Dalam bidang ekonomi, istilah sunk cost fallacy—bisa juga disebut dengan sunk cost effect—cukup dikenal. Istilah ini mengacu pada pengambilan keputusan dalam keuangan yang buruk sehingga seseorang memaksakan untuk menjalani keputusannya tersebut karena waktu dan sumber daya yang sudah diinvestasikan sebelumnya.
Contoh kasusnya adalah ketika kamu membeli sesuatu dengan jumlah harga yang besar namun pada akhirnya ternyata kamu tidak begitu membutuhkannya, apalagi menikmatinya. Kamu pun tetap memaksakan diri untuk menggunakannya karena kamu tidak ingin uangnya terbuang secara percuma.
Hal seperti ini ternyata tidak hanya terjadi di dalam perihal ekonomi saja, tetapi dalam hal hubungan romansa, sunk cost fallacy juga ternyata sering menjadi istilah yang bisa menjelaskan sebuah peristiwa yang kerap dialami oleh pasangan yang sedang menjalani hubungan. Bagaimana bisa?
Kita pasti kenal satu atau dua kerabat yang memiliki hubungan sudah sangat lama dengan pasangannya, tapi di saat yang bersamaan mereka menyadari bahwa hubungan yang dijalani sebenarnya sudah sangat tidak sehat, kemudian tetap bertahan di dalam hubungan tersebut.
Jangankan mereka yang memiliki hubungan spesial, orang-orang di sekitarnya pun juga menyadari bahwa hubungan yang tengah dijalankan kedua orang tersebut sudah tidak worth it untuk dipertahankan, bahkan dilanjutkan ke jenjang yang lebih serius. Meskipun demikian, tetap saja mereka menenggelamkan diri mereka di dalam hubungan yang sudah kepalang toxic tersebut. Kenapa, ya?
Mereka yang mempertahankan hubungan toxic kerap kali menganggap bahwa umur hubungan yang dijalani sudah terlalu lama dan kedua belah pihak sudah saling mengerahkan tenaga, emosi, hingga finansial ke dalam hubungan tersebut. Melansir Discover Magazine, Current Psychology menerbitkan sebuah hasil studi para peneliti dari Universitas Minho di Portugal pada tahun 2018 yang mengemukakan alasan mengapa banyak orang bertahan di dalam hubungan yang tidak bahagia. Ternyata penyebabnya adalah sunk cost fallacy.
Dalam percobaannya, tim peneliti menyajikan skenario hubungan yang jauh dari sempurna kepada lebih dari 900 partisipan. Ketika para peserta diberi kesempatan untuk meninggalkan hubungan hipotetis ini, tanggapan mereka menunjukkan bahwa kita lebih cenderung bertahan dalam situasi di mana hubungan sudah tidak sehat karena alasan mendasar, yaitu sudah menjalani hubungan terlalu lama dan menginvestasikan banyak uang serta tenaga.
Meminjam kacamata psikologi, sunk cost fallacy ini didasarkan oleh kecenderungan manusia dalam meminimalkan kerugian. Seringkali kita sangat tidak suka memandang diri kita sebagai seseorang yang merugi akan suatu keputusan yang sudah dibuat sebelumnya. Hal ini pun juga mengacu pada cara berhubungan individu di mana mereka memiliki kecenderungan untuk menghindari perasaan "rugi" karena sudah membangun hubungan terlalu lama dan memberikan banyak hal kepada pasangannya, terlepas dari fakta bahwa hubungan yang dijalani sebenarnya sudah sangat tidak sehat untuk dilanjutkan.
Tidak jarang, mereka yang mengalami hal ini memilih untuk bertahan dan mencoba untuk menahannya beberapa waktu ke depan untuk melihat perubahan yang mungkin saja dirasakan. Padahal, dengan bertahan di hubungan yang buruk tanpa disadari membuat kita kehilangan kesempatan untuk menemukan hubungan yang lebih baik.
(DIP/DIR)