balik layar, kita justru bisa jadi versi paling jujur dari diri sendiri.

Bagaimana kalian lebih nyaman berhubungan lewat virtual atau nyata?

Penulis: Ayu Puspita Lestari
Editor: Dian Rosalina

*Segala pandangan dan opini yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi atau pihak media online.*

(ktr/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS